“Jutaan kucing yang tidak diinginkan terus lahir setiap tahun, dan jutaan akan dibunuh atau dibiarkan mati sendiri.” -Elisabeth Ateberry, 1998
Oleh: Jaka HB
Roehana Project – Kutipan itu saya ambil dari tulisan Elisabeth di New York Times tahun 1998. Dia melakukan interview dengan beberapa penyayang kucing.
Setiap tempat sampah kucing liar berkumpul mencari sisa-sisa makanan. Kadang bergelut dengan kawannya sendiri. Mereka mengalami kekerasan dan meninggalkan kotorannya dimana-mana. Kawin sembarangan lalu melahirkan anak-anak yang banyak yang terkadang tak semuanya punya umur panjang.
Bicara masalah kesejahteraan hewan ini juga bicara kesehatan manusia. Kotorannya saja kalau bertebaran akan menyebarkan jamur toksoplasma. Belum lagi kalau mereka mati sembarangan dan menimbulkan bakteri yang entah bagaimana efeknya pada manusia.
Kucing berada dalam gerbang overpopulasi, menjadi hama dan menimbulkan zoonosis.
Menyelamatkan Kucing juga menyelamatkan Manusia
Marliza Yeni menyusuri lorong-lorong Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Andalas. Dia melangkah pelan sambil melihat-lihat ke bawah mana tahu ada yang berkeliaran. Setelah sampai di ruang sebuah program studi Liza menunjukkan sebuah pipa panjang yang menempelkan pada meja di tengah gedung FIB.
“Itu kadang diisi terus dan ada kucing di sini yang terus datang. Kadang Juga anjing yang makan di situ. Tapi kini kami pindahkan ke dalam fakultas agar tidak semua hewan mendatangi tempat makan itu,” kata Liza.
Ada sekitar lima tempat makan kucing di sekitar Unand. Liza selaku dosen di sana terpikir untuk mengajukan pada rektor untuk memasang tempat makan kucing itu pada beberapa sudut universitas.
Selain itu Marliza Yeni selaku ketua Komunitas Peduli Kucing Padang (PKP) mengatakan mereka memutuskan untuk tidak membuat shelter hingga kini. Sebab shelter pada akhirnya hanya akan menjadi tempat orang-orang membuang kucing. “Lama kelamaan mau berapa banyak kucing yang ditampung,” kata Liza.
Hal itu hanya akan melanggengkan perbuatan tidak bertanggungjawab dari penemu kucing atau pemilik kucing. Karena itu jika ada yang meminta tolong ke PKP untuk mengobati kucingnya maka yang membawa harus mau bertanggung jawab dengan mengadopsinya.
Ada banyak sekali kucing yang diselamatkan. PKP sendiri ada sekitar 60 orang anggota. Masing-masing anggota merawat atau menyelamatkan 10 ekor dan ada pula 50 ekor. Kalau satu orang dengan jumlah minimal saja sudah ada 600 ekor. Anggota PKP ada yang memelihara 15 ekor hingga 50 ekor. Bisa jadi ada ribuan ekor yang mereka rawat.
Marliza mengatakan PKP juga punya niatan mencegah overpopulasi. Mereka langsung melakukan steril pada tiap kucing yang mereka temukan. Sebab ada beberapa hal yang ingin mereka hindari.
“Pertama animal abuse dan kesejahteraan kucing itu sendiri,” kata Liza.
Liza setuju saat saya katakan bahwa menyelamatkan kucing juga menyelamatkan manusia. Sebab kotoran kucing juga membawa virus toksoplasma yang bisa merugikan manusia. Jika overpopulasi bukan tidak mungkin manusia terkena penyakit yang tidak terduga lainnya.
Tempat sampah selalu jadi tempat buang kucing
Beti melihat orang-orang mondar-mandir keluar pintu ruangan tempatnya berbaring. Dia harus bersusah payah jika ingin minum dari wadah yang ada di depannya. Setelah minum atau makan dia kembali ke posisi semula. Beti adalah kucing betina yang berusia sekitar 3 tahun dan lumpuh. Setiap hari dia tidur dan bangun di tempat yang sama.
“Awalnya datang ke kedai kakak saya masih berlari-lari. Tapi kemudian lumpuh setelah kena parasit darah,” kata Cahyati Kumalasari (48) pemiliknya.
Dalam ruangan yang berada di lantai dua itu ada banyak temannya senasib. Mereka semua tak dapat keluar karena menurut pemiliknya kucing-kucing initidak dapat bertahan hidup karena penyakit yang mereka punyai. Hewan-hewan malang ini seringkali dibuang orang ke tempat sampah.
Tempat sampah dan pinggir sungai menjadi tempat pembuangan kucing di Padang. Cahyati Kumalasari dan kakaknya Rani beberapa kali menaruh makanan di tempat sampah di dekat jembatan dan sekali waktu mereka menemukan enam anak kucing dalam satu sangkar burung di pinggir sungai. Saat itu mendung dan hujan.
“Waktu itu hujan dan mereka menggigil. Mereka saling menggigiti kulit temannya. Tapi masih hidup semua. Kasihan sekali,” kata Cahyati Kumala sari yang kerap disapa Mala ini.
Rani dan Malam menyelamatkan kucing sudah sejak 2016. Mereka merasa kasihan melihat kucing-kucing yang dibuang di tempat sampah dekat Jembatan Marapalam Kecamatan Lubuk Begalung Kota Padang. Kadang orang-orang buang di depan kedai makan milik Rani.
Menyelamatkan Kucing Bagian dari Amal
Ibadah menjadi alasan utama Mala menolong kucing-kucing yang terbuang ini. Mala percaya akan ada balasan baik di akhirat jika kita berbuat baik pada mereka. “Ini kan titipan semua dan mungkin saya dititipin dan ini caranya beramal. Ada yang beramal untuk anak yatim dan bisa juga beramal melalui jalan ini,” katanya.
”Mungkin di surga tidak ada kucing, tapi saat kita ditimbang, dia yang akan menolong kita juga di sana (akhirat),” katanya.
Mala berharap penyiksaan terhadap kucing juga hilang. “Saya berharap, kalau tidak suka kucing jangan disakiti. Jangan sampai di siram air panas atau minyak panas. Saya ada dapat kucing yang habis disiram minyak panas atau air panas dan jadinya melepuh,” katanya.
Mala dan Rini sendiri sudah menyelamatkan dan memelihara sekitar 86 ekor. Mereka mengisolasi 19 individu karena pelbagai macam masalah kesehatan baik fisik dan mental. Ada yang dan ada pula yang superior. Sedangkan di shelter mereka ada 32 ekor. Mereka meletakkan 15 ekor di luar ruangan dan sudah sekitar 20 ekor mereka kubur di halaman belakang shelter.
Ada pula kucing yang benar-benar mereka pisahkan karena terkena Feline Infectious Peritonitis (FIP) yang merupakan penyakit menular akibat infeksi coronavirus dan mengakibatkan kematian. Gejalanya anoreksia, lemas, perut membesar dan diare.
“Ini ada lima anak kucing kami pisahkan dan terus kami kasih vitamin. Walau pun kami tahu mereka akan mati dengan menggelembung tapi kami terus merawatnya,” kata Mala.
Kalau mereka bersentuhan dengan individu lain maka penyakit itu segera menular, selain itu manusia yang menyentuhnya harus cuci tangan karena jika menyentuh lain virus itu akan segera menular.
Kucing-kucing yang mati karena tidak dapat diselamatkan mereka kubur dengan layak di belakang gedung Pendidikan Anak Usia Dini yang mereka kelola. Namun kuburan-kuburan ini tidak mereka tandai agar murid-murid paud yang berkunjung dan bermain tidak mengetahuinya.
“Sebab tidak semua orang suka kucing. Kadang kucing datang ke kedai atau dibuang orang di depan kedai ketika tahu mereka suka,” kata Mala.
Mala mengatakan tidak ingin alamatnya diekspose. Karena takut orang-orang langsung menjadikan alamatnya sebagai tempat membuang kucing. Hal itu menurutnya perbuatan tidak bertanggung jawab.
Mereka menerima bantuan dari akun instagram @peduli_kucing_padang dengan menginformasikan rekening donasi dan pendaftaran member. Mereka membuka donasi dan kesempatan adopsi.
Mak Salmi Iba Setiap Lihat Kucing Terlantar
Pada pagi yang lain di tahun 2021 saya berangkat dari Siteba ke arah Gadut di Kota Padang. Udara masih dingin. Namun udara dingin itu seperti tidak terasa ketika bertemu Salmiati bersama anak dan suaminya berkegiatan di shelter kucing yang mereka buat sendiri.
Suara kereta api melintas terasa dekat ketika duduk di dalam shelter kucing mandiri milik Salmiati yang berusia 35 tahun ini. Kebisingan dan getarannya akibat interaksi roda dan rel kereta api ini membuat puluhan kucing (felis silvestris catus) dalam ruangan dengan bau khas mereka membuat pencuri ikan di pasar ini kebingungan dan mondar-mandir di dalam bangunan rumah yang setengahnya dari batu dan setengahnya lagi triplek.
Suara bising itu tak mengganggu Salmiati yang sedang berbincang dengan saya. Tatapannya jauh ke luar jendela ketika ditanya mengapa dirinya mau menyelamatkan hewan berbulu yang sakit atau rentan ini saat bertemu di jalan.
Ada perasaan bersalah ketika dirinya melihat kucing hamil sendirian atau cemeng terlantar di jalanan. Jika dia tidak membawanya maka akan mengiang-ngiang bayangan kematian dengan banyak cara atau mengalami kekerasan dari manusia atau hewan liar lain. Lantas Salmi membawa ke rumahnya di pinggir rel kereta api kawasan Ulu Gadut Kecamatan Pauh.
“Iba saja rasanya dan terpikir terus kalau tidak saya bawa,” kata Salmi sambil mengelus anak kucing di pangkuannya saat saya temui di shelternya.
Kini tempat yang awalnya ditinggali sebagai rumah telah menjadi shelter yang dikelolanya secara mandiri. Saat saya berkunjung kamarnya sudah dijadikan ruang khusus yang berisi kandang beserta perlengkapannya. Puluhan karnivora kecil ini mengeong ketika Salmi membuka pintu berbahan triplek. Waktu itu pMinggu pagi.
Kondisi shelter ini kemudian membuat warga setempat mengeluh pada Rukun Tetangga (RT) setempat dan mendatangi Salmi. Mereka mengatakan warga tidak nyaman dan menghendaki Salmi melepas semua kucing. Salmi pun membuka donasi agar bisa memperbaiki shelter dan kucing tidak keluar masuk seenaknya.
Salmi mengatakan memang ada orang-orang yang tidak suka dengan kucing. Padahal di komplek tempatnya tinggal juga banyak kucing. Meski pun begitu dia mulai mengguyur perbaikan rumah kontrakannya yang hanya berdinding terpal itu.
“Mau gimana lagi. Kalau tidak begitu nanti saya pula yang diusir. Kita ini orang kecil,” katanya.
Rumah tersebut juga mulai diperbaiki. “Jadi sekarang sudah mulai dikerjakan dari dana yang ada dulu. Jadi yang sebelumnya hanya yang masa perawatan saja di dalam rumah nantinya yang tidak perawatan arena bermainnya juga tetap di dalam rumah,” kata Salmi.
Dia mengatakan sebenarnya RT tidak mempermasalahkan. Hanya saja ada yang mengadu ke RW sehingga RT harus turun. “Pak RT juga ada banyak peliharaan kok sampai kalkun,” katanya.
“Kalau orang kecil seperti kita ini ikut perintah saja. Suatu saat kalau ada rejeki beli lahan. Kalau sekarang kan statusnya mengontrak. Kalau ada rejeki beli tanah yang memang jauh dari pemukiman masyarakat. Itu harapannya,” kata Salmiati.
Salmi biasa datang ke shelter Minggu pagi. Saat Saya datangi Pukul 07.00 WIB Salmiati bersama suami dan dua anaknya datang ke shelter mereka yang terletak di pinggir rel Ulu Gadut di ujung perumahan Fakrisindo 3. Posisi rumahnya lebih tinggi dari jalan. Saat Salmiati naik tangga dan masuk ke shelter kucing-kucing dari luar berdatangan dan masuk.
Dia langsung mengumpulkan kotoran-kotoran moggy, sebutan kucing dalam bahasa Inggris slang, di wadah pasir dalam wadah yang lebih besar dan mengganti dengan pasir baru. Setelah itu mengisi tempat makan yang jumlahnya belasan. Pintu ruangan itu ditutup agar mereka yang perlu perawatan tak keluar. Meski pun begitu pintu kandangnya ada yang dibuka begitu saja dan ada yang tetap ditutup.
Sebab Salmi kini tak tinggal di sana, dia tinggal di perumahan yang lumayan jauh dari shelter itu. Saat dia datang suara mengeong bersahut-sahutan. Mulai dari yang masih anak sampai yang sudah dewasa. Salmiati dan dua anaknya masuk ke ruang yang isinya kucing-kucing dalam kandang atau kandang yang terbuka begitu saja. Dia mengambil ember besar dan memindahkan pasir-pasir tempat berisi kotoran anabul, sebutan kiwari untuk cemeng yang merupakan akronim anak bulu, lalu mengganti pasirnya dengan yang baru.
Selanjutnya dia mengisi beberapa wadah tempat makanan. Puluhan mamalia karnivora ini jadi lincah kesana-kemari dan mendekati Salmi. Salmi memperlakukan mereka seperti anak.
Awalnya Salmi ikut di Komunitas Peduli Kucing Padang atau PKP. Namun, kebutuhannya untuk merawat tidak terpenuhi seluruhnya. Sebab kucing-kucing yang dia selamatkan butuh makanan serta vitamin untuk kesehatan.
Sebab itu dia mengelola shelternya secara mandiri dan membuka donasi serta sosialisasi melalui akun instagram @stray_cat_rescue_padang. Dalam akun itu Salmi menyampaikan kebutuhan donasi dan penggunaan dana donasi serta kondisi yang mendesak butuh pertolongan.
Dia mengatakan sangat bersyukur karena banyak donasi yang masuk dari mana-mana setelah dia membuka shelter mandiri. Ada yang dari dalam maupun luar negeri. Hutang-hutang di klinik pun jadi terbayar. Namun, karena jumlah karnivora kecil ini terus bertambah dan kebutuhan makannya terus ada hutangnya masih tersisa sekitar 8 juta sewaktu saya datang ke sana.
Salmi sudah menyelamatkan ratusan kucing. “Ada yang memberikan kepada saya karena tidak mampu lagi merawatnya,” kata Salmi sembari menunjuk seekor kucing ras berbulu kuning seperti Garfield.
Ada yang sudah disteril lalu pergi karena merasa tidak betah di shelter. Ada yang tetap di sekitaran shelter dan ada yang di dalam rumah karena Salmi membuat pintu kecil khusus untuk si kuciang, sebutan Orang Padang untuk kucing.
“Tapi pasti kami steril dulu sebelum dilepas agar tidak melahirkan sembarangan dan bisa menyebabkan anaknya nanti juga mati di luar,” katanya.
*Sebagian artikel juga terbit di Mongabay.co.id