Menyulut Kembali Kontestasi Dangdut versus Rock Saat Konser Deep Purple

 

 

Puteri Soraya Mansur*

 

Kegaduhan akibat kru Deep Purple yang mencoba menghentikan Rhoma Irama bisa ditarik ke belakang mengenai dangdut versus rock pada era 70-an. Persaingan yang tidak terang-terangan.

 

Konser Deep Purple di Edutorium Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) menyisakan perdebatan di dunia maya selama sekitar seminggu setelah 10 Maret lalu.

Ada satu adegan yang menyita perhatian seluruh penonton pada malam itu. Saat Soneta memainkan lagu Smoke on The Water sebagai intro, tetiba salah satu kru Deep Purple menegur Rhoma Irama. Pria yang biasa dipanggil Pak Haji itu langsung mengubah haluan ke intro lagu mereka berjudul Nafsu Serakah.

Teguran kru Deep Purple menjadi sorotan tajam ketimbang kehadiran pejabat pemerintahan di konser band gaek asal Inggris pada 10 Maret 2023 lalu. Beberapa media memberitakan perihal teguran itu sampai Pak Haji menjelaskan bahwa kejadian itu merupakan accident karena sebelumnya sudah konfirmasi perihal penyematan lagu itu sebagai intro. Baik Pak Haji maupun kru Deep Purple sudah saling meminta maaf karena terjadi kesalahpahaman.

Melihat kegaduhan dari kejadian itu, kita bisa menarik ke belakang mengenai kontestasi musik Dangdut versus musik Rock yang berlangsung sekitar era 70-an. Bagas Pratyaksa Nuraga dalam skripsinya berjudul “Kontestasi Sosio-Kultural dalam Perkembangan Musik Rock dan Musik Dangdut di Indonesia Tahun 1970-an” menguraikan kontestasi kedua jenis musik tersebut dengan apik. 

Tak banyak kajian sejarah yang membahas mengenai sejarah musik seperti skripsi mahasiswa jebolan Univesitas Gadjah Mada (UGM) itu. Padahal sejarah musik tak hanya hegemoni jurusan musik semata tetapi dapat pula ada kajian dari ilmu lain untuk memberikan sudut pandang berbeda terhadap sebuah fenomena masa lalu yang sering kali masih berkaitan dengan masa sekarang.

Bagas menyatakan bahwa kontestasi dua genre musik itu tidak seperti pertentangan dua kelompok yang berakhir bentrok dan saling membenci, melainkan kontestasi berupa persaingan secara terus terang tetapi juga mencakup sesuatu yang bersifat simbolik atau tidak terus terang.

Baik musik Rock maupun musik Dangdut merupakan adopsi dari budaya luar dan muncul di Indonesia pasca kebijakan anti musik ‘ngak ngik ngok’ ala Sukarno. Tak lama setelah Suharto menggantikan Sukarno, pengaruh musik Barat pun demikian kencangnya. Salah satu yang terkuat dari sekian genre musik ialah Rock. Bahkan  Dangdut dari Rhoma Irama dan Soneta juga terpengaruh oleh musik Rock. 

Jamak diketahui bahwa musik yang kental dengan pukulan ritmik gendang ini bermuara dari musik Melayu yang dipadupadankan sedemikian rupa oleh band ini sehingga menjadi Dangdut yang dikenal saat ini. Diakui atau tidak, mereka termasuk sosok dan band jenius karena berhasil mengawinkan musik Melayu, Arab, India, dan Rock menjadi satu genre musik baru yaitu musik Dangdut.

Analisis menarik dalam skripsi Bagas terletak pada kekerasan simbolik yang dilakukan oleh agen (individu) yang merepresentasikan kedua jenis musik itu. Rhoma Irama dari Soneta merepresentasikan agen musik itu dan Benny Soebardja dari Giant Step yang merepresentasikan agen musik Rock. Kekerasan simbolik juga dilakukan oleh penggemar atau pihak yang mendukung masing-masing jenis musik itu.

Kekerasan simbolik yang dilakukan keduanya berada di ranah verbal dan non-verbal. Ranah verbal berupa kalimat atau istilah yang saat ini dikenal dengan bullying atau perundungan, hanya saja ditujukan untuk kedua musik itu.

Istilah ‘musik gedongan’ dan ‘musik kampungan’ pun menjadi terkenal waktu itu. Karena musik Rock diminati oleh golongan menengah atas yang identik dengan rumah-rumah gedong (gedung) dan dianggap gaul. Sedangkan musik musik dengan cengkok khas ini gandrung pengikutnya dari golongan menengah ke bawah yang tinggal di kampung. Mereka dianggap norak dan kampungan.

Vintage monochrome rock gesture concept with spiked bracelet on hand isolated vector illustration

Benny Soebardja pernah melontarkan pernyataan: “Kenapa lu jadi kampungan begini. Membabi buta sesudah lu sering berkecimpung di dalam musik-musik Qasidah, Melayu, dan musik-musik tai anjing lainnya!” Pernyataan itu keluar akibat ia merasa resah akibat cukong (istilah produser musik kala itu) terlalu mengintervensi musik Rock.

Sontak, pernyataan Benny membuat masing-masing penggemar panas dan saling melemparkan kata-kata perundungan. Rhoma juga sempat membalas pernyataan itu saat ditanya oleh Najwa Shihab dengan kalimat: “Saya jawab, Rock terompet setan!”….”Itu jadi seru tuh, Dangdut tai anjing, Rock terompet setan, Dangdut tai anjing, Rock terompet setan! Seru gitu kan.”

Ranah non-verbal dilakukan melalui empat film Rhoma Irama berjudul Darah Muda (1977), Raja Dangdut (1978), Menggapai Matahari I dan II (1986). Film Darah Muda memperlihatkan kekerasan simbolik karena dari awal film itu selalu mencitrakan musisi Rock sebagai sekumpulan anak muda urakan yang penuh dosa, sedangkan Dangdut dicitrakan sebagai musik yang suci. 

Kekerasan simbolik dalam film Raja Dangdut dihadirkan melalui pencitraan Rhoma dalam memilih perempuan sederhana yang alim dibandingkan perempuan modern yang menyukai kesenangan duniawi. Mira merupakan tokoh perempuan modern yang bergaul dengan musisi Rock, sedangkan Ida merupakan perempuan sederhana yang disukai oleh Rhoma.

Dua film terakhir yang diproduksi lebih dari satu dekade pasca kontestasi menampilkan kekerasan simbolik paling nyata. Film itu bisa dikatakan gambaran keseluruhan kontetasi musik Rock dan musik Dangdut yang dimulai sejak berdirinya Soneta pada 11 Desember 1970 dan berakhir dengan ditandai konser musik bertajuk “Damai Ujung Tahun” yang mempertemukan God Bless dengan Soneta pada 31 Desember 1977.

Raja dangdut ini dalam film Menggapai Matahari I dan II menjadi dirinya sendiri sebagai representasi tokoh musik Dangdut, sedangkan Benny Compo dari Crazy Wave merepresentasikan sosok Benny Soebardja dari Giant Step. Ada perbedaan signifikan dalam film dengan kenyataan bahwa di dalam film, Rhoma dan Benny Compo melakukan konser bareng sebagai akhir dari perseteruan. Kenyataannya, Benny Soebardja tidak pernah konser sepanggung dengan Rhoma, tetapi dilakukan oleh Ahmad Albar dari God Bless.

Melihat kontestasi di atas yang dianggap sudah berakhir oleh Bagas dengan kemenangan berada di pihak musik Rock, muncul pertanyaan: Apakah kontestasi itu benar-benar sudah berakhir atau teguran itu menyulut kontestasi baru? Bisa jadi, kontestasi itu tak akan pernah berakhir, hanya hilang-timbul setiap ada momen-momen yang memicu. Namun, pelajaran yang bisa kita ambil dari kontestasi kedua musik itu dari masa lalu maupun masa kini adalah musik telah menempatkan selera penggemarnya masing-masing. Bukan tidak mungkin jika mereka berada di satu panggung kekerasan simbolik apalagi fisik itu hilang.

 

*Peneliti sejarah alumni Magister Sejarah UGM yang mengajar di SMAN 10 Batanghari, Jambi.

 

Ilustrasi utama: Rockstar Guy Playing Guitar, Vector illustration. Rochak Sukha/ Freepik.

Dukung kami untuk menghadirkan cerita, dan liputan yang mendalam terkait yang terpinggirkan.

 

Silahkan klik tautan dibawah ini.