Putri Raihanil dengan skateboardnya. Foto oleh Uyung Hamdani.

Saya Bercadar dan Tetap Mencintai Skateboard

 

Putri Raihanil Jannah*

16 Mei 2023

 

Setelah Lubas Skateboarding mendapatkan kepercayaan dari masyarakat sekitar tentang komunitas anak muda ini, tetap saja stigma buruk tentang saya masi saja ada. Dalam situasi perempuan dengan pakaian serba tertutup dan menggunakan cadar ikut serta dalam olahraga yang pegiatnya dominan laki-laki.

 

Siapa yang tidak tahu dengan skateboard, permainan papan dengan roda dan menjadi salah satu olahraga ekstrem yang bagi saya memacu adrenalin.  Saya sudah memulai untuk ikut mencobanya sejak 2015 lalu.

Aktivitas ini sudah menjadi hobi baru untuk saya, bermain dengan 3 sampai 4 orang kawan yang lebih dulu menjadi skateboarder. Namun, yang menjadi perbedaan karena saya seorang perempuan.

Mungkin hal ini sedikit melawan arus bagi mereka yang hidup dalam dunia yang katanya normal.

Terlebih lagi dengan pakaian saya yang tertutup membuat orang-orang merasa aneh dengan hobi saya. Beruntung ini tidak menjadi hambatan bagi saya pribadi yang tidak ingin hidup untuk memenuhi ekspektasi orang-orang.

Pada awalnya saya bermain hanya dengan meminjam skateboard milik abang saya karena harganya yang mahal sehingga belum mampu untuk membelinya. Semuanya saya mulai dengan belajar meluncur, prosesnya sekitar 2-3 jam, cukup singkat memang, karena ini hanya membutuhkan keseimbangan tubuh.

Sepatu saya untuk nge-skate pun bertambah. Sepasang vans hitam, sepasang converse all star merah dan biru, nike air dan DC cokelat.

Saya mulai dengan teknik dasar lainnya seperti ollie, shuvit, kickflip, backside, airwalk grab, manual, tic tac dan lainnya. Proses belajar trik dasar ini cukup lama untuk saya pribadi karena masih ada rasa takut untuk jatuh tentunya. Tangan kanan saya pun sempat bengkok karena terbentur.

Sebenarnya banyak hal lain yang menjadi tantangan dalam hobi  saya ini, seperti fasilitas yang kurang dan penjualan alat-alatnya yang harus beli secara online dan harganya cukup mahal.

Sejak kecil saya tinggal di Kecamatan Lubuk Basung yang berada di Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat. Fasilitas sangat minim untuk bermain papan seluncur ini.

Tidak ada skatepark di Lubuk Basung waktu itu. Sehingga jalan, teras gedung olahraga, los pasar yang kosong, lorong sekolah dan tempat-tempat bisa dilalui roda skateboard yang kecil, kami jadikan arena bermain.

Hingga sekali waktu seorang bapak yang ternyata bekerja di dinas pekerjaan umum mendatangi kami. Dia bertanya kenapa kami bermain di jalanan. Setelah kami jelaskan dia menawarkan untuk memfasilitasi kami sebuah arena bermain dengan syarat kami yang membuat rancangannya. Tentunya ini menjadi peluang dan harapan besar bagi kami semua untuk membuat masyarakat menganggap kami ada.

Saya dan kawan-kawan kemudian membuat rancangan skatepark impian kami. Namun beberapa bulan kemudian mereka membuatkan sebuah ramp yang menjadi jawaban dari permintaan itu.

Kecewa? Sudah pasti. karena ini hanya 10% dari ekspektasi kami yang terpenuhi. Namun kami tetap berterima kasih kepada si bapak karena dengan adanya ramp ini keberadaan kami mulai diketahui oleh kawan-kawan skateboarder daerah lain. Karena fasilitas yang menunjang untuk aktivitas skateboarding hanya tersedia di tempat dan daerah tertentu.

Bicara soal tantangan tadi, satu hal urgent menurut saya yaitu tidak terorganisirnya kawan kawan ini. Sehingga kami yang hanya beberapa orang sepakat untuk membuat sebuah komunitas pada tahun 2017 yang diberi nama “Lubas Skateboarding”. Komunitas yang terdiri dari 10 orang anggota yang diketuai oleh abang saya. Dan dalam komunitas ini jumlah perempuannya hanya saya sendiri.

Komunitas ini menjadi penambah daftar kreativitas remaja di kampung kami. Sebab di sekitar tempat kami bermain sudah ada beberapa kelompok yang memang terarah, seperti komunitas seni, bela diri, geng motor, vespa, dan lain sebagainya.

Namun ini kembali menjadi pro dan kontra bagi sekitar, karena ada yang menganggap kami hanya komunitas rebel yang mengganggu ketentraman dan kenormalan mereka, kumpulan anak muda yang senang dengan kejahatan dan lain sebagainya. Maka kami bersama 19 komunitas dan kelompok lain sepakat untuk membuat sebuah even kreativitas. Kami membuat kegiatan serentak sesuai dengan fokus kelompok masing masing dalam rangkaiannya.

Seperti komunitas Lubas Skateboarding melakukan pameran trik dan game of skate serta membuka kelas belajar skateboard yang ramah untuk anak-anak. Sedangkan komunitas seni melakukan aksi teater satire yang peduli lingkungan dengan tema hanya orang gila memungut sampah.

Selanjutnya kelompok motor dan lainnya membuat aksi kreatif untuk mengumpulkan dana dengan bentuk solidaritas mereka membantu umkm sekitar tempat kami berkegiatan. Tujuan utama kami untuk mem-branding komunitas remaja yang ada dan merubah stigma buruk masyarakat tentang komunitas anak muda.

Setelah kami mendapatkan kepercayaan dari masyarakat sekitar tentang komunitas anak muda ini, tetap saja stigma buruk tentang saya masih saja ada. Seorang perempuan dengan pakaian serba tertutup dan menggunakan cadar ikut serta dalam olahraga yang pegiatnya dominan laki-laki.

Padahal baru saja saya merasa ada penerimaan, ternyata belum sepenuhnya. Perasaan saya berubah secepat putaran roda kecil skateboard.

Karena ketika meluncur selalu saja banyak tatapan tidak biasa. Tatapan yang tidak bisa saya tafsirkan. Mungkin ada yang menganggap saya aneh, mungkin ada juga yang merasa saya terlalu melawan hukum alam atau bahkan ada yang menilai saya terlalu berani untuk mengambil beragam resiko. Masih banyak wajah-wajah penuh tanya itu memandang saya.

Bahkan ada yang langsung bertanya kepada saya dengan raut wajah ragu dan penasaran, seperti “udah lama main skateboard?” atau mungkin yang lebih ekstrim seperti “emang bisa main pake baju kek gini?”.

Pertanyaan ini selalu saya tanggapi dengan senyuman tentunya, atau dengan kembali bertanya: Emang ga bisa baju ini dipake main?

Karena menurut saya urusan pakaian hanya pilihan mereka dengan style-nya masing-masing. Setiap orang punya hak untuk memilih. Perkara  orang itu bisa memakai atau tidak pastilah si pemakai sudah mempertimbangkan kenyamanan sesuai versinya.

Tapi itu tidak membuat saya patah semangat atau mengganti hobi saya dengan yang lain. Bahkan saya mulai merubah perspektif bahwa saya bangga dengan perbedaan ini, karena kata toleransi ada disebabkan adanya perbedaan.

 

Sekian 🙂

*Sehari-hari bergiat di Lembaga Bantuan Hukum Padang

Foto: Uyung Hamdani.

Traktir Penulis

Jika tertarik membaca karya penulis ini dan ingin memberikannya dukungan.

Silahkan klik tautan dibawah ini agar penulis lebih bersemangat dan produktif.

Click Here

Dukung kami untuk menghadirkan cerita, dan liputan yang mendalam terkait yang terpinggirkan.

 

Silahkan klik tautan dibawah ini.