Kayu ilegal dari dalam hutan

Bencana Susulan Kerusakan Hutan Itu Bernama Kenaikan Suhu dan Demam Berdarah

Jaka HB

“Suhu bukan lagi pembatas untuk perkembangbiakan nyamuk”.

-Sukmal Fahri, Peneliti Stikes Harapan Ibu Jambi.

 

“Patahkan kaki nyamuk tu,” kata Ibuku bertahun-tahun lalu saat mengeluh banyaknya nyamuk menggigit.

Bagian-bagian bekas gigitan nyamuk itu membuat gatal dan menyebalkan. Tak hanya membuat gatal, adikku juga wafat karena demam berdarah. Waktu itu tahun 1998. Ketika asap kebakaran hutan menyelimuti Jambi, Palembang dan wilayah lain. Kebakaran hutan dan lahan, asap dan nyamuk jadi tiga objek yang membuatku kesal setiap mengingatnya.

Kemarahan-kemarahan itu ternyata ada hubungannya dengan tema-tema besar seperti lingkungan hidup. Tema-tema  yang terkait  pelestarian satwa hingga hubungannya dengan manusia. Namun, menghubungkan manusia dengan kelestarian alam selalu punya perdebatan membosankan.

Dampak Pembabatan Hutan Pada Kenaikan Temperatur

Pandangan-pandangan antroposentris, mendahulukan manusia di atas segalanya, masih lestari. Padahal dampaknya sudah kelihatan sejak revolusi industri. Tentang bagaimana manusia mengolah alam untuk kepentingan mereka. Muncul premis-premis seperti jika tidak menggaruk alam maka bagaimana manusia bisa hidup, alam adalah sumber ekonomi yang melimpah dan harus ada eksploitasi. Bertahun-tahun, puluhan tahun sampai ratusan tahun kemudian dampak buruk dari eksploitasi itu kini sudah terlihat di banyak tempat.

Tiga orang peneliti dari Australia dan satu orang dari Amerika menuliskan dalam artikel populernya bahwa deforestasi di Indonesia, Brazil dan Kongo punya kontribusi 75 persen terhadap naiknya suhu permukaan bumi dalam rentang 1950 sampai 2010.

Berdasar data satelit Associate Profesor University of Western Australia Sally Thompson, Research Fellow University Western Australia Debora Correa dan John Duncan serta Postdoctoral Researcher Duke University ada kenaikan suhu. Mereka melihatnya di seluruh Indonesia, Malaysia dan Papua Nugini bahwa deforestasi memanaskan satu area hingga 4,5 derajat celcius.

Aku kemudian melihat tempat lahir di Jambi dan merasa itu juga terjadi. Bahwa tutupan hutan di Provinsi ini sudah ratusan ribu hektar hilang, sudah diberitakan beberapa media setiap tahunnya. Dari situ aku berasumsi bahwa tentu saja suhu bertambah panas, habitat beberapa serangga dan hewan kecil juga hilang, bagaimana hubungan antara mereka ini?

Beruntung saya bertemu dengan Sukmal Fahri, dosen yang meneliti tentang nyamuk Demam Berdarah Dengue(DBD) dan mengajar di STIKES Harapan Ibu Jambi. Tesis dan disertasinya menyatakan perubahan suhu sangat memungkinkan terjadinya ledakan nyamuk.

“Sangat mungkin,” katanya padaku bertahun-tahun lalu.

 

Melihat Perubahan Suhu di Jambi

Menurut Sukmal dalam teori lama memang nyamuk tidak bisa hidup di daerah dingin. Namun, teori tersebut sudah ada bantahannya dari seorang akademisi di Malaysia.

“Kalau berdasarkan teori sebelumnya memang begitu, tapi sekarang tidak. Buktinya di Kerinci, tepatnya Sungai Penuh yang daerah tinggi dan dingin tetap ditemukan demam berdarah. Artinya ada adaptasi. Itulah nyamuk ini unik, dia mudah beradaptasi,” katanya.

“Suhu bukan lagi pembatas untuk perkembangbiakan nyamuk,” tambah Sukmal.

Sukmal mengungkap kenyataan lain pada penelitiannya. Dia mengatakan suhu secara umum di Indonesia naik o,1 derajat celcius dalam 10 tahun. Pada kondisi itu nyamuk mengalami percepatan tumbuh. “Ada percepatan masa inkubasi instrinsik,” katanya.

Masa bertelur yang sebelumnya 12 hari menjadi 7 hari. “Artinya percepatan terhadap siklus hidup nyamuk dari telur kemudian menjadi kupa menjadi dewasa,” katanya.

Selain itu perkembangan nyamuk ini kata Sukmal dapat juga dipengaruhi oleh resistensi nyamuk sendiri. Dia mencontohkan bagaimana ada nyamuk-nyamuk yang kembali terbang setelah pingsan terkena semprotan nyamuk. Sebab itu menurutnya nyamuk mudah beradaptasi. Apalagi dengan suhu.

Lantas aku mencoba meminta data kenaikan suhu selama 18 tahun terakhir ke Stasiun Klimatologi di Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Jambi. Butuh waktul lama bagiku menunggu dan Arif yang merupakan prakirawan sekaligus peneliti untuk memproses setiap data. Aku membaca data kenaikan suhu di beberapa lokasi yaitu Kota Jambi, Bungo dan Kerinci.

Kerinci yang secara geografis berada di dataran tinggi dan punya suhu dingin, ternyata juga naik suhunya. Dinas kesehatan setempat mencatata selama lima tahun bahwa kasus demam berdarah bermunculan dan itu seiring dengan naiknya suhu. Pada 2009 rata-rata Kabupaten Kerinci berada pada 22,1 derajat celcius. Tahun 2016 sudah naik suhu rata-ratanya jadi 22,9 derajat celcius.

Sukmal Fahri juga menemukan pesatnya kembangbiak nyamuk di 1000 mdpl Kerinci dan Kota Sungai Penuh Provinsi Jambi. Nyamuk beradaptasi karena suhu meningkat, Tak hanya nyamuk, peningkatan ini kata Sukmal juga memicu beberapa penyakit seperti ISPA dan tuberculosis paru.

Pada beberapa pemberitaan di Kerinci tahun 2019 ada empat kasus DBD yang tercatat dinas kesehatan setempat. Pada tahun 2020 meningkat jadi 12 kasus. Itu kasus-kasus yang tercatat, bagaimana dengan yang tidak?

Vector Mosquito close up side view isolated on white background

Manusia dan Biosentris

Hubungan antara data-data ini tentu saja perlu penelitian lebih lanjut. Aku merasa hilangnya tutupan hutan membuat nyamuk kehilangan rumahnya lalu pindah ke kawasan yang lebih aman dan banyak darah yang bisa mereka konsumsi. Tentu saja pilihannya pemukiman manusia. Hal tersebutlah yang membuat manusia terkena demam yang merupakan zoonosis ini. Sebab biasanya mereka menghisap darah hewan.

Profesor ekologi manusia Universitas Padjadjaran Oekan S Abdullah mengatakan memang ada pandangan yang mengaitkan bahwa alam membentuk kebudayaan manusia karena alam memenuhi kebutuhan mereka. Namun tentu saja ini menarik bila manusia diletakkan dalam sudut pandang biosentris. Bahwa manusia adalah salah satu bagian dari rantai ekosistem di alam.

Bila sering menemukan harimau masuk pemukiman, beruang maling ayam warga, buaya berkeliaran di sungai yang bertahun-tahun sepi dari predator ini, ikan-ikan menghilang, nyamuk bertambah banyak, hal tersebut tentu saja ada rantai sebab akibat.

Semua berdampak pada manusia. Maka jika mengatakan bahwa kesejahteraan hewan tidak ada hubungannya dengan kesejahteraan manusia aku tak setuju, sebab ada hubungan-hubungan yang perlu dikuak dalam sejarah panjang hubungan manusia dan alam.

 

Dukung kami untuk menghadirkan cerita, dan liputan yang mendalam terkait yang terpinggirkan.

 

Silahkan klik tautan dibawah ini.