Berpikir Kritis Bersama Kartini

 

Oleh: Muhammad Iqbal*

 

Kartini dalam usia yang masih muda tidak hanya “mengunyah” begitu saja apa yang dia baca, juga tidak menerima begitu saja apa yang dikatakan orang lain. Perihal ini sangat nyata saat kita membaca tentang percakapannya dalam kesempatan dia bertemu dengan tamu-tamu Belanda, tapi juga dinyatakan oleh pejabat Belanda yang menulis tentang Kartini.

 

 

Tarikh Kartini (1879-1904) telah menjadi sumber ilham yang tak pernah tandus. Hidupnya puspa warna. Kecerdasannya luar biasa. Penguasaannya terhadap bahasa Belanda, kepekaan batin, serta kemampuan imajinatifnya, telah memanggungkan Kartini sebagai intelektual yang berwalang hati. Jiwa Kartini menyaksikan kebangkitan sebuah masyarakat terjajah yang terlalu lama sengsara. Dia sendiri menjadi bagian, bahkan salah seorang yang ingin memulai kebangkitan itu.

 

Kartini lahir dalam sebuah era tatkala fajar modernitas memberi “cahaya kemajuan” bagi penduduk yang menghuni wilayah yang membentang dalam kekuasaan kolonialisme Belanda saat itu.

 

“Kartini menyambut modernitas itu dalam antusiasme seorang gadis remaja yang melihat dunia anyar hadir di lingkungan sekitarnya,” tulis Rudolf Mrázek dalam Engineers of Happy Land: Technology and Nationalism in a Colony (2006: 8).

 

Kita diperkenalkan kepada Kartini melalui surat-suratnya yang dia tulis dalam empat tahun terakhir hidupnya, dan kala dia berusia 19-24 tahun. Sebagai surat pribadi kepada orang-orang yang dia anggap sebagai teman-teman akrab, khususnya Stella dan Nyonya Abendanon, Kartini melihat mereka sebagai sosok yang dapat mengerti dirinya, khususnya pikiran, aspirasi, dan perasaannya, maka surat-surat itu diwarnai oleh suatu intimitas.

Melihat Gaya Tulisan Kartini

 

Surat-surat pribadi ini diterbitkan oleh Penerbit G.C.T. van Dorp & Co., di Semarang, Surabaya, dan Den Haag circa 1911 atas usaha Tuan J.H. Abendanon dengan judul Door Duisternis tot Licht: Gedachten Over en Voor Het Javaansche Volk van Raden Adjeng Kartini (“Berjuang dalam gelap demi mencapai terang”).

 

Edisi terlengkap dari surat-surat Kartini berbahasa Belanda ini dapat kita baca dalam buku yang diterjemahkan dan dieditori oleh Joost Coté: Kartini: The Complete Writings 1898-1904, Monash University Publishing (2021).

 

Gaya tulisan Kartini dan idealisme yang membara dalam jiwa mudanya tidak dapat begitu saja kita pisahkan dari kegemarannya dengan aktivitas membaca. Selain bahwa dia membaca banyak buku dan jurnal yang ditulis oleh orang-orang Barat, irama tulisannya juga dipengaruhi oleh kenyataan, bahwa sebagai perempuan Jawa, dia gemar pada “tembang Jawa” dan membaca tulisan Jawa. 

 

Keduanya oleh Kartini disebut sebagai suatu bloementaal, “bahasa bunga”, suatu bahasa poetis dan romantis. Maka sebenarnya tidaklah mengherankan bahwa gaya penulisannya bercirikan romantis dan sentimental. Sedangkan penilaian bahwa Kartini terlalu memuja-muja Belanda tidaklah benar apabila kita membaca semua suratnya.

 

Yang justru tertangkap adalah bahwa Kartini makin bertambah usia, makin menjadi kritis dalam memandang diri atau sekelilingnya. Dia berwicara dan meneroka adanya berbagai kekurangan pada dirinya. Kartini juga memberi ulasan kritis perihal kebudayaan Barat maupun kebudayaan Jawa.

Anak Muda Sentimental

 

Gaya penulisannya yang sentimental dan sering bernada dweperig (mengagumi berlebihan bercampur nada manja) dapat dimengerti jika kita ingat usia Kartini (usia remaja akhir). Namun gayanya juga merepresentasikan bahwa Kartini sebagai gadis yang memang sentimental–tidak terlalu garib bagi perempuan seusianya, dan juga dia akui sendiri–mungkin sekali juga banyak dipengaruhi dan diperkuat gaya penulisan literatur yang dia baca.

 

Hal ihwal ini tidak berarti bahwa Kartini seorang perempuan muda yang mudah mengagungkan apa yang berasal dari luar negeri (Belanda), tetapi merupakan sesuatu yang tidak terlalu luar biasa bahwa seseorang, secara sadar atau tidak, terpengaruh oleh gaya atau isi tulisan yang menjadi ciri zaman maupun penulis-penulis tertentu.

 

Kita hanya perlu merefleksikan buku apa yang pernah kita baca, khususnya dalam usia remaja kita. Bukankah ada buku-buku yang menjadi kesayangan yang hingga kiwari masih diingat, mungkin tetap diingat karena telah menumbuhkan aspirasi yang menentukan pilihan kita tentang studi, lingkaran pertemanan, atau bahkan tentang pekerjaan yang ingin kita jalani?

 

Yang juga sangat mengesankan dari telatah Kartini ialah bahwa dia selalu merenungkan apa pun yang dia baca. Surat-suratnya berisi pelbagai pandangan kritis ataupun pertanyaan tentang apa yang sedang atau telah dia baca.

 

Kartini merupakan contoh dari seorang yang bertungkus-lumus mengembangkan ciri dari apa yang dianggap sebagai critical thinking, suatu cara berpikir kritis yang kiwari menjadi perhatian serius dalam dunia pendidikan tanah air karena banyak yang menilai kebanyakan sarjana Indonesia tidak memilikinya.

Pikiran Kritis Raden Ajeng Kartini

 

Menurut Stuart Hanscomb (2023), critical thinking adalah kemampuan untuk menganalisis, mengevaluasi dan menginterpretasikan informasi dengan cermat dan secara objektif. Perihal ini melibatkan kemampuan untuk berpikir secara kritis, logis, dan sistematis, serta kemauan untuk mempertanyakan asumsi, mengidentifikasi kelemahan dalam argumen, dan mencari solusi yang rasional dan berdasarkan bukti.

 

Critical thinking melibatkan beberapa keterampilan, seperti kemampuan untuk meneroka dan mengklarifikasi masalah, mengumpulkan dan mengevaluasi informasi, mengidentifikasi argumen yang kuat dan lemah, menyusun pemikiran secara logis, serta membuat simpulan yang berdasarkan pada bukti yang ada. Hal ihwal ini juga melibatkan kemampuan untuk mempertimbangkan sudut pandang yang berbeda, memahami implikasi dari keputusan yang diambil, dan mengembangkan kemampuan untuk berpikir kritis dalam pelbagai konteks.

 

Selain itu critical thinking bukan hanya tentang skeptisisme atau mencari kesalahan dalam argumen orang lain, tetapi juga mengenai kemampuan untuk mengevaluasi dan memperbaiki pemikiran kita sendiri. Hal ini membutuhkan kesadaran diri, kemampuan untuk mengenali kekurangan dan bias dalam penalaran kita, serta keinginan untuk terus belajar dan berkembang.

 

Kartini dalam usia yang masih muda tidak hanya “mengunyah” begitu saja apa yang dia baca, juga tidak menerima begitu saja apa yang dikatakan orang lain. Perihal ini sangat nyata saat kita membaca tentang percakapannya dalam kesempatan dia bertemu dengan tamu-tamu Belanda, tapi juga dinyatakan oleh pejabat Belanda yang menulis tentang Kartini.

 

Kartini muda yang sentimental mudah terpikat secara emosional tentang apa yang dia baca atau apa yang dia observasi. Dan cara dia menuliskannya tidak jarang diwarnai oleh pelbagai superlatives (berlebihan), sesuatu yang justru menunjukkan usia muda dan sentimentalitasnya. Sifatnya ini juga dipergunakan dalam melukiskan perasaannya terhadap orang-orang lain yang berarti baginya (significant others), seperti hubungan dengan ayahnya, kakak lelaki kesayangannya, dan tentunya berbagai manusia Belanda yang sangat dia cintai. 

Titik Mula dan Keintiman

 

Mungkin itu pula yang menyebabkan Tuan Abendanon menghilangkan semua pembuka dan penutup surat-surat Kartini yang biasanya dimulai dengan kata-kata yang sangat sentimental seperti liefste, lieveling, innig (yang tersayang, sangat intim), dan sebagainya.

 

Surat-surat Kartini kepada Nyonya Abendanon mengungkapkan komunikasi intim antara seorang perempuan usia dewasa muda dengan perempuan dewasa madya. Mereka berbeda usia, berbeda bangsa, dan berbeda agama. Dan komunikasi tertulis dilakukan dalam bahasa yang bukan bahasa ibu bagi si penulis. 

 

Ternyata bahwa pelbagai aspek itu tidak merupakan kendala bagi si penulis untuk dapat menjalin persahabatan yang akrab dalam waktu yang singkat. Rupanya pada Kartini, impresi perdana yang positif justru telah diperkuat dengan bertambahnya pengalaman hidup. Persahabatan akrab ini segera terjadi karena dalam diri perempuan dewasa madya yang berbeda bangsa, si gadis muda Kartini telah menemukan apa yang dia butuhkan sesuai dengan tahapan usianya: ialah sosok ibu yang sejak perkenalan pertama memuaskan pelbagai kebutuhan sanubari muda Kartini.

 

Secara sentimentil–sesuai dengan usia mudanya dan sifat yang sering dianggap sebagai khas perempuan–Kartini tetap mengingat hari pertama dia bertemu dengan “ibu”-nya. Kartini menulis, “… pada cakrawala hidup saya, beliau muncul, berkilauan dan bercahaya.” (Pada 8-8-1900, Kartini, hlm. 63).

Nyonya Abendanon Sebagai Ibu

 

Kartini mengagungkan dan mengagumi suami-isteri Abendanon karena kedua orang asing ini dia rasa membawa pelita dalam hati Kartini dan kedua saudara perempuannya. Ketiga kakak-beradik ini adalah perempuan-perempuan muda yang dalam pandangan Kartini telah luka oleh dunia realitas yang kejam. Dalam perspektif Kartini, suami-isteri Abendanon telah membuka cakrawala baru dan berhasil memenuhi kebutuhan Kartini dan kedua adiknya yang dahaga akan pengertian tentang pelbagai aspirasi dan perasaan jiwa-jiwa mudanya.

 

Tidak mengherankan bila perempuan asing itu kemudian dia anggap sebagai ibunya (moedertje). Bukan ibu biologis, tetapi ibu psikologis-spiritual. Telatahnya, secara konkrit maupun abstrak, telah memperkaya dan membawa harapan anyar dalam kehidupan Kartini bersaudara. Suatu kondisi kehidupan yang secara fisik dibatasi oleh empat tembok tebal dan secara psikologis dikungkung oleh aturan tradisi yang secara kuat “merantainya” (Bijl & Chin, 2020).

 

Dalam perkenalannya dengan “ibunya” ini, dunia Kartini yang serba membosankan menjadi berbeda. Idealisme, optimisme, cita-citanya, rasa ingin memberontak terhadap pelbagai ketidakadilan yang dia amati dan alami dapat dia ejawantahkan dengan detail nan tebal dan secara terbuka kepada seorang perempuan asing yang dia anggap dapat mengerti dirinya.

 

Kalakian, kita dapat mengerti kalau Kartini sebagai pribadi mengalami apa yang menjadi ciri khas seorang yang ingin menempatkan diri sebagai agen pembaru (agent of change), adalah bahwa dalam usahanya mencapai aspirasinya dia tidak selalu dapat dimengerti oleh orang sekelilingnya, sehingga Kartini gampang merasa sepi dan terasing dalam lingkungannya sendiri.

 

Menurut Haryati Soebadio dan Saparinah Sadli dalam Kartini: Pribadi Mandiri (1990: 95-96) hal lain yang menarik adalah di tengah kondisi kehidupannya yang dikuasai ideologi patriarkal (dengan masculine bias), Kartini sebagai perempuan tidak mengembangkan sifat-sifat negatif seperti: rasa harga diri rendah, ketergantungan, kurang percaya diri, dan sifat lainnya yang biasanya dianggap negatif untuk dimiliki lelaki. Kartini justru bangkit dan menyuarakan, melalui surat-suratnya, apa yang dia anggap perlu dan baik bagi manusia dan bagi perempuan.

Membaca Kembali Berjuang dalam gelap demi mencapai terang 

 

Dia mampu menyuarakan moralitas yang berbeda di tengah-tengah suatu lingkungan sosial di mana subordinasi pada lelaki adalah sesuatu yang diterima umum dan tidak pernah ada yang mempertanyakan secara terbuka.

 

Bagaimana keterikatan emosionalnya dengan Nyonya Abendanon dapat kita teroka di mana dia menyebut “ibunya” itu “mijn mooie gouden zon” (matahariku nan laksana emas). Kartini memang sangat sentimental. Akan tetapi jika kita mengkaji hubungan Kartini dengan perempuan yang dia sebut sebagai “ibu” (moedertje, engeltje), maka perempuan asing ini telah menjadi tokoh identifikasi yang sangat dia perlukan dalam tahap usianya.

 

Evolusi identitas Kartini sebagai perempuan memang tidak dapat kita lepaskan dari pengaruh perempuan asing ini dalam kehidupannya. Adalah dengan Nyonya Abendanon, Kartini dapat secara terbuka membahas pelbagai masalah kehidupan. Kartini menemukan dalam diri perempuan asing itu figur “ibu” sekaligus teman akrabnya. 

 

Kebutuhan Kartini akan sains, persahabatan intim, akan ibu yang mengerti pikiran dan perasaannya, kebutuhan untuk mengenal lebih banyak tentang dunia di luar kota Jepara, dan kebutuhan untuk mengerti bahwa meskipun mereka berbeda bangsa, namun mereka sama-sama manusia. Melalui kontak interpersonal yang akrab dan dalam kontak lintas budaya ini, Kartini telah memperkaya kehidupannya yang sepi dan tokor. 

 

Arkian, dalam dunia kiwari yang kusut-masai dan banjir informasi ini, kemampuan untuk berpikir secara kritis sangat penting. Dengan mengembangkan keterampilan ini, seseorang dapat membuat keputusan yang lebih baik, mengatasi masalah dengan lebih efektif, dan memahami isu-isu yang kompleks dengan lebih baik. Dan salah satu cara melatih critical thinking kita adalah: membaca (kembali) surat-surat Kartini dalam buku Berjuang dalam gelap demi mencapai terang.

 

*Sejarawan IAIN Palangka Raya. Editor penerbit indie Marjin Kiri.

Dukung kami untuk menghadirkan cerita, dan liputan yang mendalam terkait yang terpinggirkan.

 

Silahkan klik tautan dibawah ini.