Buku Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998 Muhidin M Dahlan/roehanaproject.com/Ferdiansyah Rivai

Behind The Dance: Prabowo dan Berita-Berita 1998 [Ulasan Buku Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998]

 

 

Oleh: Ferdiansyah Rivai*

 

“Buku ini menjadi penting karena Indonesia belum memiliki produk budaya pop yang baik, yang bisa menggambarkan dengan jelas dan obyektif terkait pelanggaran HAM dan kekerasan oleh negara”.

 

 

 

Muhidin M Dahlan menulis Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998 secara deduktif. Dia berangkat dari hasil psikotes Prabowo saat akan mendaftar dan akan lulus AKABRI atau Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

 

Beberapa media massa memberitakannya. Hasil pemeriksaannya Prabowo punya kecenderungan mabuk kekuasaan: jika mendapat mandat kekuasaan dia cenderung menyelewengkan kekuasaan itu. 

 

Lalu hasil tesnya juga mengatakan Prabowo berkemauan kuat dan memiliki manajemen yang baik, namun cenderung bertindak dengan cara dan nalurinya sendiri. 

 

Di salah satu wawancara, ayahnya -Sumitro Djojohadikusomo-, membenarkan karakter arogan dan temperamen. Itu melekat pada Prabowo. Ini kemudian memunculkan julukan Bulan Separuh Bayang. Ada sisi gelap menutup permukaanya yang terang.

 

Muhidin menyusun buku ini dengan metode kliping pemberitaan-pemberitaan yang muncul di media massa dalam rentang tahun 1998. Dia mengupas tuntas sisi terang sekaligus sisi gelap Prabowo.

 

Ada perkara prestasinya di militer: kepandaian mengatur pasukan, terlibat dalam operasi-operasi di Timor-Timur, menggagas penaklukan puncak Everest, serta pembebasan WNA (Warga Negara Asing) dalam penyanderaan di Irian Jaya. 

 

Ada juga hal-hal yang kontroversial, seperti membangun Bisnis Miliaran Rupiah Yayasan Kesejahteraan Kobame (Korps Baret Merah), memekarkan Kopassus, inisiatif melakukan pengadaan senjata secara mandiri, hingga terlibat pertengkaran sengit dengan Presiden Habibie. 

 

Juga hal-hal yang banyak orang anggap melampaui batas: bertengkar dengan Panglima ABRI terkait jabatan, berinisiatif melakukan penculikan aktivis-aktivis pro demokrasi, dan menguatnya dugaan dia jadi dalang kerusuhan-kerusuhan besar di Jakarta tahun 1998. Dua hal terakhir tentu saja yang paling menarik menyimaknya, karena juga jadi tema dominan dalam buku ini. 

 

Masa-Masa Penculikan

 

Prabowo pernah mengakui bahwa dia adalah yang memerintahkan penculikan terhadap 9 aktivis Prodemokrasi di sekitar tahun 1998. Dan hal itu didukung oleh fakta-fakta yang diungkapkan oleh para korban. 

 

Andi Arief, salah satu korban, mengaku mendengar percakapan para penculiknya yang saling bercerita tentang kepulangannya dari Timor-Timur, dan juga cerita komandan mereka yang baru pulang dari Inggris. 

 

Begitu juga kesaksian Pius Lustrilanang dan Desmond Mahesa, yang mengatakan semasa di tahanan mereka mendapat kesan  bahwa para penculik itu terdididk, ada salah satu diantaranya yang bercerita baru pulang dari Inggris. 

 

Ini merupakan keterangan yang bisa langsung mengaitkan para penculik dengan Kopassus. Karena faktanya, di tahun 1996, ketika Prabowo menjadi Danjen Kopasssus, ia memprakarsasi kerjasama antara Kopassus dan University of Hull, Inggris. Melalui pendanaan militer inggris, beberapa perwira Kopassus mengikuti program master di sana. 

 

Belum lagi belakangan ada berita bahwa tempat penyekapan para aktivis adalah sebuah ruangan di markas Kopassus di Cijantung. Pemberitaan mengenai penyekapan yang termuat di buku ini kurang lebih mirip dengan apa yang pernah saya baca di salah satu situs yang kini sudah raib.

 

Para aktivis yang diculik mengaku telah mengalami interogasi yang sangat menyeramkan. Penculik merendam mereka dalam air, menyiksa aktivis-aktivis ini, hingga mengancam dengan kalimat-kalimat menakutkan. Kesemuanya dilakukan berhari-hari.

 

Pertengahan 1998, Majalah Asiaweek menurunkan laporan yang menyatakan bahwa Prabowo adalah dalang intelektual dari peristiwa kerusuhan pada Mei 1998. 

 

Narasumber perwira militer yang dikontak Asiaweek menyatakan bahwa motif Prabowo adalah untuk menjegal rivalnya Pangab Jenderal Wiranto. Prabowo dengan kedudukannya yang strategis dianggap mampu memerintahkan beberapa kelompok pemuda preman untuk melaksanakan aksi tersebut. Niatnya, ketika Wiranto kelabakan, Prabowo yang akan memulihkan keadaan.

 

Buku dengan Sumber Melimpah 

 

Buku setebal 500 halaman ini sangat menarik membacanya. Penulis tidak membuat banyak narasi. Namun kliping berita-berita terkait sangat melimpah dan berasal dari banyak media massa yag hari ini sulit kita jumpai.

 

Muhidin M Dahlan sekali lagi menghadirkan buku yang sangat menarik. Ia memang sudah ternama sejak dulu, sejak saya masih kuliah, sebagai juru arsip dan mentor menulis yang baik. 

 

Kini pertanyaannya tentu saja, mengapa kehadiran buku ini menjadi penting sekarang?

 

Beberapa bulan belakangan kita mendengar banyak pendapat mengenai ‘Isu Pelanggar HAM’ yang melakat pada Prabowo sebagai isu 5 tahunan saat Pemilu. 

 

Pendapat ini tidak hanya dari pendukung Prabowo yang ada di warung-warung kopi, tapi juga dari aktivis-aktivis mahasiswa 1990-an yang kini ada di belakang Prabowo -bahkan beberapa aktivis tersebut dulunya adalah korban penculikan. Memang secara ekonomi dan politik kehidupan mereka saat ini jauh lebih baik daripada ketika masih menjadi aktivis mahasiswa dulu.

 

Mengapa Buku Ini Penting?

 

Barangkali mereka lupa kisah 20-an tahun yang lalu itu. Dan saya pikir, tujuan buku ini salah satunya untuk mengingatkan mereka. Klipingan berita-berita ini bagai narasi yang bangkit lagi setelah kurang lebih setahun belakangan terkubur akibat video tarian-tarian gemoy. 

 

Sementara pada 18 Januari 2024, di depan istana negara dan pelbagai penjuru Indonesia, keluarga korban dan yang bersolidaritas memperingati 17 tahun aksi Kamisan. 

 

Aksi ini merupakan gerakan masyarakat menuntut Pemerintah untuk menyelesaikan kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang belum selesai, termasuk pelanggaran HAM yang terjadi tahun 1998. 

 

Menurut data KONTRAS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), ada 23 orang korban penculikan yang pelakunya adalah alat-alat negara. 1 korban meninggal, 9 sudah kembali, sementara 13 orang lagi belum jelas di mana rimbanya.

 

Beberapa pemberitaan yang ada di dalam buku ini menunjukkan bahwa jumlah korban bisa jadi lebih, karena di saat yang sama beredar banyak kabar orang hilang: mulai dari mahasiswa hingga pengamen jalanan.

 

Apa hubungannya dengan Prabowo? Kembali ke argumen utama di paragraf pertama mengenai kondisi psikis Prabowo dan rekam jejaknya. Bisa jadi semua korban yang hilang ini adalah korban dari operasi yang dia inisiasi dalam rangka mengamankan situasi politik. 

 

Apalagi jika kita kaitkan dengan hari ini. Mengenai ketidakpedulian Prabowo terhadap beragam kontroversi dalam pencalonan Gibran Rakabuming Raka, juga ketidakpeduliannya terhadap gerak-gerik Presiden akhir-akhir ini yang kerap memperkeruh kontestasi, mempertegas indikasi ini. 

 

Apa benar Prabowo seorang prajurit patriot yang rela mati demi bangsa? Jangan-jangan ini semua hanya manifestasi “kecenderungan bertindak dengan cara dan nalurinya sendiri”?

 

 

Menanti Kejelasan Kasus yang Entah Kapan

 

Ada juga dugaan bahwa ini semua adalah perintah mertua Prabowo saat itu, yaitu Presiden Soeharto. Masuk akal, karena toh yang paling berkepentingan di situasi tersebut adalah Presiden Soeharto. Namun cerita ini masih belum final karena persidangan terhadap Prabowo belum pernah terjadi.

 

Prabowo hanya pernah menghadapi pemeriksaan Dewan Kehormatan Perwira, yang kemudian bermuara dengan pemberhentian dari Dinas Militer. 

 

Para keluarga korban penculikan dan masyarakat luas tentu saja menanti kejelasan kasus ini. Aksi kamisan yang usianya sudah 17 tahun adalah wujud penantian itu. Maka sebuah kesalahan besar jika menyatakan kasus Prabowo dan Isu Pelanggaran HAM sebagai isu 5 tahunan yang muncul ketika Pemilu, dan hanya bertujuan \ untuk menjatuhkan Prabowo. 

 

Pemerintah saja yang tak peduli, kita sebagian masyarakat yang mungkin acuh tak acuh dengan kasus ini, dan tentu saja memang ada beberapa politisi yang menggunakan persoalan ini untuk kepentingan sesaat. Padahal, bagi orang tua korban dan para aktivis HAM, kasus ini terus hidup hari per hari bahkan detik per detik. Mereka selalu menuntut kejelasan akan hal itu.

 

 

Menghadirkan Situasi 1998 dengan Budaya Populer

 

Buku ini menjadi penting karena Indonesia belum memiliki produk budaya pop yang baik, yang bisa menggambarkan dengan jelas dan obyektif terkaitpelanggaran HAM dan kekerasan oleh negara.

 

Indonesia masih kalah dengan Korea Selatan dalam menggambarkan periode-periode penting demokratisasinya. 

 

Generasi hari ini, yang juga sering dikatakan “got philosophie in a movie” banyak yang kehilangan gambaran mengenai betapa mengerikannya situasi, khususnya di sekitar tahun 1998. 

 

Kita bisa menonton film Korea berjudul “1987” dan “A Taxy Driver” untuk bantu menggambarkan. Situasi dan kondisinya kurang lebih sama. 

 

Kita juga bisa menonton “The Lady”, yang berkisah tentang Aung San Suu Kyi dan kelompoknya dalam memperjuangkan demokrasi di Myanmar. 

 

Tapi sudahlah, setidaknya buku Muhidin M Dahlan ini telah terbit. Dengan kliping berita-berita beserta gambarnya dia mampu menghadirkan petualangan mengasyikan guna melihat dengan jernih bagaimana situasi Indonesia di tahun 1998.  

 

 

 

*Dosen Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Sriwijaya

 

 

 

Dukung kami untuk menghadirkan cerita, dan liputan yang mendalam terkait yang terpinggirkan.

 

Silahkan klik tautan dibawah ini.