Oleh: Rus Akbar
Desfri Samaloisa (21) bolak-balik dari rumahnya ke sungai yang berada di belakang pemukiman, berjarak sekira 200 meter. Dia membawa jeriken 5 liter dan satu jeriken yang sudah dimodifikasi menjadi ember.
Setiap hari sejak sebulan belakangan, Desfri bolak balik ke sungai mengambil air untuk memasak dan minum. Sudah sebulan, keran air pamsimas di rumahnya tidak lagi menetes.
Sumber airnya mengering karena kemarau dan tidak ada hujan sejak dua bulan lalu.
Selain mengambil air, Desfri dan ibu-ibu lain di dusunnya juga setiap hari mandi dan mencuci di sungai. Tugas domestik yang biasa dilakukan Desfri dan ibu lainnya menjadi berat kala kemarau datang karena mereka harus mencari air dan mengangkatnya sendiri, sementara para suami ikut membantu di kala pulang melaut. Namun tetap mencari dan menyiapkan air bersih di rumah Sebagian besar menjadi tugas perempuan.
“Sudah satu bulan ini kami bolak-balik mengambil air ke sungai, saluran air pamsimas (Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat) kami sudah tidak mengalir lagi satu bulan ini, sebelumnya musim kemarau dua bulan lalu (September dan Oktober) air masih mengalir sampai ke rumah, tapi sejak November ini air sudah tidak sampai ke rumah,” tutur Desfri, 22 Oktober 2023.
Desfri tinggal di Pulau Simatapi, Dusun Sinaka, Desa Sinaka, Kecamatan Pagai Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai. Dia salah satu perempuan dari 63 perempuan yang bermukim di dusunnya.
“Satu hari saya bolak-balik delapan kali, empat pagi hari dan empat kali sore hari, ini dipakai untuk air minum dan memasak di dapur,” katanya.
Hal yang sama dialami oleh Aminah Samaloisa (38). Meski jarak sungai tergolong dekat ke pemukiman namun aktivitas mengambil air setiap hari bolak balik cukup merepotkan, apalagi dia memiliki anak perempuan penyandang disabilitas.
“Saya mengambil air tiap pagi, siang dan sore, air itu untuk diisi ke dalam empat ember, dipakai untuk mencuci piring. Kalau untuk minum saya pakai jeriken lima liter tergantung kebutuhan. Kemudian air diambil tersebut untuk memandikan anak saya nomor enam karena dia tidak bisa mandi sendiri,” katanya.
Dusun Sinaka dihuni 32 kepala keluarga atau 136 jiwa. Umumnya kaum laki-laki bekerja sebagai nelayan. Setiap hari menyelam dan memancing ke laut dari pagi hingga sore, atau berangkat malam dan pulang pagi hari.
Kepala Dusun Sinaka Anto mengatakan sudah hampir tiga bulan daerahnya mengalami kemarau. Padahal dua bulan sebelumnya air masih sampai ke rumah masyarakat meski diatur seperti pagi hidup, siang dimatikan, malam kembali dihidupkan.
“Sekarang air itu ada tapi sangat sedikit tidak bisa mengaliri ke rumah warga,” katanya.
Anto mengatakan ada fasilitas Pamsimas dibangun pada 2001. Meskipun kondisi saat ini masih baik, namun debit air berkurang sehingga tidak bisa mengalirkan air ke rumah warga.
“Solusi saat ini memang masyarakat layaknya membuat sumur. Ada beberapa rumah membuat sumur tapi itu hanya kebutuhan keluarga mereka sendiri, tapi kalau ada sumur masing-masing keluarga mungkin itu tidak harus ke sungai,” ucapnya.
Semenjak Ada Penebangan Kayu, Kemarau Ini Kedua Terparah Setelah 1988
Selama tinggal di Sinaka, pengalaman Anto, kemarau kali ini yang terparah kedua terjadi.
Pertama pada tahun 1988. Waktu itu terjadi musim kemarau selama delapan bulan. Namun saat itu air tidak sesulit itu. Tapi setelah ada penebangan kayu pada tahun 2001 oleh perusahaan kayu Mundam Sati dampaknya terasa saat ini.
“Perusahaan menebang kayu tersebut terjadi pada tahun 2001, tidak hanya di pulau di sini tapi di pulau seberang di Sinaka perusahaan tersebut juga menebang kayu,” tuturnya.
Situasi pahit juga dialami oleh Dusun Korit Buah, dusun tetangga Sinaka. Warganya merupakan pindahan dari Sinaka setelah gempa dan tsunami 2010. Pada tahun 2012 mereka pindah ke dataran tinggi yang minim sumber air. Saat musim kemarau ini kondisi sumur-sumur masyarakat setempat mengering.
Warga bahkan harus menggali sumur baru untuk mendapatkan air. Seperti yang dilakukan salah satu warganya bernama Martina (49) bersama suaminya.
Mereka harus menggali sumur tiga unit, satu untuk mandi, satu lagi untuk mencuci piring dan agak jernih sedikit untuk kebutuhan minum. Posisi sumur itu di belakang rumahnya dimana posisinya lebih rendah dari tempat dia tempati.
“Di sini ada air sungai berjarak 300 meter dari tempat saya, untuk ke sungai saja harus turun lagi ke bawah,” katanya.
Lokasi sungai itu ada tiga titik bagian sungai tersebut dipakai warga, satu titik bagian hulu, kemudian bagian tengah dan bagian taggurat (mudik/muara). Sialnya, kata Martina, saat mereka mau ambil minum di bagian tengah ternyata masyarakat lain di bagian hulunya sudah memakai mencuci piring, piring bahkan membersihkan ikan.
“Kami di bagian bawahnya sudah kotor, sehingga kami jadi korban. Bahkan ada yang buang hajat di hulu sungai tidaknya hanya anak-anak tapi juga orang dewasa,” katanya, 23 Oktober 2023 lalu.
Melihat kondisi itu Martina dan warga lain geram dan menyampaikan masalah tersebut kepada pemerintah setempat, namun setelah diberitahukan masih belum berubah. Solusi lain yang diambil oleh Martina dengan membuat sumur di belakang rumahnya.
“Sudah ada lima sumur, dua sumur itu dibuat sudah lama kondisinya sudah kering. Kemarin satu minggu lalu suami saya membuat air sedalam tiga meter namun airnya sangat sedikit hanya sedalam 30 centimeter air,” katanya.
Satu sumur itu airnya berwarna lumpur, dia ditutup dengan memakai daun kelapa. Sumur pertama ini dipakai untuk mencuci pakaian kadang untuk mandi.
“Tapi kita ambil air dulu baru kemudian kita masukkan dalam drum yang sudah dipotong, satu hari diendapkan dulu sampai lumpurnya turun ke dasar,” katanya.
Kemudian sumur berikutnya bagian bawah ada sedalam dua meter, kondisi airnya juga berwarna coklat, sumur ini dipakai untuk mencuci piring. Kemudian berjarak sekitar 10 meter arah ke bawa sumur sedalam dua meter lebih ini kondisi airnya bening tapi agak warga putih seperti mengandung kapur.
“Untuk sumur ini dipakai air minum. Saya sudah tidak kuat lagi mengambil air di sungai karena mendaki dan menurun, sekarang kami memakai sumur ini saja,” katanya.