Jaka Hendra Baittri
10 Mei 2023
Pemutaran film Dragon For Sale Watch Doc dalam rangkaian Ekspedisi Indonesia Baru di Padang mengangkat persoalan wisata yang terjadi di banyak tempat termasuk Sumatera Barat. Diskusi memancing banyak wacana terkait wisata yang juga mengeksploitasi dan bagaimana Mentawai turut jadi contohnya.
Rifai selaku Direktur YCMM (Yayasan Citra Mandiri Mentawai) mengatakan Mentawai punya pariwisata yang mahal. Tarif di vila-vila itu seharga empat sampai lima juta per malam. “Bisa bayangkan siapa yang bisa menikmati fasilitas itu,” katanya pada Senin 10 April 2023 di Pojok Steva Kota Padang.
Selain itu Rifai mengatakan tenaga transportasinya juga bukan masyarakat setempat, pekerja resort yang langsung mengantar. Manfaat ekonominya tidak sampai ke masyarakat.

“Siapa juga yang bekerja disitu, tenaga kasarnya anak mentawai, tapi itu hanya diperkerjakan satu sampai dua tahun, karena menggunakan perjanjian kerja waktu tertentu, jadi dua kali kerja saja. Setelah itu pemberi kerja memberhentikan dan mencari lagi tenaga kerja baru, itu yang kira kira terjadi,” katanya.
Dia mengatakan pemerintah tidak akan mengurusi turunnya kualitas lingkungan hidup dan risikonya terhadap masyarakat. Menurutnya pemerintah lebih senang bekerja sama dengan pengusaha karena akan dapat pajak yang lebih tinggi ketimbang dari usaha perorangan masyarakat setempat.
Penjelasan Rifai berdasar pada kasus Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang pemerintah rencanakan di Pulau Siberut.
Rifai mengatakan 2600 hektar Siberut Barat Daya yang pemerintah tetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus, sudah pemerintah alokasikan untuk perkantoran, hotel, lapangan udara dan resort.
Dia mengatakan kalau konsep KEK harusnya pengusaha hanya dapat hak guna bangunan saja. Namun faktanya ketika pemerintah belum menetapkan statusnya sebagai KEK secara legal, pengusaha sudah membeli tanah setempat. Sedangkan masyarakat tahunya itu program pemerintah, bukan program swasta, maka masyarakat dengan sukarela menjual tanahnya.
Dari 2600 hektar 2500 sudah beralih kepemilikan dari sekitar 5 orang yang punya hubungan langsung dan tidak langsung dengan badan usaha swasta. Mereka mendapat konsesi untuk mengelola kawasan ekonomi khusus.
“Sekarang KEK tidak jadi tapi atas tanah masyarakat sudah beralih jadi hak milik. Bagi pengusaha tentu tidak penting lagi atau tidak karena dia sudah punya sertifikat maka mereka bisa membangun properti privat,” katanya.
Novi Fani Rafika dari Sumatera Wild Adventure mengatakan pemerintah sebenarnya sadar kalau Indonesia bagian dari dunia, hanya saja perencanaannya seringkali ideal hanya di atas kertas dan penerapannya mengulangi apa yang gagal di negara lain.
Wisata Seringkali Mengorbankan Masyarakat
Jurnalis travel Fatris MF mengatakan kebanyakan pemerintah di daerah lebih senang dengan uang yang banyak beredar. “Artinya pemerintah berhasil walau di sana airnya kemudian berubah kotor, kemudian udaranya sangat buruk tapi kita punya uang untuk berobat. Kita memilih uang yang banyak walaupun untuk berobat dan membeli air minum, ketimbang udarah yang bersih walaupun uang sedikit,” katanya.
Sebagaimana pembahasan kawasan wisata film dokumenter Dragon for Sale ini, Fatris sebagai jurnalis travel yang sering menulis untuk National Geographic dan Destinasian ini mengatakan terjadi hampir di semua tempat Indonesia.
“Kita dibuat percaya bahwa pariwisata itu lebih menjaga alam ketimbang pengerukan seperti tambang atau perambahan hutan. Pariwisata masih dianggap sebagai penjaga. Walau pun tidak menutup kemungkinan wisata bisa jadi pisau bermata dua,” katanya.
Dia mengatakan berapa banyak lahan yang berubah jadi tempat wisata. “Betapa banyak orang dibantai atas nama pariwisata. Seperti yang terjadi di Sumba tahun 2018,” katanya.
Mongabay sempat merilis satu orang tewas karena peluru aparat dan 10 orang luka-luka karena kekerasan aparat. Salah satu korban masih bersekolah di SMP. Mereka menolak pengukuran lahan Pesisir Pantai Marosi yang waktu untuk jadi lahan wisata.
Penulis The Banda Journal ini merasa aneh ketika negara memindahkan masyarakatnya dari Pulau Komodo. Padahal menurutnya ada penemuan kerangka manusia purba di pulau komodo.
Selain itu dalam sejarah budayanya masyarakat adat suku Modo dan Komodo dipercaya sebagai saudara kembar atau sebae. Dalam legendanya mereka lahir dari rahim yang sama dan saling menjaga. Sebab itu dia heran kalau ada pemindahan manusia dari Pulau Komodo ke tempat lain.
Bagaimana Idealnya?
Ilham Yusardi salah satu warga yang tinggal di Kabupaten Lima Puluh Kota mengatakan dalam forum diskusi bahwa dalam kawasan wisata ada putaran ekonomi yang masyarakat turut hidup di dalamnya. Terkadang sudah hidup berpuluh-puluh tahun di sana. Menurutnya harus ada frame yang jelas bagaimana idealnya pembangunan tujuan-tujuan plesiran ini.
“Sebab terlalu banyak tegangan antara stake holder. Bagaimana idealnya tempat wisata itu sebenarnya?” katanya.
Rifai Lubis selaku Direktur YCMM mengatakan penentuan daerah wisata itu harus berdasar pada hak-hak dasar masyarakat setempat. “Jika sudah itu dasarnya maka bisa diformulasikan tanpa ada bias yang mengingkari hak mereka. Baru masuk hal yang teknis,” kata Rifai.
Dia mengatakan melalui pengakuan hak dasar itu baru berlanjut pada konstruksi sistem administrasi dan sebagainya. “Tanpa ada pengakuan itu akan sulit,” katanya.
Selain itu dia juga mengatakan budaya kita masyarakat kota juga mendorong eksploitasi. “Tanpa sadar budaya konsumsi kita ikut mendorong eksploitasi tadi,” katanya.