Asri Nelayan Tua yang Meramal Badai Laut

Asri Nelayan Tua yang Meramal Badai Laut

Oleh: Jaka HB

Ombak Kota Padang tiga hari lalu besar. Sampah dan pasir masuk ke jalan utama. Aspal tempat bus, mobil wisatawan dan motor masyarakat lewat basah. Air asin tergenang di jalanan. Namun angin tidak begitu kencang.

Roehana Project – “Itu namanya Galoro,” kata Asri (52), seorang nelayan pria yang duduk menghadap laut dari Pantai Air Manis.

Galoro adalah ombak besar yang datang ke pantai tanpa disertai angin yang begitu kencang. Asri yang biasa disebut Pak I ini bilang itu adalah ombak pasang.

Asri sejak kecil hidup di Pantai Air Manis. Dia pernah menikah beberapa tahun lalu. Hanya dua tahun usia pernikahannya dan tidak memiliki anak. Tak tahu apa penyebabnya. Dia kemudian berpisah baik-baik dengan istrinya. Dia tahu betul istrinya ingin keturunan. Lantas Asri mengantar istrinya pulang ke rumahnya, sebuah istilah yang juga berarti berpisah.

Mereka berpisah baik-baik. Tanpa pertengkaran. Dia mengulangi kalimat itu dua sampai tiga kali.

“Sekarang dia sudah di Batam dan sudah punya anak. Anaknya kini telah bersekolah,” kata pria kelahiran 1969 ini sambil menurunkan pandangannya ke kotak rokok Dji Sam Soe Magnum berwarna hitam dan mengeluarkan sebatang rokok kretek.

Saya merasa salah menyebut pertanyaan pembuka. Saya menanyakan anaknya berapa. Lantas dia bercerita tentang kehidupan rumah tangganya yang saya rasa itu membuat sedih. Saya mengalihkan pada pertanyaan lain, seperti tanda-tanda alam yang menunjukkan ikan sedang banyak dan semacamnya.

“Coba lihat kesana. Di situ ada garis hijau,” katanya sambil menunjuk ke garis cakrawala.

“Itu angin. Sedang kencang angin di situ dan sebentar lagi ke daratan,” katanya dalam bahasa minang.

Benar saja. Beberapa menit kemudian angin kencang membawa ombak semakin besar dan menumpahkannya ke daratan lebih jauh.

Saya lupa mengambil foto Pak i. Mudah-mudahan kami bertemu lagi dan berbincang lebih banyak. Mungkin di rumahnya yang berwarna hijau, mungkin di pinggir laut setelah melaut, mungkin sekadar menikmati kretek dan melamun. Ya, melamun.

Seorang penulis pernah bilang bahwa kesempatan melamun adalah keistimewaan. Tak semua orang punya waktu melamun. Mengingat masa lalu dan menghela napas. Melepaskan semua kegugupan, keputusan yang salah, sikap yang tak seharusnya diambil dan pilihan-pilihan yang datang dan di luar kemampuan kita.

Seperti kata filsuf Perancis Albert Camus, bahwa yang harus dilakukan adalah menjalani hidup itu sendiri. Bukan lagi mempertanyakan apa hakikatnya. Ya, jalani saja. Seperti Asri yang menikmati hidupnya dengan hal-hal kecil dan ramalan-ramalan badainya di laut.

beko angin tu ka darek, tapi beko dibae nyo jo hujan. Beko hujan dibae jo kilek,” katanya.

Angin dihantam hujan hilang, hujan dihantam kilat hilang. Setelah itu baru hari yang baik melaut tiba. Ketika garis cakrawala tidak ditutup awan hitam dan gradasi hijau menghilang. “Kalau tidak terombang-ambing di tengah laut dan harus mencari daratan terdekat,” katanya.

Dukung kami untuk menghadirkan cerita, dan liputan yang mendalam terkait yang terpinggirkan.

 

Silahkan klik tautan dibawah ini.