Oleh: Jaka HB
“Perempoean haroes menggerakkan diri.“- Siti Roehana.
Pada sebuah puisi berjudul Pelita Kapas Siti Roehana atau Roehana Koeddoes berapi-api mendorong semangat para perempuan untuk terus mengembangkan diri. Puisi itu adalah karya Roehana di Soenting Melajoe nomor 4 edisi Sabtu 27 Juli 1912.
Ada kesadaran identitas gender di dalamnya. Pembedaan nasib antara lelaki dan perempuan terkait kemajuan. Sama dengan kesadaran identitas bangsa oleh Tirto Adhi Soerjo yang menggunakan istilah bangsa yang terprentah di koran Medan Prijaji. Namun, Sejarah pada akhirnya, adalah jejak dari jiwa-jiwa yang perlahan terbangun dari tidur panjangnya. Yang terbangun dari ketidaktahuan posisi terjajah dan penjajah.
Kesadaran identitas ini tumbuh kala tensi perlawanan terhadap kolonial memanas. Terlebih saat Soenting Melajoe lahir, Sumatera Barat masih dalam suasana pasca perang belasting atau pemberontakan pajak. Belanda sangat buas hingga membumihanguskan desa-desa yang melawan.
Salah satu tokoh yang penting dalam masa itu adalah Siti Manggopoh. Turun ke gelanggang, angkat senjata dan pemerintah kolonial memenjarakannya. Namun siasat perlawanan tak berhenti. Pergerakan dalam bentuk yang lebih soft seperti Soenting Melajoe muncul. Siti Roehana melawan dengan pena yang pelan-pelan meningkatkan kesadaran kritis di benak perempuan-perempuan Koto Gadang–Kabupaten Agam, atau pembaca Soenting Melajoe.
Kesadaran Kritis Paulo Freire
Paulo Freire salah satu filsuf pendidikan dari Brazil menyebut dalam teorinya ada tiga tataran kesadaran manusia sebelum mencapai kritis. Kesadaran mitis, naif dan kritis. Pada tataran kesadaran mitis, seseorang akan menganggap semua yang terjadi adalah takdir. Selanjutnya kesadaran naif, seseorang akan menyadari permasalahan sosial di sekitarnya namun tidak melakukan apa pun untuk mengubahnya. Terakhir kesadaran kritis, subjek pendidikan akan melihat jelas apa permasalahan di sekitarnya dan bergerak untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Lantas permasalahan apa yang Roehana lihat di sekitarnya? Tentu saja dia melihat banyak perempuan yang tidak tersalurkan kemampuan dan intelektualitasnya. Dia kemudian menyediakan wadah yang pada halaman-halamannya ada perdebatan tentang posisi perempuan secara domestik dan publik, permasalahan pengorganisiran para penenun di Siloengkang hingga aktualisasi para perempuan dalam berkreasi seperti puisi dan keluhan terhadap sekitarnya.
Posisi perempuan dalam lingkup adat yang konservatif saat itu tentu saja membuat Roehana sulit bergerak. Bantuan suaminya untuk kemudian melobi kalangan adat dan kalangan pemerintah Belanda, adalah cara untuk meningkatkan kesadaran itu, melalui baca tulis dan upaya perempuan dapat menghidupi dirinya sendiri. Seperti memiliki kemampuan membatik, membuat jahitan atau keterampilan lainnya yang membuat perempuan bisa hidup mandiri. Seperti Kartini, dia juga menghubungkan antara pembuat dan pembeli produk tersebut di Belanda.
Selain itu Soenting Melajoe juga membuat iklan usaha milik warga lokal di Siloengkang atau lokasi lain di Sumatera Barat. Ada upaya untuk memperkenalkan usaha lokal agar dapat memperkuat modal sosial dan ekonomi warga lokal. Sebab seperti yang kita tahu, jika ekonomi masyarakat kuat, maka masyarakat akan tidak kesulitan ketika ada goncangan sosial, walaupun tentu saja ini dapat kita perdebatkan.
Salah seorang pembaca SM bernama Siti Djalinah binti DT MDJD Sati dari Soelit Air, mengirimkan tulisan berjudul Peroesahaan Bertenoen, pada 27 Juli 1912. Dalam tulisan itu dia bercerita tentang pekerjaan menenun para perempuan di sana. Dia mengatakan orang-orang dari bangsa lain menggemari tenunan Sulit Air. Selain itu ada perkongsian pada saudagar yang kemudian mengumpulkan uang untuk membeli benang yang banyak dan mereka mulai bangun kembali dengan nama usaha Andeh Setia Soelit Air. Kabar-kabar seperti ini dituliskan dalam bahasa Melayu Pasar yang juga digunakan oleh Tirto Adhi Soerjo dalam surat kabar yang diasuhnya.
Tirto mendukung adanya kerja-kerja perempuan dalam bidang-bidang yang tak hanya berguna untuk publik tapi juga domestik, seperti memasak, berhias hingga menenun. Soenting Melajoe juga mendapat donor dari Belanda, seperti halnya Poetri Hindia yang diasuh juga oleh Tirto Adhi Soerjo. Namun, dalam konteks Tirto, apakah itu menghentikan perlawanan terhadap pemerintah? Tentu tidak. Selalu ada upaya bersiasat melawan pemerintahan kolonial.
Berkaca dari Kartini
Siti Roehana beberapa kali mendapat kritik dan fitnah semasa hidupnya. Muncul isu bahwa Roehana dekat dan selingkuh dengan salah seorang pejabat pemerintah kolonial. Dia juga dibilang terlalu dekat dengan Belanda. Kritik ini muncul sampai hari ini. Apalagi Roehana– sama halnya dengan Kartini, tidak mengangkat senjata.
Tentu saja Kartini punya dokumentasi penulisan yang lebih dulu dari Roehana. Perempuan Jawa ini malah tidak lebih leluasa dari perempuan Kota Gedang ini. Para pengkritik Kartini yang dekat dengan Belanda dan tidak mengangkat senjata terdengar di banyak tempat. Mungkin saja mereka menggugat kenapa harus ada hari Kartini, tapi begini, bukankah menggugat adanya peringatan hari Kartini itu tak serta merta menggugat dan menihilkan upayanya menggerakkan pikiran dan berbuat untuk warga sekitarnya.
Saya merasa sepakat dengan Pramoedya Ananta Toer dalam pengantarnya di buku Panggil Aku Kartini Saja, tentang bagaimana seharusnya kita menilai secara adil semangat zaman sejarah yang kita tulis. Pram mengatakan banyak orang Indonesia dan orang Belanda yang ragu posisi Kartini karena banyak dan seringnya dia berhubungan dengan bangsa dari tanah yang menumbuhkan bunga tulip itu.
“Dalam hal ini patut pula diperingatkan, bahwa dugaan yang bukan-bukan itu tidak lain daripada anakronisme historik, karena nasionalisme pertama-tama yang timbul di negeri-negeri jajahan, selamanya hasil daripada perkenalan dari dekat dengan dunia Barat yang menjajahnya, karena itu nasionalisme sampai pada waktu itu merupakan pengertian dan istilah yang khas barat,” tulis Pram.
“Kartini hidup dalam taraf kesadaran nasional yang paling pertama. Melupakan fakta historik ini, adalah tak mau tahu tentang posisi Kartini dalam zamannya sendiri,” tutupnya.
Berkaca pada argumen Pram, Siti Roehana dengan dukungan yang lebih banyak, tentu saja bersiasat menyatakan perasaannya terhadap kolonialisme. Saat dia pindah ke Sumatera Utara dan ikut menggawangi koran Perempuan Bergerak, dia sempat mengecam Belanda yang eksploitatif pada September 1920.
“.. dimana kemelaratan dan kesoesahan jang diderita oleh kaoem dan bangsanja Hindia soedah hampir meliwati jang moetinja ditanggoeng sebagai hidoepnja sesoeatoe bangsa jang berada dalam djajahannja (kolonie) jang soeboer dan dapat perlindoengan jang halal dari Radja2 dan pemerintahnja atoe jang berwajib melondoengi mereka sebagai ra’jat jang membajar bea padjak dan belastingnja oentoek pemeliharaan diri hak milik dan keselamatan kehidoepanja.”
Kemarahan-kemarahan itu tersampaikan lewat pena. Tapi, Bukankah pena juga senjata?
Akumulasi Pergerakan Kecil Membentuk Kesadaran Identitas Nasional
“Organisasi nasionalis di Indonesia merupakan produk tak terduga dari kebijakan politik etis, yang mengambil kepemimpinannya dari lulusan-lulusan sekolah yang menggunakan bahasa Belanda.” – John Ingleson, Road to Exile: The Indonesian Nationalist Movement, 1927-1934.
Dengan nada cendekia yang tenang, Ingleson mencatat bahwa pada awal 1925, Perhimpunan Indonesia – sebuah gerakan revolusioner yang terbentuk dari bara api sekolah-sekolah kolonial – mulai merangkai ideologi nasionalisme. Seperti seorang alkemis yang mengubah logam kasar menjadi emas, mereka menyuling gagasan-gagasan besar dari organisasi seperti Boedi Oetomo, Sarekat Islam, dan Partai Komunis Indonesia, yang bangkit pasca-kebijakan politik etis. Empat gagasan utama muncul dari penyulingan ini: persatuan nasional, solidaritas, non-kooperasi, dan kemandirian.
Namun, di balik semangat yang berkobar ini, ada kesadaran yang tak bisa diabaikan. Mereka tahu bahwa segala bentuk kerjasama hanyalah ilusi selama Hindia Belanda tetap terkungkung dalam relasi hierarkis dengan penjajahnya. Tanpa kesetaraan sebagai negara berdaulat, mengapa tunduk pada kerjasama yang mematikan? Dan ketika identitas nasional akhirnya meledak dalam Sumpah Pemuda 1928, suara itu menggema bagaikan dentuman di tengah malam panjang kolonialisme.
Ledakan semangat memiliki identitas nasional ini tentu–penting untuk disadari– tak terbentuk dalam semalam. Dia terbentuk dari akumulasi perjuangan dan perlawanan dalam beragam bentuk. Mulai dari yang memegang senjata hingga yang menggoreskan pena. Salah satu figur yang penting dalam konteks ini di Sumatera Barat adalah Siti Roehana– atau yang dikenal dengan nama Roehana Koeddoes. Melalui surat kabar Soenting Melajoe, yang terbit dari 1912 hingga 1921, dia berusaha memperkenalkan pemikirannya untuk kemajuan perempuan dalam situasi gelap dan penuh ketidakpastian.
Foto utama: Rumah Roehana Koeddoes di Koto Gadang, Kabupaten Agam, oleh Febrianti di jurnalistravel.com.