Bilou (Hylobates-Klossii) di Pulau-Siberut Kabupaten Kepulauan Mentawai/roehanaproject/Arif Setiawan.

Keanekaragaman Hayati Mentawai yang Pelan-Pelan Lenyap dalam Senyap

Oleh: Febrianti*

 

““Kalau hutan ditebang tanaman obat akan hilang, susah kita mencarinya lagi, ada obat untuk membantu perempuan yang melahirkan, sakit pinggang, kena ular. Nggak bisa pohon ditebang, di bawahnya ada tanaman obat”-Aman Salomo.

 

 

Aman Godai menebas ruas-ruas bambu dengan parang tajamnya. Lalu memetik daun ailelepet berwarna merah muda yang baru tertanam di sebuah kebun obat.

 

“Ini untuk pendingin, supaya jiwa kita tenang,” kata Aman Godai kepada saya yang mengikutinya dari belakang. Dia menyangkutkan daun itu pada ujung kalung manik sikerei di dadanya. Setiap kali akan ritual, seorang sikerei selalu menggunakan daun ailelepet.

 

Aman Godai adalah sikerei dari Butui, Pulau Siberut. Dia mengumpulkan daun-daun dan berbagai jenis tanaman di hutan Dusun Boleleu, Sipora Utara, Kepulauan Mentawai.

 

Pagi itu dia bersama lima sikerei dari Siberut sedang mempersiapkan ritual punen tanah. Ritual ini untuk memberkati tempat mereka mengambil obat, sebab Dinas Kesehatan Mentawai menggagas dan akan menjadikan lokasi itu sebagai kebun tanaman obat.

 

Aman Godai juga memetik daun pilok, sejenis daun dari keluarga jahe-jahean.

 

“Untuk usir roh jahat,” katanya.

 

Aman Lepon, kakak Aman Godai mendatangi saya dan memperlihatkan satu jenis tanaman dengan akarnya.

 

“Ini daun mumunen, senang kita kalau memakainya, tidur juga bisa nyenyak, daun ini bisa digantung di dalam rumah, supaya kita bahagia,” kata Aman Lepon.

Aman Godai seoran sikerei ahli tanaman obat sedang memetik tanaman obat di hutan Pulau Sipora Kepulauan Mentawai 25 Oktober 2023/roehanaproject/ Febrianti.
Aman Godai seorang sikerei ahli tanaman obat sedang memetik tanaman obat di hutan Pulau Sipora Kepulauan Mentawai 25 Oktober 2023/roehanaproject/ Febrianti.

Pencarian Tanaman Obat Lebih Lama Karena Ini

Kedua kerei ini sudah saya kenal dengan baik. Dua tahun lalu saya juga pernah bermalam dan berkunjung ke uma besar mereka di Butui. Kelima kerei dari Butui itu menyebar berjalan di dalam hutan. Mereka mencarinya selama satu jam dalam areal seluas dua hektare. Waktu ini terhitung lama untuk mencari tanaman yang mereka butuh untuk ritual. Sebab  jenis tanaman untuk ritual di hutan itu tak lagi banyak.

 

“Sudah banyak tanaman yang hilang, untuk muturuk (menari) saat punen laggai yang kemarin kami membawa semua tanamannya dari Butui, seperti daun surak, aillepet, dan sikaunauk,” kata Aman Godai.

 

Tanaman penting itu ia bawa dalam karung, naik perahu dari Sungai Sarereireket dan melanjutkan perjalanan dengan naik kapal dari Dermaga Maileppet di Siberut ke Tuapeijat, Pulau Sipora. Pelayaran menghabiskan waktu enam jam.

 

Ia mengatakan hanya di hutan di kampungnya tanaman obat dan tanaman untuk ritual itu masih lengkap tumbuh. Tanaman itu tumbuh sendiri di bawah pohon, tidak ada yang menanam.

 

Penebangan Membuat Sikerei Khawatir

Aman Salomo dan Aman Lepon sedang mencari tanaman obat di hutan Sipora/roehanaproject/Febrianti.
Aman Salomo dan Aman Lepon sedang mencari tanaman obat di hutan Sipora/roehanaproject/Febrianti.

Ia mengkhawatirkan banyaknya penebangan hutan di beberapa tempat di Kepulauan Mentawai akan menghilangkan banyak tanaman obat.

 

“Tanaman obat banyak tumbuh di bawah lindungan pohon di hutan, begitu pohon ditebang, tanaman di bawahnya ikut mati. Jadi hutan jangan dihabiskan oleh perusahaan,” kata dia.

 

Tidak hanya Aman Godai, sikerei yang lebih tua Aman Salomo yang ada di sebelah Aman Godai ikut menimpali.

 

“Semua tanaman di hutan itu obat. Tidak beberapa jenis saja, tapi ratusan, kalau mau ditanam harus ditanam semuanya, karena yang diambil untuk ramuan obat itu sedikit-sedikit, tapi dari banyak jenis tanaman,” katanya.

 

Menurut Aman Salomo lebih bagus tidak merusak hutan, karena mereka dapat menggunakan semua tanaman  untuk ramuan obat.

 

“Kalau hutan ditebang akan hilang, susah kita mencarinya lagi, ada obat untuk membantu perempuan yang melahirkan, sakit pinggang, kena ular. Nggak bisa pohon ditebang, di bawahnya ada tanaman obat,” katanya.

 

Ia memetik setangkai daun sikukuet sambil berkata kepada saya. “Ini untuk mengobati ibu yang baru melahirkan.”

 

Sebelum pengobatan modern masuk ke Mentawai, sikerei menjadi andalan masyarakat untuk pengobatan, karena tidak ada pilihan lain. Bahkan hingga sekarang masyarakat pedalaman di Pulau Siberut masih berobat kepada sikerei, selain ke poliklinik desa atau puskesmas. Karena itu sikerei memiliki ratusan ramuan untuk mengobat aneka penyakit.

 

Saat ini sikerei hanya ada di Pulau Siberut, sedangkan di Pulau Pagai dan Sipora tidak ada lagi seiring dengan habisnya hutan alam. Namun di Sipora dan Pagai Utara dan Pagai Selatan masih ada siagailagek, orang yang bisa meramu tanaman obat, tetapi tidak menggunakan ritual magis seperti sikerei.

 

Mentawai Punya Kekayaan Apotek Hidup

Pada 2000 Pusat Studi Tumbuhan Obat Universitas Andalas melakukan penelitian tumbuhan obat di Dusun Rokdok, Siberut Selatan.

 

Tim Pusat Studi itu mencatat ada 209 jenis tumbuhan berguna sebagai obat-obatan tradisional oleh sikerei di dusun itu. Dari 209 koleksi terdapat 154 jenis tumbuhan yang tergabung dalam 53 famili. Sebanyak 85 persen atau 176 koleksi tercatat memiliki khasiat dan penggunaannya secara tradisional dan hanya 33 koleksi atau 15 persen tak diketahui khasiat dan penggunaannya.

 

Pusat studi itu kemudian meneliti kembali pada 2012 pada empat titik di Sumatera Barat, dua titik di antaranya di Pulau Siberut. Pada dua titik itu penelitian ini berhasil mengumpulkan 151 jenis tumbuhan obat dan mengidentifikasi 135 jenis taksonomi tanaman yang bermanfaat dalam 79 ramuan obat.

 

Hutan Mentawai tidak hanya kaya dengan tanaman obat, tapi juga memiliki keragaman yang tinggi. Keragaman ini tercipta karena Kepulauan Mentawai mempunyai sejarah geologis yang unik.

 

Selama zaman Pleistocene atau Zaman Es, kira-kira satu juta hingga 10 ribu tahun silam, permukaan laut di kawasan Asia Tenggara lebih rendah 200 meter dari sekarang. Hanya Kepulauan Mentawai yang terpisah dari daratan Pulau Sumatera saat pulau lainnya masih menyatu dengan Sumatera.

 

Joja (Presbytis potenziani) primata endemik-Mentawai di Hutan Berkat Sipora Utara pada September 2021/roehanaproject/Mateus Sakaliau.
Joja (Presbytis potenziani) primata endemik Mentawai di Hutan Berkat Sipora Utara pada September 2021/roehanaproject/Matius Sakaliau.

Keterpisahan itu menyebabkan flora-fauna di Mentawai terpelihara dari perubahan evolusi dinamis dan memiliki endemisitas  yang tinggi. Sekitar 65 persen dari 31 spesies hewan dan 15 persen dari 896 spesies tumbuhan di Kepulauan Mentawai adalah endemik. Teristimewa adalah empat primata endemik, yaitu bokkoi (Macaca siberu), joja atau lutung mentawai (Presbytis potenziani siberu), bilou (Hylobates closii), dan simakobu (Nasalis concolor siberu).

 

Namun kekayaan keragaman hayati itu semakin terancam. Penebangan hutan skala besar terus terjadi, melenyapkan biodiversitas hutan Mentawai dalam senyap.

 

SIPUHH sebagai Modus Baru

Penebangan hutan alam di Kepulauan Mentawai dalam dua tahun terakhir kembali marak akibat Balai Pengelolaan Hutan Produksi Wilayah III (BPHP) Pekanbaru mengeluarkan 31 hak akses SIPUHH (Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan) di Areal Penggunaan Lain atau APL dengan rata-rata seluas 50 ha.

 

Data dari Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat kayu yang sudah ditebang melalui hak akses SIPUHH pada Januari hingga 18 September 2023 di Pulau Sipora dan Pulau Pagai Selatan sebanyak 15.177 batang atau 29.938 kubik. Pada 2022 penebangan hutan alam di areal penggunaan lain di Pulau Sipora sebanyak 8.388 batang pohon atau 20.237 kubik kayu.

 

Penebangan di APL melalui PHAT (Pemegang Hak Atas Tanah) milik warga lokal yang penyokongnya adalah investor. Mereka melakukan penebangan dengan alat berat dan memanen ribuan kubik kayu dari kawasan hutan alam di kawasan APL itu.

 

Penebangan hutan besar-besaran di Pulau Sipora sejak dua tahun lalu telah menghancurkan habitat penting primata Sipora di Hutan Berkat hingga pantai Puakarayat di Desa Tuapeijat.

 

Melihat Gergaji Mesin Habiskan Hutan

Pohon habitat primata di Hutan Berkat Sipora Utara yang ditebang pada Juni 2022/roehanaproject.com/Febrianti.
Pohon habitat primata di Hutan Berkat Sipora Utara yang ditebang pada Juni 2022/roehanaproject.com/Febrianti.

Sepanjang hari gergaji mesin meraung membabat pohon-pohon di Pulau Sipora. Batang pohon besar hingga yang kecil rebah terbelah.

 

Orang-orang yang memegang kendali gergaji mesin itu menebang pohon-pohon keruing, meranti dan semua pohon yang penting bagi primata endemik. Mereka menjadikan Kayu-kayu itu gelondongan. Mengupas Kulitnya, selanjutnya menumpuk kayunya ke logpon di tepi Pantai Pukarayat. Menunggu kapal ponton mengangkutnya keluar Mentawai.

 

Dalam sekejap habitat penting primata endemik Mentawai, Joja, Simakobu, Bilou, dan Bokou hilang. Penebangan terus berlanjut ke Pantai Pukarayat di sebelah hutan Berkat hingga 2023.

 

Tahun lalu saya dan dua rekan saya Gerson Merari dan Rus Akbar melakukan liputan saat penebangan mulai berlangsung. Kami bersama Mateus Sakaliau, pegiat primata endemik Mentawai dari “Malinggai Uma” yang sering memotret primata di lokasi itu.

 

“Ini sangat menyedihkan, habitat primata di sana tak tersisa lagi,  primatanya juga tidak terlihat lagi, kita dengan cepat kehilangan primata penting itu,” kata Mateus kepada saya 5 Oktober lalu melalui telepon.

 

Ia mengkhawatirkan nasib keempat primata endemik Mentawai di Pulau Sipora, karena sama sekali tidak ada kawasan konservasi untuk mereka.

 

Primata Endemik Mentawai Terancam

Simakobu (Simias concolar) salah satu primata endemik Mentawai di hutan Berkat Sipora Utara pada September 2021/roehanaproject/Mateus Sakaliau.
Simakobu (Simias concolar) salah satu primata endemik Mentawai di hutan Berkat Sipora Utara pada September 2021/roehanaproject/Matius Sakaliau.

Ahli primata dari Universitas Andalas Rizaldi mengatakan ancaman primata endemik Mentawai semakin meningkat dengan terjadinya deforestasi hutan akibat penebangan hutan yang masif.

 

“Yang paling urgent sekarang adalah primata-primata yang ada di Pulau Sipora, Pagai Utara dan Pagai Selatan. Karena tidak ada kawasan perlindungan. Sepanjang tidak ada hutan konservasi habitat, primata itu akan hilang,” kata pria berkacamatan ini.

 

Rizaldi mengatakan selama ini banyak yang menganggap kawasan perlindungan primata endemik Mentawai sudah cukup di Taman Nasional Siberut sehingga tiga pulau lainnya seperti Pagai Utara, Pagai Selatan dan Sipora hampir tidak ada kawasan konservasi.

 

Padahal menurutnya para ahli taksonomi sudah membedakan dua jenis primata antara Siberut dan tiga pulau lainnya. Sehingga primata endemik di Mentawai kini menjadi enam jenis.

 

Ada enam spesies primata dari empat genus di Mentawai. Rizaldi menyebutkan primata endemik itu adalah Owa Mentawai atau Bilou (Hylobates klossii), Simakobu Pagai (Simias concolor concolor), Joja Mentawai (Presbytis potenziani), Joja Siberut (Presbytis siberu), Beruk Pagai (Macaca pagensis), dan Beruk Siberut (Macaca siberu). Keenamnya berstatus terancam punah.

 

“Yang paling kita khawatirkan primata akan kehilangan habitat, degradasi hutan atau gangguan terhadap habitatnya saja sudah bisa menurunkan jumlah populasi primata, apalagi kalau hutannya di-clearing, itu akibatnya akan sangat parah,” ujarnya.

 

Dua ekor Bokoi (Macaca pagensisi) di hutan Berkat pada September 2021/roehanaproject/Mateus Sakaliau.
Dua ekor Bokoi (Macaca pagensisi) di hutan Berkat pada September 2021/roehanaproject/Matius Sakaliau.

Para Pemegang Izin Membabat Hutan

Penebangan hutan yang berlangsung di Mentawai saat ini tidak hanya melalui hak akses SIPUHH, tetapi juga Hak Pengusahaan Hutan. Data dari Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat menginformasikan ada dua pemegang HPH yang beroperasi di Mentawai, yaitu PT Minas Pagai Lumber dan PT Salaki Suma Sejahtera.

 

PT Minas Pagai Lumber mengantongi izin HPH seluas 78 ribu hectare di Pulau Pagai Selatan dan Pulau Pagai Utara, sedangkan PT Salaki Suma Sejahtera mengantongi izin HPH seluas 49.440 hektare di Pulau Siberut.

 

Dari reportase saya di Dusun Matobat, Desa Sinaka di lokasi rencana kerja tahunan PT Minas Pagai Lumber pada awal September 2023, mereka menumpuk ratusan kayu gelondong di pinggir hutan kanan kiri Sinaka KM 51.

 

Tumpukan gelondong itu dibawa ke kapal ponton di logpon Aban Baga. Pohon-pohon penting primata seperti keruing dan meranti yang besar dan tinggi menjadi sasaran utama penebangan. Padahal menurut penduduk setempat, primata di sana masih cukup banyak karena masih ada hutan primer.

 

Rizaldi mengingatkan ketika alat berat mulai beroperasi dan masuk ke kawasan primata-primata tersebut, kemudian menebangi pohon-pohon yang besar, dalam kurun yang singkat primata tersebut akan kehilangan potensi makanan. Dampaknya di sana tidak satupun primata yang bisa hidup.

 

“Kepulauan Mentawai adalah daerah terkecil dan terendemik di dunia, karena untuk ukuran pulau-pulau yang kecil memiliki enam primata endemik. Sekali mereka punah, selamanya kita akan kehilangan primata itu karena hanya ada di Mentawai,” ujar Rizaldi.

 

Dengan banyaknya izin penebangan yang pemerintah keluarkan di Kepulauan Mentawai, masa depan keragaman hayati di Kepulauan Mentawai, termasuk tumbuhan obat dan primata-primata endemiknya semakin suram. Tanpa kita sadari, diam-diam semuanya akan tinggal kenangan.

 

 

 

*Jurnalis lepas Tempo penerima hibah Rainforest Journalism Fund dari Pulitzer Center. Tulisan Febrianti juga tersebar di berbagai media seperti BBC, Ekuatorial dan Jurnalistravel.

 

Foto: Febrianti dan Matius Sakaliau

Dukung kami untuk menghadirkan cerita, dan liputan yang mendalam terkait yang terpinggirkan.

 

Silahkan klik tautan dibawah ini.