Biomassa menjadi solusi palsu krisis iklim dan membuat rugi masyarakat Mentawai. Mangkraknya Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa di Madobag, Matotonan dan Saliguma Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, menjadi bukti nyata.
Hal ini menjadi isu yang diangkat dalam nonton bareng dan diskusi film dokumenter Berebut Ruang dan Terang di Mentawai. Trend Asia yang menggagas film ini bekerjasama dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang dan Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCM-Mentawai), Forum Mahasiswa Mentawai Sumatera Barat dan The Society of Indonesia Environmental Journalists (SIEJ) Simpul Sumatera Barat.
Proyek Ambisius yang Gagal
“Kejadian di Mentawai adalah potret dari kebijakan energi negara yang terlalu serampangan dan tidak ada arah kebijakan energi yang adil untuk rakyat,” kata Diki Rafiqi selaku Koordinator Divisi Advokasi Lembaga Bantuan Hukum Padang, pada Kamis (19/10/2023) di Laboratorium Sosiologi Universitas Negeri Padang.
“Memang tidak dipungkiri masyarakat mentawai butuh penerangan tapi saya melihat bagaimana kegagalan pemerintah menjalankan tugas untuk memenuhi hak dari masyarakat Mentawai,” kata Yosafat selaku wakil ketua Forma Sumbar senada.
Amalyareza selaku Manajer Program Bioenergi Trend Asia mengatakan film Berebut Ruang dan Terang di Bumi Sikerei ini untuk membeberkan fakta bagaimana pemerintah berusaha menghadirkan solusi palsu untuk menjawab solusi dari krisis iklim.
Dia mengatakan biomassa di Mentawai berpotensi pada pembukaan hutan alam besar-besaran. Seperti rencana perusahaan yang statusnya sebagai Hutan Tanaman Energi dalam film tersebut yang akan membuka sekitar 19 ribu hektare untuk penanaman kaliandra dan penggunaannya untuk bahan bakar biomassa. Padahal hutan alam itu sumber pangan, air dan penghidupan masyarakat Mentawai.
Dia mencontohkan salah satu perusahaan di Papua yang membangun PLTBM (Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa) yang menghancurkan hutan alam Merauke. Terjadi deforestasi dan perampasan lahan dengan alasan untuk pemenuhan energi di Papua.
Gerson dari YCMM mengatakan terkait PLTBM Mentawai itu tidak hnya menggunakan bahan bakar bambu tapi juga kayu. “Kebutuhan untuk 24 jam itu adalah 3 ton kayu. “Kemana ambil kayu sebanyak itu? Ujungnya ambil ke hutan alam. Itu proyek ambisius yang gagal,” katanya.
Apa Kata Akademisi?
Khairul Fahmi akademisi dari Sosiologi Universitas Negeri Padang mengatakan pemerintah sejak awal menggunakan perspektif antroposentris. Melihat semua yang ada di alam untuk kepentingan manusia. Dia menyebut ada tiga perspektif dalam sosiologi terkait cara memperlakukan lingkungan.
Pertama perspektif antroposentris yang mengutamakan manusia dalam hubungannya dengan alam. Kedua perspektif biosentris yang mengatakan semua makhluk setara dan sama pentingnya untuk keseimbangan alam semesta dan saling menjaga dan menihilkan aspek biotik. Ketiga perspektif ekosentris yang mengkritik pandangan antroposentris dan memusatkan seluruh ekologi dan alam semesta saling tergantung.
Selanjutnya Fahmi mengatakan perspektif ekosentris bisa menjadi pandangan yang berkaitan dengan keberlanjutan. Dia juga memberi rekomendasi dalam diskusi ini yaitu posisi seimbang antar sesama stakeholder di Mentawai. Sebab menurutnya ada hubungan yang terputus antara masyarakat dan pemerintah. Dia mengatakan pola pikir pembuat kebijakan harus berwawasan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.
Gusmardi Indra selaku akademisi dari Program Studi Kehutanan Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat mengatakan kayu atau pohon adalah pertahanan terakhir ekologi Mentawai.
Jaka Hendra Baittri selaku koordinator The Society of Indonesia Environmental Journalists (SIEJ) Simpul Sumatera Barat mengatakan semua pihak seharusnya punya imajinasi alternatif untuk menghadapi krisis iklim dan transisi energi. “Tidak hanya mengukurnya dengan hitung-hitungan ekonomi tapi ada alternatif lain dalam menghadapi krisis iklim dan energi bersih di Mentawai,” katanya.
Acara diskusi diadakan di Universitas Negeri Padang pada 19 Oktober dan Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat pada 20 Oktober 2023. Diskusi dan Nonton Bareng ini juga dalam rangka memperingati hari Big Bad Biomass sedunia.
Foto: Fachri Hamzah