Senin malam tanggal 8 januari 2024 Alfi dan Adri – dua advokat pro bono dari Lembaga Bantuan Hukum Padang tengah sibuk menyiapkan materi sidang mereka untuk pagi esok hari. Saya melirik jam tangan yang tergeletak di atas meja. Pukul 21.45 Wib dan kami padahal baru saja usai perjalanan dari Kota Padang ke Lubuk Gadang di Solok Selatan. Ada enam jam perjalanan.
Mereka seperti tak lelah menyiapkan berkas-berkas sidang pembelaan seorang pria paruh baya yang didakwa mencuri buah sawit di lahan PT Ranah Andalas Plantation (RAP) Bidar Alam. Lokasi yang jaraknya 27 km dari tempat kami menginap.
Namanya Zulkarnaini. Seorang petani berusia 56 tahun yang marah dan kecewa karena perusahaan tidak menepati janjinya dalam pembagian hasil kebun sawit.
Adri membuka laptop lalu menguap karena mengantuk. Ia mengambil colokan listrik dekat meja. Baterai laptopnya sudah soak sehingga perlu charge setiap mengoperasikan laptop. Adri bercerita kalau Tanjak – panggilan Zulkarnaini, sudah dalam tahan sejak 8 september 2023.
Pria berbadan tegap itu mengatakan persoalannya tidak sesederhana seseorang mencuri sesuatu.
“lahan itu memang dikelola oleh PT yang bermitra dengan masyarakat pemilik lahan, dan Pak Tanjak memanen sawit dilahannya karena PT sudah terlalu lama mangkir dari janji-janji mereka buat sendiri,” terang Adri sembari kemudian mulutnya menguap.
Saya sering mendapati tulisan yang mengisahkan perkara yang sama seperti kisah warga Solok Selatan ini, tentang orang-orang yang melawan karena hak-haknya dilanggar perusahaan perkebunan. Kisah-kisah itu hadir di seluruh penjuru republik ini, entah itu di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara hingga Papua. Namun kisah-kisah ini selalu tenggelam oleh cerita selebriti yang selingkuh, politisi korup tapi tetap cengar-cengir di depan kamera atau panasnya pendukung calon presiden yang hobi debat kusir.
Sejak percepatan pembangunan ala orde baru, perusahaan-perusahaan perkebunan seperti kebun sawit nan luas banyak muncul karena direstui pemerintah pusat hingga daerah. Bahkan untuk mendukung perkebunan sawit, Bank Indonesia sampai membuat uang koin seribu rupiah dengan gambar sawit terukir di salah satu sisinya.
Gambar pohon sawit itu terlihat megah, sementara sisi lain yang jarang terlihat adalah tumpukan persoalan yang mendera masyarakat pemilik lahan. Perusahaan-perusahaan bermodal besar ini dengan gampang menggeser warga sekitar akibat berbagai faktor penyebab. Mulai dari pemilik lahan yang tidak awas dengan isi perjanjian hingga kongkalikong pemodal dengan pejabat setempat, walau dikemudian hari sangat susah pengadilan mencari bukti-bukti sesuai aturan hukum yang berlaku.
Dua puluh menit berlalu, dua orang datang bertamu. Mereka adalah April Momen dan Indrayadi.
April Moment adalah kuasa hukum Tanjak, berbadan kurus dengan sorot mata tajam. Sedangkan Indrayadi, prìa berkepala plontos, adalah kerabat sekampung Tanjak. Mereka menemui Alfi dan Adri untuk menyatakan beberapa warga lain akan hadir dalam sidang pak Tanjak hari selasa besok.
Saya duduk disebelah Adri mendengarkan diskusi mereka. “Ini adalah sidang ke 14,” ujar Alfi membuka diskusi.
Saya menyimak diskusi mereka dan enggan menyela untuk bertanya. Dingin menyengat telinga dan hidung saya.
Momen menarik nafas panjang. Malam itu ia resah sebab beberapa warga terlihat mulai kendor semangatnya mengawal kasus Tanjak. “Ada yang bilang sudah penat mengikuti sidang, ada yang pesimis, ada juga yang bilang percuma karena belum tentu tanah kita kembali,” suara Momen terdengar lesu.
Setelah satu jam pertemuan, Momen dan Indrayadi pamit pulang. Mereka akan bertemu lagi besokya di daerah Pekonina, tempat sidang Tanjak digelar. Sekali lagi mereka bersalaman dan saling menepuk pundak dan tersenyum. Jalan perkara yang panjang membuat semua orang menjadi penat. Tiba-tiba saya ikut merasakan betapa letihnya berurusan dengan hukum di republik ini.
Pukul 10 pagi saya ikut Alfi dan Adri ke kantor Kejaksaan Negeri Solok Selatan di daerah Pekonina. Kami menuju ruang belakang kantor, tempat Tanjak ditahan sementara sebelum sidang dimulai. Pria sepuh itu ada disana, dalam ruangan dengan jendela berjeruji besi. Kurungan berukuran enam kali empat meter ini berpintu besi dengan gembok seadanya.
Saya membayangkan lelaki kuyu dengan tangan gemetar yang akan saya temui nantinya. Didepan jeruji pria berpeci hitam itu mengulurkan tangan menyambut saya. Kulitnya terang, dengan senyum sumringah mendatangi saya. Tak ada lesu dan kuyu yang saya bayangkan sebelumnya. Genggaman tangannya terasa kuat.
Kami bersalaman, menyebut nama masing-masing. Saya mengeluarkan rokok dan menawarkan padanya. Aroma lembab bercampur pesing menguar saat kepala saya mendekat ke besi jeruji berkarat. Dia tersenyum dan meminta izin mengambil sebatang rokok yang saya letakkan di jendela yang ditanam besi-besi penghalang itu.
Kami bersalaman, menyebut nama masing-masing. Saya mengeluarkan rokok dan menawarkan padanya. Aroma lembab bercampur pesing menguar saat kepala saya mendekat ke besi jeruji berkarat. Dia tersenyum dan meminta izin mengambil sebatang rokok yang saya letakkan di jendela yang ditanam besi-besi penghalang itu.
Tahun 2020 Tanjak pernah dikurung, tiga bulan lamanya. Ia mendatangi kamp pegawai PT RAP sendirian karena buah sawit dilahannya diturunkan oleh pegawai perusahaan.
“Kami punya perjanjian boleh panen kalau kesepakatan pembagian 60-40 persen dilaksanakan. Perjanjian belum terlaksana, tapi mereka tetap panen dan saya maafkan,” katanya.
Beberapa kerabat Tanjak yang hadir mengikuti sidang mendekati kami. Mereka ikut menimpali hal yang sama.
Pertengahan Juni 2020, sesaat setelah adzan ashar selesai, pria dengan sorot mata tajam ini membawa kerbaunya ke kebun. Ia terkejut karena beberapa buah sawitnya sudah teronggok tak jauh dari pokok sawit miliknya. Ia menduga orang perusahaan yang menurunkan buah-buah sawit itu. Tak jauh dari lahannya dia berjumpa dengan pegawai perusahaan lalu bertanya basa basi.
“Saya bilang ke mereka itu – orang perusahaan, apakah aman? Dan mereka menjawab aman,” tutur Tanjak.
“Lalu saya berjalan melihat kebun saya dan ternyata mereka sudah menurunkan sawit di lahan saya, padahal perjanjian belum terlaksana,” ucap lelaki kelahiran Bidar Alam ini.
“Saya marah dan merasa tidak dihargai. Karena sebelumnya saya bicara baik-baik kepada mereka,” kata bapak empat anak ini. Saya mengangguk pelan dan bertanya kenapa ia tak gentar berhadapan dengan perusahaan, sebab ini kali kedua ia ditahan.
“Buah-buah sawit itu hak saya, ‘kan kita ada perjanjian, bertahun-tahun kami tidak diberi apa-apa,” sambungnya. Matanya menerawang menembus jeruji.
“Saya memaafkan saja selama ini, tapi kepala saya dipijak-pijak mereka,” katanya pelan tapi tegas. Tak ada ragu pada setiap kalimatnya. Jika saya diposisi pria ini, saya ragu akan berbuat hal sama. Perlu keberanian ekstra untuk bisa seperti Tanjak.
Azan dzuhur berkumandang, Tanjak permisi melaksanakan salat zuhur dan saya pun beranjak, meninggalkannya serta aroma sel nan pengap.
Selepas zuhur Tanjak dibawa ke ruang sidang. Di dalam sudah menunggu penasehat hukumnya; Adri, Alfi dan Momen. Tak lama Jaksa Penuntut Umum masuk lewat pintu lain, seorang perempuan dalam jubah keadilan yang berwajah murung. Saya duduk dibelakang layar televisi besar yang menghadap jaksa dan para penasehat hukum.
Hari ini hakim akan memimpin sidang lewat gelombang internet dan sebuah pengeras suara. Begitu canggih dan bisa diandalkan untuk memutuskan sebuah perkara. Tapi kenapa banyak perkara tidak segera tuntas hanya karena alasan tidak bisa hadir? Padahal jarak sudah dengan mudah dilipat dengan gelombang kasat mata itu?
Sebelas tahun sejak panen awal, Tanjak dan masyarakat yang lahannya dipakai perusahaan perkebunan sawit tidak pernah mendapat bagian yang tertera dalam perjanjian. Mereka bersabar selama itu, hingga terjadi peristiwa penangkapan karena menyerbu kamp pekerja yang menurunkan buah sawit sementara perjanjian belum disepakati.
Dia memang mengancam dengan parang, sebab ia selalu membawanya jika ke kebun, atau saat menggembala sapi-sapinya merumput. Identitas petani, peladang, perimba salah satunya parang yang terselip di pinggang. Salah Tanjak? Atau salah parang? Entahlah.
Narasi ini yang saya ikuti sejak sidang dimulai. Alfi mengatakan beragam teori dari dua pihak penasehat hukum sudah dibentangkan. Saya pusing, lalu keluar merokok. Di luar langit mulai dipenuhi awan-awan gelap. Beberapa kerabat Tanjak duduk selonjor di teras ruang sidang. Ada yang merokok, menguap ada juga yang memandangi awan-awan gelap.
Adzan magrib sudah usai, pukul 18.30 wib sidang belum ada tanda-tanda berakhir. Saya mengintip ke dalam ruang sidang. Tanjak sudah berpindah tempat duduk di sebelah jaksa menghadap tv besar. Tiga Hakim dan satu Panitera duduk berderet didalam tv. “Majelis hakim ini ada di Koto Baru,” kata Adri. Koto Baru Kabupaten Solok lebih kurang empat jam dari tempat sidang sekarang.
Pukul 19.00 wib lewat, akhirnya sidang berakhir. Menggunakan rompi oranye, Tanjak keluar dari ruang sidang. Bahunya dirangkul seorang petugas yang berpostur tinggi dan dirapatkan ke tubuhnya. Rompi pesakitannya nampak longgar sehingga tubuh pria berkulit cokelat ini seperti menciut.
Rasanya tak mungkin pria yang seluruh hidupnya dihabiskan di Bidar Alam ini akan lari kalaupun tidak dibawa dengan cara ini. Begitulah pesakitan, dan saya rasanya ingin memaki walau saya tahu petugas hanya menjalankan prosedur. Tanjak dibawa petugas kembali ke sel. Ia akan diantar ke Lapas Muaro Labuah menunggu jadwal sidang berikutnya.
“Bupati sudah tiga kali memberi surat peringatan untuk segera menyelesaikan masalah mereka dengan pemilik lahan. Tapi izin usaha perusahaan ini belum juga dicabut,” kata Adri.
“Ini akan menjadi masalah di kemudian hari,” kata Adri. “Seharusnya setelah peringatan ketiga kali itu IUP perusahaan sudah di non-aktifkan,” lanjut pengacara muda ini.
Saya tanya Alfi mengapa pemilik lahan selalu kepayahan mengembalikan lahan mereka sendiri. Padahal selalu ada perjanjian antara perusahaan dan pemilik lahan yang sama-sama ada tandatangan perwakilan kedua belah pihak.
“Perusahaan lewat penasehat hukum mereka saat bersengketa dengan warga selalu berlindung pada satu kata kunci dalam dokumen awal perjanjian,” ujar Alfi. Alfi menunjukan pada saya dokumen perjanjian. Lalu jarinya tiba pada dua kata; Penyerahan lahan.
Kata ini yang menurut Alfi jadi dalih utama penasehat hukum perusahaan ketika bersengketa dengan warga pemilik lahan. Padahal dalam dokumen yang ditunjukkan Alfi menerakan klausul tentang pengembalian lahan dan warga sebagai mitra usaha.
Saya mencoba menghubungi penasehat hukum perusahaan lewat pesan whatsapp untuk mengkonfirmasi persoalan yang terjadi. Hingga naskah ini terbit pesan tidak pernah dibalas.
Seorang kawan mengirim laporan investigasi Gecko Project bersama media-media Internasional berbasis di Indonesia. Salah satu sorotannya adalah mengapa perusahaan-perusahaan sawit sulit dijerat hukum walaupun kebanyakan jelas-jelas melakukan banyak pelanggaran.
Saya membaca laporan itu semalaman dan tidak lagi terkejut kalau semua itu bisa terjadi karena keserakahan. Mulai dari pemuka adat, tokoh masyarakat hingga pegawai pemerintah seringkali menjadi aktor utama yang menghambat masyarakat mendapatkan lahannya kembali.
Pada 5 Desember 2023 lalu Reni selaku Humas PT RAP menghadiri persidangan sebagai saksi pelapor. Dia mengatakan pihaknya rugi 1900 ton selama dua tahun karena dipanen masyarakat. Namun dia mengatakan tak tahu ketika pertanyaannya tentang kerugian yang didapat masyarakat dari perusahaan.
Roehanaproject.com sempat mendatangi alamat kantor PT RAP dari dokumen narasumber. Namun kantornya tak memiliki plang perusahaan. Ada beberapa usaha dalam satu gedung, ada perusahaan batubara dan sawit. Saat bertanya orang-orang PT RAP, salah satu pengelola gedung mengatakan belum ada orang, sedang pergi semua.
24 Januari 2024 adalah babak terakhir dari sidang yang panjang. Hari itu adalah pembacaan putusan perkara zulkarnaini alias Tanjak. Apakah hakim akan membebaskannya? Atau sama saja seperti mereka yang menghadapi persoalan yang sama dan tetap masuk penjara?
Rabu pagi pukul 10 saya ke pengadilan bersama Alfi dan Adri. Langit terlihat cerah walau awan-awan putih dan tebal menggantung. Puluhan orang terlihat selonjoran di teras kantor Kejaksaan. Sebagian besar adalah perempuan. Mereka adalah warga Bidar Alam yang sengaja datang memberi dukungan. Bagi warga Bidar Alam, dia adalah pejuang dan pahlawan mereka dalam mendapatkan hak atas lahan yang sekarang sedang bersengketa dengan perusahaan perkebunan.
Saya bergegas ke sel kantor kejaksaan tempatnya ditahan, sembari menunggu sidang mulai. Beberapa orang berdiri di depan ruang berjeruji itu. Dari dalam petani sawit ini melambaikan tangannya ke arah saya. “Cucu saya disini bersama anak menantu saya,” katanya menunjuk ke arah anak kecil yang sedang berlarian di halaman depan sel.
Tanjak masih sama seperti yang saya temui 2 minggu lalu. Dia tersenyum lebar dan jabatan tangannya masih erat.
saya bertanya apakah dia menyesal? dan dia menjawab dengan tegas bahwa dia tidak menyesal sama sekali.
Laksamana mendatangi kami saat masih berbincang. Dia anak ketiga Tanjak.
“Saya agak menyesal juga,” tiba-tiba laksamana berkata pada saya. Saya berpaling dan bertanya apa yang dia sesali dari ayahnya.
“Dalam kolom komentar facebook ada juga yang menghujat ayah saya dan saya tidak siap dan marah,” katanya dengan bibirnya bergetar menahan marah.
Istri Tanjak, Hasnita juga berkata hal yang sama. Dia merasa tidak nyaman dengan keadaan yang menimpa suaminya. “saya sedih saja kenapa cuma suami saya yang ditangkap, yang lain tidak,” ujar perempuan yang kerap disapa Ita ini dengan mata basah.
Suhu udara makin panas dan jadwal sidang molor berjam-jam. Tidak ada pemberitahuan kapan sidang akan mulai. Orang-orang mulai gelisah dan saling bertanya dan tidak sabar mendengar putusan hakim terhadap pahlawan mereka.
Ada yang yakin pejuang mereka ini bebas dan ada pula yang mengatakan akan mendapat hukuman maksimal sesuai tuntutan jaksa; delapan bulan penjara. Pukul tiga sore pria setengah abad itu dibawa ke ruang sidang. Penasehat hukum, jaksa dan warga lain bersiap di ruangan. TV besar sudah menyala. Sidang masih dilakukan dengan daring.
Sidang Tunda Sehari
“Apakah saudara terdakwa sehat?” Tanya Dharma Setiawan selaku hakim ketua pada Tanjak. Setelah beberapa pertanyaan pembuka lalu Hakim menyatakan penundaan sidang satu hari.
Dharma didampingi Aldi Naradwipa Simamora dan Ade Rizky Fachreza selaku hakim anggota.
“Sidang putusan saudara Zulkarnaini ditunda dan akan dibacakan besok 25 Januari 2024 pukul 15.00 WIB,” kata hakim.
Tiba-tiba ruang sidang penuh dengan suara-suara kecewa dari arah pengunjung sidang. “Ah kenapa tidak dari tadi saja kalau memang ditunda,” kata beberapa warga.
Jaksa berkemas lalu segera meninggalkan ruang sidang, sementara Alfi, Adri dan Momen berbicara pada Tanjak dan ikut berkemas pula. Sebagian warga masih didalam ruang sidang. mereka memandangi hakim dalam tv yang beranjak dari kursinya.
“Kenapa tidak jadi?” kata seorang perempuan bertanya pada perempuan lain disampingnya. perempuan yang ditanya menggeleng. “Tanya sama hakim,” katanya melengos keluar ruang sidang.
Malamnya kami menginap di rumah Momen di Bidar Alam, menunggu pagi dengan hati berdebar-debar kira-kira kejutan apa yang akan disampaikan hakim besok hari. kata Adri tidak ada ada tuntutan hukuman seringan-ringannya tapi menuntut bebas atau lepas demi hukum.
“tidak apa-apa saya dipenjara,” katanya singkat.
Pagi pun tiba. Langit masih penuh awan-awan penghasil hujan walau cahaya matahari terasa panas menerpa kulit. Hari yang terasa lamban bersama warga Bidar Alam yang tak putus berharap hakim memutus bebas saudara sekampungnya ini.
Pukul dua siang kami menuju kantor Kejaksaan Negeri Solok Selatan. Satu setengah jam kemudian kami tiba di parkiran kantor kejaksaan. Warga Bidar Alam sudah ramai di ruang sidang. Terlihat Tanjak duduk di meja yang ada kertas bertulis penasehat hukum.
“Dengan ini memutuskan bahwa saudara Zulkarnaini bersalah dan dihukum selama 5 bulan penjara,” kata hakim ketua dari layar televisi besar.
Wajah lelaki pemberani ini dan penasehat hukumnya terlihat datar. Mereka sudah memperkirakan keputusan hakim jauh-jauh hari. Tak lama orang-orang mulai beranjak keluar ruangan.
Sekali lagi Tanjak kembali ke sel sementara. Penasehat hukum dan warga mengiringinya dengan setia.
Saya mendekati Alfi dan bertanya kenapa hakim tidak membebaskan Tanjak. Dia mengatakan hakim mengabaikan surat peringatan ketiga dari pemerintah kabupaten pada perusahaan terkait janji dengan pemilik lahan. “Hakim berpedoman pada dokumen izin usaha perkebunannya,” kata pria berambut gondrong ini.
“Hakim berpendapat lahan masih milik perusahaan dan Tanjak melakukan pencurian,” katanya.
Padahal menurut Alfi sudah banyak argumen yang mereka layangkan. “Pengadilan mengabaikan semua keterangan ahli kami yang mengatakan harus diputuskan lebih dahulu sengketa lahannya,” kata Alfi menambahkan.
Zulkarnaini yang lebih dikenal dengan nama Tanjak ini berdiri memegang besi jeruji saat beberapa orang bercakap-cakap dengannya. Adri bicara terlebih dahulu. Dia menerangkan beberapa hal dan dilanjutkan oleh Alfi dan Momen. lalu terdengar teriakan bersama-sama; Hidup rakyat! dan semua orang bersalaman dengan tetap berteriak kata sama berulangkali.
Saya bersalaman dengan Tanjak dan kami kembali berbagi rokok. Setelah hisapan pertama tiba-tiba Tanjak menggamit pundak saya. Sambil tersenyum lebar dia mengatakan sebaris kalimat.
“Saya tetap berjuang sampai hak kami dipenuhi”.