Afrida seorang pemulung berusia 62 tahun di Pantai Purus Kota Padang/Kemiskinan/roehanaproject/Mona Triana

Melihat Kaum Miskin Kota Padang Dibalik Klaim Peningkatan Ekonomi dari Pemerintah 

Oleh: Triana

 

 

Dalam realitas kompleks kehidupan, sering kali masyarakat mengaitkan kemiskinan dengan kurangnya semangat dan kerja keras. Perspektif ini seringkali tidak mempertimbangkan latar belakang yang lebih mendalam dari persoalan kemiskinan. Terdapat kesalahpahaman umum bahwa kemiskinan hanyalah akibat dari malas atau kurangnya usaha individu. Jika melihat lebih jauh, banyak orang yang berjuang keras, bekerja tanpa henti dari pagi hingga malam, namun tetap merasakan keterbatasan ekonomi yang menghantui.

 

Melansir data Badan Pusat Statistik Sumatera Barat 2022 dan Langgam.ID angka kemiskinan Kota Padang adalah 4,26 persen. Melalui data itu pemerintah mengklaim angka masyarakat miskin turun palling banyak selama 12 tahun belakangan.

 

Namun angka bukanlah fakta mutlak, Sebab jumlah penduduk miskin Kota padang masih besar. Kantung-kantung kemiskinan masih ada di kawasan Purus, Pantai Padang yang merupakan destinasi wisata di Kota Bengkuang ini masih banyak penduduk miskin. Tidak dipungkiri banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi.

 

Kemiskinan ini tak hanya berpatokan pada jumlah pendapatan melainkan banyak faktor. Seperti waktu kerja, keamanan kerja, jaminan keamanan saat bekerja, akses pendidikan keluarga dan akses yang menjadi hak mereka sebagai warga negara lainnya.

 

Afrida Menjadi Pemulung dan Anak-Anaknya Menjaga Parkir 

 

Pada satu hari yang cerah saya menemui Afrida. Pemulung berusia 62 tahun itu menyisir trotoar dengan pandangannya yang mencoba teliti. Setelah dapat lantas mengambil satu per satu botol plastik bekas yang berada di pinggir jalan. Dia mengumpulkan botol dan gelas plastik ke dalam kantong plastik merah. Afrida telah melakoni pekerjaannya tersebut selama puluhan tahun lamanya. Hal itu tak terlepas karena latar belakangnya tidak tamat Sekolah Dasar sebab biaya.

 

“Saya dulu pernah sekolah SD tapi tidak tamat,” kata Afrina.

 

Demi menyambung hidup dari hari ke hari, Afrida setiap harinya mengumpulkan botol plastik bekas untuk dijual kepada pengepul yang ada di Purus 3.

 

“Saya kumpulkan dulu di rumah nanti kalau sudah banyak baru dijual, per kilonya sekarang Rp 4 ribu,” ucap Afrida sambil memperhatikan demo yang terjadi di Pantai Purus.

 

Susahnya perekonomian sehari-hari mau tidak mau diturunkannya kepada anak-anaknya. Tiga anak Afrida tidak tamat sekolah dan saat ini bekerja sebagai tukang parkir di Pantai Purus. Bahkan Afrida merasakan kesulitan lainnya karena penggusuran sepanjang Pantai Purus. Menurutnya akibat adanya penggusuran dia merasa susah mencari sampah botol plastik yang harus dikumpulkannya untuk biaya hidup.

 

“Biasanya di sini banyak sampah botol plastik, sekarang sudah berkurang karena pedagang sudah digusur,” katanya.

 

Meskipun usianya yang sudah tua, Afrida tetap semangat untuk mengumpulkan sampah botol plastik agar bertahan hidup.

 

“Saya tinggal bersama anak, tapi untuk hidup masing-masing, karena anak saya sudah berkeluarga,” ucapnya.

 

Berdasarkan statistik terbaru, angka kemiskinan di Kota Padang memang menunjukkan penurunan yang menggembirakan. Namun di balik data tersebut, masih ada banyak warga miskin lainnya yang dengan gigih berjuang untuk bertahan hidup.

 

Mereka terpaksa merelakan hak mereka untuk mendapatkan pendidikan yang layak karena besarnya biaya yang harus dikeluarkan. Tantangan ini menggambarkan keadaan yang kompleks, di mana perjuangan hidup terus berlanjut meskipun statistik mencatat penurunan kemiskinan.

 

Hidup dari Menjaga Parkir

Edi tukang parkir di kawasan Batang Arau Kota Padang/roehanaproject/Mona Triana
Edi tukang parkir di kawasan Batang Arau Kota Padang/roehanaproject/Mona Triana

 

Edi Firmansyah (44) seorang tukang parkir di kawasan Batang Arau, telah memulai bekerja sejak kelas 3 SD. Pendidikan Edi hanya tamat SMP, ia tak bisa melanjutkan pendidikannya karena biaya.

 

“Dulu waktu sekolah, saya bekerja sambil parkir,” kata Edi yang tinggal di Seberang Padang dan memiliki empat orang anak ini.

 

Empat orang anak Edi, tiga di antaranya sudah putus sekolah. Satu anak perempuannya yang paling besar hanya sekolah sampai bangku SMP, lalu dua anaknya putus sekolah saat kelas 3 SD dan satu anaknya yang paling kecil saat ini masih sekolah di bangku kelas 1 SD.

 

“Yang besar tamat SMP, tidak mau lanjut sekolah lagi dan sekarang di rumah saja,” ungkapnya.

 

Sementara itu, sang istri bekerja sebagai tukang masak di salah satu kafe di Kota Padang.

 

Sebagai tukang parkir, Edi ternyata bekerja dengan orangtuanya. Orangtuanya yang memiliki lahan parkir, sehingga dia harus membagi pendapatannya dengan orang tuanya setiap hari. Satu hari ia bisa mendapatkan Rp 50 ribu hingga Rp 150 ribu, tergantung ramai tidaknya pengunjung ke coffee shop tempat Edi bekerja sebagai tukang parkir. Dia bekerja dari pagi sampai malam.

 

“Seperti sekarang lagi ada acara, jalan tutup, tidak ada yang parkir, dapat Rp 50 ribu aja susah,” kata Edi yang juga pernah bekerja di bengkel sebagai tukang cat.

 

Untuk menambah pemasukkan, Edi juga bekerja sebagai tukang angkat keramik di Pasar Mudik. Dalam satu harinya ia mendapatkan upah sekitar Rp 100 ribu. Tak hanya itu demi menghidupi keluarga dia melakoni segala macam pekerjaan dari menjadi tukang semir sepatu, tukang cat, kerja bangunan, nelayan hingga tukang parkir.

 

Namun demikian dia tak bisa melepaskan pekerjaan sebagai tukang parkir karena amanat almarhum ayahnya. “Orang tua saya dulu bekerja parkir di sini juga, karena hal itu juga saya berhenti kerja di bengkel untuk melanjutkan sebagai tukang parkir di sini,” kata pria asli Pesisir Selatan ini. Hal ini juga yang membuatnya membagi hasil parkir kepada orang tua perempuannya yang saat ini tinggal di daerah Cendana, Mata Air, Padang.

 

Edi menyebutkan penghasilan selama satu bulan kurang lebih Rp 2 juta. Dia mengakui penghasilan sebanyak itu tak cukup untuk menghidupi biaya keluarganya. Tetapi dapat terbantu karena istrinya juga bekerja. Saat ini setiap harinya Edi hanya ingin mencukupi kebutuhan anak-anaknya dan berharap anak bungsunya tidak putus sekolah seperti dirinya.

 

Senada, Emawati (52) yang bekerja sebagai tukang parkir di ikan bakar Joni Kun dan pasar Tanah Kongsi telah menggeluti pekerjaannya sedari kecil. Nenek Emawati juga mengamanahkan padanya untuk tetap menjaga lahan parkir di Pasar Tanah Kongsi. Dari segi pendidikan Emawati lebih beruntung dari Edi, ia bisa menyelesaikan sekolah hingga tamat SMA.

 

“Saya dari dulu sudah kayak gini kerja keras, bukan tidak mau kerja yang lain tetapi karena nenek sudah beramanah kalau tamat sekolah tolonglah nenek punya lahan parkir,” ucapnya.

 

Emawati menceritakan orangtuanya dulu bekerja sebagai penjual kue keliling, sedangkan sang kakek bekerja sebagai tukang sapu di Tanah Kongsi dan neneknya dulu sebagai tukang parkir sepeda di tahun 70-an di Tanah Kongsi.

 

Meskipun pekerjaan sebagai tukang parkir, Emawati tidak ingin orang mengasihaninya, apalagi meminta minta. Ia ingin punya tabungan di hari tuanya, karena itu meskipun sudah berumur lebih dari setengah abad Emawati tetap semangat bekerja.

 

Setiap harinya mulai dari pukul 06.30 WIB pagi, ibu satu orang anak ini telah mengatur parkiran di Tanah Kongsi, kemudian lanjut siang harinya di ikan bakar Joni Kun. Emawati terlihat sangat lihai mengatur kendaraan roda dua maupun roda empat, suaranya yang lantang terdengar mengarahkan para pengendara untuk memarkirkan kendaraan mereka.

 

“Di pasar Tanah Kongsi parkir khusus motor, jam 11 siang baru ke sini sesuai jam buka Joni Kun,” katanya yang bekerja sampai pukul 22.00 WIB.

 

Memiliki Uang Namun Terbatas Akses Pekerjaan dan Pendidikan

 

 

Emawati yang telah mulai bekerja jadi tukang parkir di Joni Kun sejak Januari 2002 ini menyebut pendapatannya saat ini jauh menurun setelah pandemi covid. Dulu sebelum pandemi ia bisa memperoleh per hari Rp 400 hingga Rp 500 ribu. Sementara itu saat ini paling banyak hanya Rp 100 ribu. Sedangkan pendapatan parkirnya di Tanah Kongsi per harinya Rp 50 ribu jika hari pasar, kalau hari biasa kisaran Rp 30 ribu.

 

“Yang penting kita melayani orang dengan total,” kata Emawati yang merupakan orangtua tunggal bagi anaknya. Bekerja sebagai tukang parkir, Emawati juga harus menyetor ke Dinas Perhubungan Kota Padang setiap bulannya sebesar Rp 200 ribu.

 

Emawati hanya memiliki seorang anak laki-laki, yang saat ini sudah berumur 30 tahun. Tetapi sayangnya anaknya tersebut tidak bekerja dan saat ini hanya di rumah. Emawati berkeinginan untuk membukakan usaha bagi anaknya. Karena itu dia bekerja dari pagi sampai malam untuk memenuhi keinginannya.

 

“Dulu dia pernah bekerja di Jakarta, dua tahun kerja sebagai kurir, terus balik lagi ke Padang,” katanya.

 

Menurut teori Marjinal dari Lewis, kemiskinan perkotaan disebabkan oleh budaya kemiskinan yang tersebar di kalangan masyarakat. Budaya ini mencakup sikap apatis, kurang usaha, kecenderungan menyerah pada nasib, ketidakstabilan keuangan, kurang pendidikan, dan kurang ambisi membangun masa depan. Ini menciptakan lingkungan di mana kesejahteraan dan kekerasan merajalela.

 

Ardiani penjual jagung bakar di kawasan Jembatan Siti Nurbaya Kota Padang/roehanaproject/Mona Triana
Ardiani penjual jagung bakar di kawasan Jembatan Siti Nurbaya Kota Padang/roehanaproject/Mona Triana

 

Berbeda lagi cerita, Ardiani (47) adalah seorang pedagang jagung bakar di Jembatan Siti Nurbaya. Dia memiliki seorang anak laki-laki yang hanya lulus SMP, sama seperti dirinya yang juga hanya lulusan SMP.

 

Ardiani mengaku tak mampu melanjutkan pendidikannya karena persoalan biaya. Orangtuanya dulu juga bekerja sebagai pedagang jagung bakar, dan Ardiani telah membantu orangtuanya berjualan dari semasa kecil.

 

“Saya sudah berjualan jagung bakar ini kurang lebih 20 puluh tahun,” katanya.

 

Ia mengaku hasil berjualan jagung bakar ini pas-pasan untuk membiayai kebutuhan hidupnya sehari-hari bersama anaknya. Namun, ia tidak memiliki pilihan lain bekerja sebagai pedagang jagung bakar karena hanya itu keahlian yang ia punya.

 

Bahkan setelah pandemi covid penjualan jagung bakarnya sangat jauh menurun. Kalau sebelum pandemi dalam satu hari bisa terjual 50 jagung, sedangkan saat ini 10 jagung saja sudah untung terjual, bahkan dalam satu hari juga pernah tidak ada yang terjual. Apalagi adanya larangan berjualan di atas jembatan Siti Nurbaya juga menjadi faktor turunnya jual belinya.



Dukung kami untuk menghadirkan cerita, dan liputan yang mendalam terkait yang terpinggirkan.

 

Silahkan klik tautan dibawah ini.