Konflik Bidar Alam: Berharap Sepatu Mengkilat, Penjara yang didapat Masyarakat

Oleh: Fachri Hamzah

 

Konfik Bidar Alam menjadi cermin kemerdekaan yang diperjuangkan saat Pemerintahan Darurat Republik Indonesia dahulu tidak benar-benar dirasakan. Hak warga atas ruang hidupnya terancam terus menerus bertahun-tahun.

 

 

“Matipun saya tidak akan takut, karena ini hak saya,” kata Apri Gamal. 

 

Apri Gamal merupakan satu dari 300 masyarakat Bidar Alam, Solok Selatan yang tanahnya dimanfaatkan PT Ranah Andalas Plantation (RAP) untuk dijadikan perkebunan sawit pada 2005. Sudah puluhan tahun Gamal menanti tetapi janji perusahan tidak kunjung direalisasikan. 

 

Akhirnya Gamal bersama puluhan masyarakat melakukan perlawanan. Namun 2020 Gamal bersama 5 orang kawannya mendapatkan surat pemanggilan dari Polres Solok Selatan dengan tuduhan pencurian.

 

“Saya merasa tidak bersalah dengan apa yang saya lakukan, karena ini adalah saya,” katanya.

 

Suasana seketika hening, Gamal mengingat kembali perjuangannya dalam merebut tanahnya. Perusahaan sudah menguasainya sejak 2005. Seketika air mata Gamal tak bisa dibendung. “Begitu mengharukan jika dikenang,” kata Gamal sambil mengusap air mata.

 

Awalnya dia terbuai dengan rayuan perusahaan untuk mengelola tanahnya menjadi kebun kelapa sawit. Sebab ketika datang perusahaan membangun kerja sama dengan tokoh masyarakat dengan skema bagi hasil. Jika sudah panen perusahaan akan memberikan hasilnya sebesar 40 persen kepada masyarakat.

 

Perusahaan tak kunjung merealisasikan perjanjian tersebut sejak 2005 atau umur perusahaan masih empat tahun, Masyarakat Bidar Alam, kata Gamal sudah mulai bertanya-tanya. Sehingga ada perwakilan dari masyarakat menanyakan hal tersebut. 

 

“Ambo kiro ka pakai sepatu bakilek se kalau maagiahan tanah ka perusahaan. Kironyo kanai kicuah ambo,” kata Gamal dalam bahasa Minangkabau. Artinya Gamal mengira akan mendapat sepatu berkilat jika memberikan tanah ke perusahaan, ternyata perusahaan mengicuh dirinya. 

 

Beberapa kali Gamal sudah mencoba mempertanyakan haknya kepada perusahaan. Namun hasilnya nihil alias tidak ada hasil. Perusahaan terus berkilah dan mengumbar janjinya. “Kami pernah beberapa kali menanyakan hak yang sesuai perjanjian, tapi tak kunjung ada hasil,” tuturnya.

 

Sementara itu  Zulkanaini alias Tanjak yang juga menjadi korban  mengatakan pada 2014 perusahan membuat kesepakatan lagi dengan masyarakat. Isi perjanjiannya adalah masyarakat memberikan waktu tenggat pembinaan kepada perusahaan untuk mengelola kebun sawitnya. 

 

Dua tahun kemudian mereka membuat perjanjian lagi dengan perusahaan yaitu pembagian hasil 60 per 40. Namun hal tersebut tidak juga terealisasi dengan sebagaimana mestinya. Lalu perusahaan merealisasikan atas nama pinjaman masyarakat sebesar 100 sekali 3 bulan. 

 

“Perjanjian ini sempat berjalan selama 8 bulan, kalau perusahaan masih ingkar, sebab pinjaman tersebut diberikan hanya sekali 5 bulan,” katanya. 

 

Akhirnya masyarakat tidak menerima hal demikian. Sebab perusahaan yang sudah berjalan 15 tahun lebih itu tidak kunjung memberikan labanya sesuai perjanjian. Masyarakat terus memprotes hal tersebut dan meminta kejelasan. 

 

“Saya sebagai anggota tim 9 yang menjadi mediator antara perusahan dan masyarakat, mencoba melaporkan keluhan masyarakat tersebut. Namun tidak ada respon perusahaan,” katanya.

 

LBH: Perusahaanlah yang Harusnya Diadili!

 

Koordinator Divisi Advokasi LBH Padang Diki Rafiqi memandang kasus yang terjadi di Bidar Alam Solok Selatan merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Secara terus-menerus masyarakat dilanggar haknya dan tidak pernah dipulihkan. “Ini tentu perlu pemulihan hak masyarakat yang telah menderita puluhan tahun, karena izin dari pemerintah,” katanya.

 

Setelah hak masyarakat tidak kunjung diberikan. Masyarakat malah dikriminalisasi dengan tuduhan mencuri. Padahal masyarakat hanya memanen sawit di atas tanah mereka. “Ada 6 masyarakat Bidar Alam saat ini yang ditahan Polres Solok Selatan, kan lucu. Masyarakat hanya menuntut hak nya,” kata Diki. 

 

Menurut Diki perusahaanlah yang harus diadili bukan masyarakat. Karena ada banyak pelanggaran yang dilakukan perusahaan terhadap masyarakat. Pertama perusahaan tidak menepati janji dengan masyarakat dengan skema bagi hasil 60 per 40 persen. “Tentunya ini merupakan wanprestasi dalam perdata. Dan ada indikasi penggelapan juga dari kerja sama ini dengan perusahaan,”: katanya.

 

Lalu Perusahaan tidak melakukan pembangunan perkebunan dengan baik, merujuk kepada Peraturan Menteri Pertanian Nomor 21/PERMENTAN/KB.410/6/2017 Tahun 2017 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98/PERMENTAN/OT.140/9/2013 Tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.PT RAP sudah mendapatkan Izin Usaha Perkebunan (IUP) dari Pemerintah Kabupaten Solok Selatan, tetapi pelaksanaan IUP ini tidak pernah terlaksana, dengan beberapa persoalan seperti pembebasan tanah. Sehingga perusahaan harus mendapatkan SP3. 

 

“Jika merujuk kepada Permentan pada pasal 48 ayat (4), perusahaan harusnya sudah dicabut IUPnya, tapi sampai saat ini belum ada. Sp 3 ini dikeluarkan disaat masa plt jasman Rizal transisi ke bupati terpilih sekarang Khairunnas, tapi setelah menjabat bupati tidak ada keberanian bupati untuk mencabut. Oleh akibat itu masyarakat terabaikan dan di kriminalisasi. Sudah tepat menyatakan pemkab Solok Selatan melakukan pelanggaran HAM,” katanya.

 

Kronologi Kasus Bidar Alam 

 

PT RAP memulai pengambilalihan tanah masyarakat untuk perkebunan kelapa sawit seluas ± 4.000 Ha setelah mendapatkan izin lokasi dari Bupati Solok Selatan pada 2005. Pada tahun yang sama Bupati Solok Selatan memberikan  izin lokasi seluas 14.600 hektar yang berada di dua kecamatan, Sangir Jujuan dan Sangir Batang Hari.

 

Setahun kemudian, Bupati Solok Selatan mengeluarkan Surat Keputusan pada Februari 2006 tentang pemberian izin usaha perkebunan kepada PT. RAP.

 

Sehingga pada Mei 2006 PT RAP membuat  Memorandum of Understanding (MOU) dengan masyarakat  Nagari Bidar Alam dan PT. RAP. MOU ini mencakup pemberian tanah ulayat kaum kepada PT. RAP selama 30 tahun dengan pembagian hasil 40% untuk masyarakat dan 60% untuk perusahaan.

 

Pada Januari 2007, terjadi kesepakatan penyerahan lahan seluas 5.76 Ha kepada PT. RAP untuk kebun kelapa sawit. Maret 2007, perjanjian kerjasama antara PT. RAP dan masyarakat pemilik lahan yang diwakili oleh 13 orang Ninik Mamak, Pemangku Adat, dan Penguasa Tanah Ulayat kaum di Nagari Bidar Alam dibuat melalui notaris. Perjanjian ini tidak mencantumkan luas tanah yang diserahkan oleh masyarakat, hanya izin lokasi seluas 14.600 Ha.

 

Pada September 2009, PT. RAP sudah mulai panen, namun masyarakat menuntut pembagian hasil 40% yang tidak dipenuhi oleh PT. RAP. Mei 2011, Bupati Solok Selatan memberikan surat peringatan I kepada PT. RAP atas dugaan pelanggaran hak atas tanah.

 

Pada November 2011, Bupati memberikan surat peringatan II kepada PT. RAP atas dugaan pelanggaran hak atas tanah. Juli 2014, masyarakat melaporkan permasalahan ini kepada Komnas Perwakilan Sumatera Barat.

 

Desember 2014, kesepakatan terkait pembangunan kebun kelapa sawit dibuat antara PT. RAP dan masyarakat Nagari Bidar Alam yang difasilitasi oleh Pemerintah Kabupaten Solok Selatan. Bupati Solok Selatan membentuk tim terpadu penyelesaian permasalahan PT. RAP dengan masyarakat pada November 2016 dan Juli 2020.

 

Agustus 2020, Bupati Solok Selatan mengeluarkan surat permohonan sertifikat masyarakat yang menyatakan bahwa izin lokasi PT. RAP tidak berlaku lagi sejak Juli 2008. Oktober 2020, Bupati melarang panen sawit oleh PT. RAP dan pemilik lahan, tetapi PT. RAP tetap melanjutkan panen.

 

Oktober 2020, masyarakat dikirimkan surat klarifikasi terkait dugaan pencurian tandan buah segar (TBS) di PT. RAP.

 

Pada 2023 sebanyak 6 orang masyarakat Bidar Alam ditahan di Polres Solok Selatan. Masyarakat ditahan atas tuduhan mencuri sawit di kawasan milik PT RAP. Data ini berdasarkan kronologi kasus LBH Padang.

Dukung kami untuk menghadirkan cerita, dan liputan yang mendalam terkait yang terpinggirkan.

 

Silahkan klik tautan dibawah ini.