Perempuan petani kopi yang sedang memetik buah merah di kebun kopi Kasimo yang juga ketua Koperasi Kopi Rakyat (KPR) Solok Selatan/roehanaproject/Uyung Hamdani
Perempuan petani kopi yang sedang memetik buah merah di kebun kopi Kasimo yang juga ketua Koperasi Kopi Rakyat (KPR) Solok Selatan

Melawat Arabika Organik Bukit Malintang

Foto dan Teks: Uyung Hamdani

Wabah Covid-19 tahun 2020 membuat Kasimo dan petani kopi arabika lainnya di Jorong Bukit Malintang Barat Kecamatan Sangir Solok Selatan meringis. Bagaimana tidak, selain harga buah kopi arabika anjlok dari kisaran 10000 hingga 12000 merosot jadi 4000 rupiah per kilogram. Hama menambah beratnya persoalan petani kopi. Suara Kasimo, pria 52 tahun asal Jawa ini tercekat ketika bercerita betapa nelangsanya petani kopi di kampungnya. “Kalau bercerita waktu itu, saya tak bisa berkata apa-apa. Petani daerah sini betul-betul menderita. Boro-boro uang sekolah anak, untuk makan sehari-hari saja berat,” kata Kasimo menyeka air matanya.   

Harga Kopi Terjun Bebas pada Awal Wabah Covid-19

Potret Kasimo petani kopi Solok Selatan yang pernah merasakan getirnya harga kopi yang anjlok karena pandemi covid-19 2020/roehanaproject/Uyung Hamdani
Potret Kasimo petani kopi Solok Selatan yang pernah merasakan getirnya harga kopi yang anjlok karena pandemi covid-19 2020/roehanaproject/Uyung Hamdani

Beruntung Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumbar sebuah lembaga swadaya masyarakat bersama lembaga anggotanya, Kelompok Pencinta Alam (KPA) Winalsa Solok Selatan berinisiatif membeli buah kopi arabika mereka dengan harga pantas dan mendampingi Kasimo serta petani kopi arabika lainnya melewati masa-masa suram.   

 

Walhi Sumbar bersama perwakilan KPA Winalsa Abdul Aziz, membeli kopi petani setempat dengan bertahap mulai dari 5000 rupiah meningkat ke 7000 rupiah. Setelah itu harga terus menanjak ke 10.000 rupiah per kilogram. “Tahun 2023 ini harga kopi stabil di angka 15.000 per kilogram,” kata Abdul Aziz.  Tidak hanya membantu membeli biji kopi, Walhi Sumbar dan KPA Winalsa juga mendorong Kasimo dan kawan-kawannya mendirikan koperasi serta merancang beragam pelatihan.

 

“Melihat kondisi petani ini, kami tak tega. Kami putuskan membeli dengan harga bertahap lalu melatih mereka menjadi prosesor supaya bisa memaksimalkan pendapatan mereka,” kata Abdul Aziz. Inisiatif ini membuat Kasimo dan petani lainnya kembali bergairah menggarap lahan kopi mereka yang sempat diabaikan karena harga jual yang jatuh. Namun Kasimo tetap memanen kopinya karena takut lahannya menjadi rusak karena tidak dirawat pasca panen. “Bang Aziz dari Walhi dan KPA Winalsa membantu kami. Selain membeli kopi, Walhi juga membantu pelatihan menjadi prosesor,” kata Kasimo. Selain pelatihan prosesor para petani juga menginginkan cara untuk tetap bisa bersama sama menghadapi persoalan di masa akan datang. “Setelah berembuk, dibuatlah Koperasi Kopi Rakyat,” tambahnya sambil tersenyum.  

Bertemu Kasimo di Rumah Kopi Koperasi Kopi Rakyat

Kasimo sedang menimbang buah kopi yang dibeli dari petani sekitar
Kasimo sedang menimbang buah kopi yang dibeli dari petani sekitar
Pekerja memilih biji kopi sebelum dipanggang. Pemilihan ini untuk memastikan biji kopi sesuai standar pasar/roehanaproject/Uyung Hamdani
pekerja memilih biji kopi sebelum dipanggang. Pemilihan ini untuk memastikan biji kopi yang dipanggang tetap sesuai dengan standar permintaan pasar
Nanang pekerja koperasi Kopi Rakyat sedang meratakan biji kopi di rumah jemur milik koperasi
Nanang pekerja koperasi Kopi Rakyat sedang meratakan biji kopi di rumah jemur milik koperasi
biji kopi yang sudah dipilih untuk proses pemanggangan

Dukung kami untuk menghadirkan cerita, dan liputan yang mendalam terkait yang terpinggirkan.

Silahkan klik tautan dibawah ini.

 

Bangunan semi permanen milik Koperasi Kopi Rakyat sedang lengang. Di belakang bangunan rumah prosesor berdiri empat buah greenhouse, pondok jemur setelah biji-biji kopi direndam dan dibersihkan. Kasimo, Dasimin dan beberapa petani kopi sedang duduk santai didalam. Dasimin adalah kakak dari Kasimo yang juga ikut bertanam kopi sejak 2014. Dia baru ingin menerapkan penanaman kopi organik.

 

 

Dasimin bertubuh tinggi, langsing, berkulit coklat dan riang. Ia mampu berbicara tanpa jeda saat menerangkan sesuatu atau menjawab pertanyaan. “Panen saya belum maksimal karena beberapa batang kopi terkena hama. Biji-biji kopi banyak juga yang rusak karena musim hujan dan badai beberapa minggu ini,” katanya yang baru mau belajar menanam kopi organik. Dia tak ingin menyebut berapa pendapatannya kini. “Kalau ditanya penghasilan, bagi saya cukup untuk keluarga, perawatan kebun saya, makan kami sekeluarga. Sesekali bisa pergi main ke Padang,” katanya.

 

 

“Besok kita baru panen, sekarang belum banyak biji kopi yang akan diproses,” kata Dasimin sembari menghembuskan asap rokoknya.   Seorang perempuan duduk didekat jendela terlihat sibuk memilah biji-biji kopi yang akan dipanggang. Biji kopi disortir satu persatu untuk melihat kualitas biji kopi sebelum masuk wadah pemanggang. Cara ini lazim disebut oleh prosesor kopi dengan roasting.  “Kami juga dibantu empat greenhouse, satu yang besar, tiga tempat jemur yang kecil,” kata Kasimo.    

 

 

Di pondok jemur dua pekerja koperasi sedang sibuk merendam dan membersihkan biji kopi. Lalu mengakutnya dengan nampan bambu dan menebar biji-biji kopi secara merata di dalam pondok jemur. “Saya juga punya kebun kopi diatas situ,” kata Syafni yang ternyata juga petani kopi. Selain biji-biji kopi dari anggota koperasi sendiri, Koperasi Kopi Rakyat juga menerima upah memanggang kopi dari petani lain yang bukan anggota koperasi.

 

 

Syafni selaku pekerja koperasi dan petani kopi tertawa sambil menutup mulutnya untuk menyembunyikan gigi-giginya yang rumpang. Syafni perempuan paruh baya bertubuh kecil, berkulit sawo matang mengkilap saat terkena matahari. Otot-ototnya liat pertanda dia petani yang ulet. Waktu covid itu ya nggak bisa apa-apa. Cari kerja yang lain. Kerja jadi buruh tani juga di sekitar kampung sini. Kalo nggak ya nggak cukup. Tapi kalau sekarang alhamdulillah semua udah normal lagi,” katanya. Sembari memilih-milih kopi dia menyebutkan urutan pemrosesan kopi di sana.

 

Setelah buah kopi dikupas, biji-bijinya akan dibersihkan dengan merendamnya dalam baskom, Setelah itu baru dijembur di rumah jemur. Setelah kering baru dipilih kemudian masuk ke tahapan roasting atau gonseng.

Potret Syafni petani kopi di rumah jemur bantuan Walhi Sumbar untuk Koperasi Kopi Rakyat
Potret Syafni petani kopi di rumah jemur bantuan Walhi Sumbar untuk Koperasi Kopi Rakyat

Kulit-kulit cherry kopi yang bertumpuk itu kemudian jadi bahan dasar untuk pupuk organik Kasimo. Bahan-bahan Organik Ada di Kebun Kebun kopi Kasimo berada di ketinggian 1200 mdpl di luar kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Luasnya sekitar tiga hektar. Untuk kesana Kasimo dan petani lainnya mengendarai sepeda motor yang sudah dimodifikasi sederhana. 

 

Ban dengan alur jalan aspal diganti dengan alur ban untuk tanah dan batu kerikil. Alur ban jenis ini mampu menjadikan sepeda motor lebih stabil saat mengangkut karung-karung kopi yang beratnya lebih kurang 50 kg hingga 60 kg sekali angkut. Jalan menuju kebun sepanjang lebih kurang 3 km itu cuma selebar setengah meter yang penuh batu sebesar tinju. Motor akan terus digeber karena jalan mendaki yang panjang. Jika menumpang di belakang maka bersiaplah pinggang serasa akan patah dan pantat menjadi kebas.

 

Seorang perempuan petani kopi memetik kopi arabika organik miliknya di dusun Suka Maju Sangir Solok Selatan/roehanaproject/ Uyung Hamdani
Seorang perempuan petani kopi memetik kopi arabika organik miliknya di dusun Suka Maju Sangir Solok Selatan/roehanaproject/ Uyung Hamdani

Hari rabu (20/12) Kasimo dan beberapa petani lain sedang panen. Beberapa perempuan petani terlihat cekatan memetik buah kopi yang disebut cherry oleh mereka. Bentuknya ada yang cukup bulat dan ada yang lonjong. Rata-rata berwarna merah seperti tomat yang ranum. Biji-biji kopi itu dimasukkan kedalam karung yang sudah disiapkan. Setelah diikat kuat karung-karung kopi akan dibawa ke bawah ke rumah prosesor melewati jalan yang sama.    

 

Salah satu pemetiknya adalah Attin. Perempuan berusia 40 tahun ini berpindah dengan cepat dari rimbun kopi ke rimbun yang lain. Tangannya cekatan memetik buah-buah kopi yang sudah masak. Pekerjaan yang perempuan ini lakukan bertahun-tahun ini membuatnya teliti dan telaten ketika memetik cherry merah.   “Kami ke kebun ini tiap hari, memberi pupuk, memotong cabang-cabang yang tak penting, membersihkan area kebun. Berangkat jam 8 pagi nanti pulang jam 3 atau jam 4 sore. Kalau panen bisa lebih cepat berangkat dan pulang kira-kira jam 5 sore,” katanya.   Sebuah pondok kayu di tengah kebun menjadi tempat istirahat sejenak. Air panas dari teko dituang ke gelas-gelas kaca. “Di kebun ini saya menanam kopi arabika organik,” kata Kasimo sambil memperlihatkan biji kopi arabika organik yang sudah dipanggang. 

Buah kopi organik dari kebun

Bahan-bahan organik ini dibikin Kasimo dari daun-daun yang ada di kebun kopinya. “Untuk pupuk saya buat dari sampah kopi dan obat pembasmi hama saya pakai daun-daunan yang tidak mau dimakan binatang hama,” kata  Kasimo sambil meraup sampah kopi dari karung didekatnya. Proses pengembangan Kopi arabika organik yang ditanam Kasimo tidak seindah yang dibayangkan. Berkali-kali petani lain menolak idenya karena dianggap tidak akan sukses dan tidak sebaik kualitas kopi dengan pupuk kimia. 

pupuk organik yang berasal dari sampah kopi seperti daun dan kulit buah kopi

“Banyak yang tidak percaya pada saya karena kopi organik ini cuma menghasilkan sedikit,” lata Kasimo tertawa sembari mengenang masa-masa awal ia mengajak kawan-kawan petaninya ikut menanam kopi organik.    Bertani ala organik bagi Kasimo adalah jalan keluar untuk tetap mempertahankan kesuburan lahan sekaligus menghasilkan kualitas kopi yang baik sehingga mendongkrak nilai jual di pasaran. Pertumbuhan kopi dengan cara organik memang lambat.

 

Model ini membutuhkan jangka waktu sebulan untuk bertunas dan berbuah, beda halnya dengan yang menggunakan pupuk dan pembasmi hama kimia yang memang bisa menstimulasi kecepatan bertunas dan berbuah.  “Tumbuhnya tunas kopi dan buah memang tidak secepat pupuk kimia,” kata Kasimo. “Tapi buahnya lebat dan kualitasnya sangat bagus,” Tambahnya.   

 

Kasimo mengatakan bahan organik ini sangat mudah di dapat. Lagipula menurutnya kesuburan tanah akan terjaga lebih lama ketimbang menggunakan bahan kimia. Sebab menurutnya penggunaan akan mempercepat penurunan kesuburan tanah. “Saya tiap pagi mengumpulkan sampah kopi untuk dibuat pupuk dan mencari daun Surian untuk pembasmi hama,” kata kasimo menerangkan aktifitas paginya. Kasimo dan anggota Koperasi Kopi Rakyat adalah contoh kecil petani kopi yang terdampak wabah seperti Covid 19 di tahun 2020. Petani seperti Kasimo dipaksa bertahan habis-habisan. Ada yang kandas dan tak bangkit lagi dan ada yang beruntung seperti Kasimo.

Dukung kami untuk menghadirkan cerita, dan liputan yang mendalam terkait yang terpinggirkan.

Silahkan klik tautan dibawah ini.