Oleh: William Andri*
Pada hari pertama masuk sekolah, 15 Juli 2024, Dinas Pendidikan DKI Jakarta memecat ratusan guru honorer secara serentak.
Budi Awaluddin, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, berdalih bahwa pemecatan ini didasarkan pada temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang menyatakan bahwa perekrutan guru honorer tersebut tidak sesuai dengan prosedur. Sayangnya, menurut para guru yang dipecat, tidak pernah ada pemberitahuan sebelumnya mengenai keputusan ini.
Pemecatan sepihak di Jakarta itu bukan pertama kali. Pada Januari tahun yang sama, sebuah sekolah dasar di Nusa Tenggara Barat (NTB) memecat guru honorer hanya dari pesan WhatsApp.
Verawati, yag telah mengabdi selama 18 tahun di SD INpres Kalo Desa Pai, Kecamatan Wera, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, menjadi salah satu korbannya. Kepala sekolahnya mengabaikan pengabdiannya yang begitu panjang.
Dua kasus ini hanyalah sebagian kecil dari banyaknya peristiwa pemecatan guru honorer di sekolah negeri yang luput dari sorotan media.
Dilema Guru Honorer
Pasca pembukaan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) secara besar-besaran tiga tahun terakhir, serta “alarm” dari pemerintah pusat, agar tidak ada lagi pegawai berstatus honorer mulai tahun 2025, dinas pendidikan dan kepala sekolah tampaknya merasa mendapat “lampu hijau” untuk memecat guru secara sepihak.
Padahal, selama ini keberadaan guru honorer jelas mampu “menambal” kekurangan guru di sekolah negeri. Bahkan, realitanya, ada banyak sekali guru honorer yang bekerja lebih giat, dari mereka-mereka yang berstatus PNS atau ASN, meskipun mendapatkan upah yang amat sangat tidak layak. Hal ini pun sudah menjadi rahasia umum di tengah masyarakat kita.
Namun, kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwa banyak pihak yang mengangkat guru honorer melalui jalur orang dalam atau ‘ordal’. Tindakan ini mencerminkan kelemahan sistem rekrutmen guru di Indonesia, di mana pemerintah gagal membangun sistem yang transparan dan mampu memenuhi kebutuhan sekolah negeri akan guru berkualitas. Pejabat dan politisi memanfaatkan buruknya sistem ini untuk menempatkan kerabat mereka sebagai guru.
Sementara itu rekrutmen PPPK yang dianggap sebagai solusi justru memperburuk keadaan. Di Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi, Panitia Seleksi Daerah (Panselda) PPPK Kabupaten Kerinci 2023 diduga memanipulasi data peserta rekrutmen.
Tidak hanya itu, keberadaan rekrutmen PPPK juga memperkecil peluang orang-orang terbaik, lulusan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), untuk mengabdi di sekolah negeri. Mengingat rekrutmen ini hanya bisa diikuti oleh orang yang berstatus guru honorer.
Kejadian seperti ini tidak hanya menjadi indikasi rekrutmen yang buruk, namun juga berakibat pada buruknya kualitas guru yang akan mengisi sekolah negeri. Padahal, pemerintah selalu menyalahkan guru akan kualitas mereka yang buruk. Bahkan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, dalam setiap kebijakannya, selalu berfokus dalam upaya peningkatan kualitas guru, sampai-sampai membuat sebuah aplikasi bernama Platform Merdeka Mengajar (PMM).
Aplikasi ini dianggap jurus jitu peningkatan kualitas guru. Sayangnya, alih-alih meningkatkan kualitas, platform ini justru memberikan masalah lain bagi para guru. Mereka jadi terlalu disibukkan dengan pengerjaan PMM ketimbang menjalankan Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi). Pada akhirnya tercipta pelayanan yang optimal kepada peserta didik. Apalagi, para guru ini selalu mendapat tekanan dari kepala sekolah hingga dinas pendidikan agar berfokus dalam pengerjaan PMM.
Di sisi lain, peningkatan kualitas guru tidak seharusnya dibebankan sepenuhnya kepada masing-masing individu para guru. Perlu diingat, kampus FKIP lah yang menjadi pencetak para guru. Selain itu, ada Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (LPTK) sebagai penyelenggara Pendidikan Profesi Guru (PPG). Keduanya seharusnya juga diberi beban yang sama dalam upaya peningkatan kualitas para guru kita.
Dari semua pemaparan di atas, bisa kita lihat betapa sulitnya menjadi guru di negeri ini. Mereka tidak lebih dari sebuah objek yang bisa diperlakukan semena-mena. Mulai dari digaji tidak layak, disalahkan, hingga dipecat secara sepihak. Ironisnya, sedikit sekali orang yang bersuara akan hal ini. Bahkan, Persatuan Guru Republik Indonesia atau PGRI tidak pernah benar-benar bersuara atas nama guru.
Lihat saja kejadian pemecatan guru di Jakarta, tidak satupun pengurus PGRI yang bersuara lantang akan hal ini. Organisasi ini, harus saya katakan, sama sekali tidak layak dijadikan wadah berkumpulnya para guru.
Intinya, tidak ada yang peduli dengan nasib para guru. Selama keadaan seperti ini tidak berubah, maka jangan harap kita punya guru berkualitas, apalagi pendidikan berkualitas.
*Guru Matematika di Jambi