Oleh: Yanes Torayoshi
“Punk dan Hardcore Punk adalah tentang otonomi, kebebasan untuk menentukan pilihan dan tindakan masing-masing.” –
Lewat channel YouTube-nya, Belgian Jasper, seorang pewawancara heavy metal, berbincang dengan salah satu personel Destroy Boys yang baru saja merilis album terbaru mereka beberapa waktu lalu. FYI, band punk asal California ini sering mengeksplorasi isu gender dan perempuan melalui lirik mereka.
Selain membahas keterlibatan mereka di komunitas queer dan pandangan terhadap patriarki, wawancara semakin menarik ketika Jasper mulai menyinggung tentang “punk gatekeeping” dan respon negatif yang datang justru dari rumah mereka sendiri, yaitu skena DIY punk di Sacramento, California—kota yang dikenal dengan kanopi pohon terluas di Amerika, dan tempat di mana Destroy Boys memulai karir mereka. Seiring dengan meningkatnya popularitas band, beberapa skenaster lokal menuduh band ini sebagai “sell-out”.
Violet, sang gitaris, menanggapi tudingan ini dengan menyebut “Crab Bucket Analogy”, atau sering juga disebut sebagai “Crab Mentality”. Fenomena ini menggambarkan kecenderungan seseorang atau kelompok yang merasa terancam ketika melihat orang lain meraih keberhasilan. Alih-alih merayakan pencapaian orang lain, mereka justru berusaha menjatuhkan atau merendahkannya —seperti kepiting dalam sebuah ember yang menarik satu sama lain kembali ke bawah saat salah satu mencoba keluar.
Crab mentality harus diakui sebagai salah satu penyakit kronis yang masih mewabah di skena DIY punk hingga kini. Sama halnya dengan punk gatekeeping. Fenomena ini menciptakan aturan tak tertulis, menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi seseorang agar dianggap sebagai bagian dari kawanan.
Punk gatekeeping muncul ketika “orang-orang lama” di komunitas merasa memiliki otoritas untuk menentukan siapa yang dianggap sebagai “punk OG” atau “hardcore punk sejati” berdasarkan standar tertentu, seperti pengetahuan mendalam atau sejarah panjang dalam komunitas. Fenomena ini masih kerap ditemukan di skena DIY punk.
Namun, apakah adil menggeneralisasi semua orang di skena DIY punk memiliki mentalitas yang sama?
Nanti dulu.
Destroy Boys @ The TLA (9/10/2022) | © Oliver Lopena
Band Punk Masuk Industri Semakin Tidak Dianggap Penting untuk Diperdebatkan
Selama empat dekade terakhir, skena punk dan hardcore punk telah mengalami begitu banyak perubahan. Di awal perkembangannya, skena punk sempat diwarnai perdebatan mengenai isu-isu yang kurang substansial. Namun, seiring waktu, keputusan band untuk masuk ke industri musik menjadi hal yang tak penting lagi untuk diperdebatkan. Begitu pula dengan cap ‘sell-out’ dan ‘poser’ yang kini dianggap tak lagi relevan dan telah lama ditinggalkan oleh mereka yang tidak hanya sekedar berproses, tetapi juga berprogres di skena.
Green Day, The Offspring, Blink 182, Ramones, The Clash, Sex Pistols, Bad Religion, Rancid adalah beberapa nama besar yang tidak hanya sukses secara komersial, tetapi juga memainkan peran penting dalam memperkenalkan punk ke kelompok pendengar yang lebih luas di seluruh dunia melalui Media Arus Utama. Di negara asalnya, punk lahir dari gerakan bawahtanah dan menyebar melalui gigs kecil dan Media Alternatif. Namun, di Indonesia, punk justru dikenal luas melalui media masa arus utama. Hal ini membuat banyak orang Indonesia awalnya mengenal punk sebagai musik populer, bukan sebagai bagian dari kontrakultur atau budaya tandingan. Gagasan tentang kontrakultur baru menyusul dan mulai dibicarakan secara serius belakangan. Dengan segala keterbatasan akses informasi di masa itu, kebayang kan gimana jadinya jika band-band yang disebutkan di atas mengambil sikap yang sebaliknya? Bisa jadi subkultur punk dan hardcore punk butuh waktu yang lebih lama lagi untuk sampai ke Indonesia.
Awalnya, banyak perdebatan yang muncul terkait keputusan beberapa band punk untuk memasuki industri musik arus utama atau sekadar berkolaborasi dalam pendistribusian. Pro dan kontra pun menghiasi ruang-ruang diskusi di komunitas, dengan argumen yang saling beradu keras. Namun, dinamika yang terjadi sejak saat itu menunjukkan perubahan signifikan dalam lanskap musik punk dan hardcore punk. Terlepas dari penerimaan atau penolakan, industri musik arus utama hanya tinggal menunggu waktu untuk masuk dan mengooptasi unsur-unsur kontrakultur yang ada di skena, lalu menjualnya sebagai produk perlawanan instan. Cepat atau lambat, punk dan hardcore punk akan menjadi bagian dari budaya populer.
Pergeseran Lanksap Pasca Pandemi
Di era pra-pandemi dan pasca-pandemi, kembali terjadi perubahan besar dalam lanskap punk dan hardcore punk. Shifting dari rilisan fisik ke platform streaming digital tidak hanya mempengaruhi industri musik arus utama, di mana raksasa industri rekaman dan label-label besar mulai tumbang satu per satu, digantikan oleh entitas digital yang siap memonopoli dan menjadi raksasa industri yang baru. Dampaknya juga terasa di skena punk dan hardcore punk. Di satu sisi, label rekaman major menghadapi tantangan besar karena penjualan rilisan fisik yang menurun drastis, memaksa mereka untuk beradaptasi dengan cepat atau menghadapi kehancuran. Musisi arus utama yang masih saja bergantung pada model pendistribusian yang semakin usang ini juga terdampak dan mengalami penurunan pendapatan dari penjualan album.
Namun, di sisi lain, bagi musisi independen, situasi ini justru menjadi blessing in disguise. Mereka yang telah lama mengandalkan jaringan komunitas dan prinsip DIY untuk mendistribusikan karya, berupa rilisan fisik atau digital, masih bertahan dan justru menemukan peluang baru. Kehadiran platform streaming digital alternatif seperti Bandcamp dan Media Sosial yang dimanfaatkan sebagai jejaring komunitas, memungkinkan mereka untuk saling terkoneksi satu sama lain dan memperluas pendistribusian dalam skala yang lebih besar tanpa harus melalui perantara label rekaman besar atau korporat.
Melalui jejaring media sosial, komunitas musik independen justru melakukan hal yang dianggap mustahil. Dengan kehadiran Record Store Day (RSD), komunitas musik independen tidak hanya membantu melestarikan budaya mendengarkan musik secara fisik dan pengalaman unik yang didapat saat mengunjungi toko musik. Tapi juga membantu menyelamatkan arsip-arsip rilisan fisik.
Distribusi yang Lebih Beragam
Tidak hanya di Amerika dan Eropa saja, RSD juga digelar secara swadaya di beberapa negara di Asia termasuk di Indonesia. Nyatanya, kampanye menyelamatkan rilisan fisik yang gencar dilakukan oleh komunitas musik independen tidak hanya menggapai para pendengar atau pemikmat musik saja tapi juga melibatkan seluruh komunitas, tanpa terkecuali para musisi independen. Di komunitas punk dan hardcore punk penggunaan kaset pita sebagai format rilisan semakin marak dilakukan. Selain harganya yang terjangkau, bagi banyak orang di skena, kaset pita membawa kembali kenangan masa lalu.
Agaknya pola-pola pendistribusian yang melibatkan seluruh aspek komunitas dan dukungan yang kuat dari akar rumput menjadikan gerakan ini begitu organik. Peranan jejaring media sosial yang begitu besar, membantu komunitas untuk mengambil alih kuasa promosi yang selama ini dikontrol dan dimonopoli oleh industri lewat media-media satelit mereka. Terlebih di masa-masa pandemi saat frekuensi penggunaan media sosial melonjak tinggi.
Fenomena itulah yang terjadi pada Turnstile dan Sunami, dua band hardcore punk yang menarik perhatian dan mendadak viral di media sosial, terutama TikTok.
Turnstile @ Sound Of Fury ©Turnstile
Selain kualitas musik, inovasi, dan eksplorasi genre hardcore punk yang melibatkan banyak elemen dari genre lainnya, serta penampilan mereka yang selalu intens, Turnstile telah lama menjadi pembicaraan dan mendapatkan perhatian dari komunitas musik punk dan hardcore punk, jauh sebelum viral di TikTok. Namun, sejak video-video yang menggunakan lagu-lagu dari album mereka Glow On (2021) sering kali menjadi viral di TikTok, Turnstile telah menjadi sensasi baru dan berhasil memperluas jangkauan mereka untuk menggapai pendengar dalam skala yang lebih besar. Setuju atau tidak, Turnstile telah berhasil menjembatani gap antara punk tradisional dan audiens yang lebih mainstream, menjadikan mereka sebagai simbol dari gerakan subkultur kekinian.
Begitu juga dengan Sunami. Video pertunjukan pertama mereka dalam sebuah house gig tiba-tiba viral di TikTok. Membuka set dengan bualan absurd, vokalis Josef Alfonso dengan lantang meneriakkan, “Hanya ada dua orang di dunia: Anda berasal dari Bay Area (Teluk), atau Anda seorang pelacur!”
Turnstile dan Sunami Case
Aksi tersebut memicu kericuhan lucu dan penuh kekerasan. Crowd killer pun dimulai: seseorang dengan sarung tinju, beberapa orang berkostum Halloween, dan beberapa lainnya bertelanjang dada dengan senang hati menerima pukulan dan tendangan di tubuh mereka. Semua itu terekam dalam sebuah video yang dengan cepat menjadi sensasi di internet. Violent moshing dan hardmosh pun menjadi hype, tak terkecuali di Indonesia. Berbeda dengan moshing biasa, violent moshing dan hardmosh adalah bentuk kekerasan konsensual. Sayangnya, tren violent moshing, hardmosh, dan crowd killer tidak dibarengi dengan pemahaman dan konteks yang menyertainya, sehingga sering kali hanya ditiru secara serampangan.
Baik Turnstile ataupun Sunami menikmati buah dari ke-viralan tersebut, karya mereka diterima dan diapresiasi secara luas tidak hanya terbatas di komunitas tertentu saja. Paska pandemi, Turnstile dan Sunami disibukkan dengan jadwal tur yang padat. Teruntuk Sunami, gilanya, band ini telah mencapai semua kesuksesan tanpa manajer atau booking agent, mereka benar-benar mengorganisir tur Amerika Utara pertama mereka secara DIY atau mandiri.
Ngomongin soal kesuksesan dan popularitas, menariknya, bagi sebagian orang di skena, popularitas bukanlah sesuatu yang diinginkan atau dianggap sebagai pencapaian. Inilah salah satu alasan mengapa banyak band punk dan hardcore punk, serta individu dalam skena tersebut, tidak tertarik mempertahankan popularitas demi meraih kesuksesan di industri musik.
Masih dalam lini masa yang sama, ada satu nama lagi yang sangat menyita perhatian di skena hardcore punk, baik di era pra maupun pasca-pandemi: Gulch.
Gulch ©Danielle Dombrowski
Berbeda dengan Turnstile dan Sunami, Gulch memutuskan untuk bubar pada tahun 2022, justru di saat mereka sedang berada di puncak popularitas. Keputusan yang bisa jadi dianggap aneh atau gak masuk akal oleh orang-orang pada umumnya. Bagaimana tidak, bukannya memanfaatkan popularitas tersebut untuk melangkah lebih jauh, berkarir dan menandatangani kontrak dengan label rekaman besar, kemudian menjadi mesin tur penuh waktu. Band ini malah bubar jalan. Bahkan, mereka sudah memikirkan akhir dari Gulch di tengah gegap gempita skena hardcore punk, dengan segala keriuhan yang membicarakan karya dan penampilan mereka. Kualitas band ini tidak hanya terlihat dari musikalitas mereka, tetapi juga dari cara mereka menghadirkan diri dengan semangat DIY yang rendah hati dan berkarakter kuat. Bersama Sunami, mereka sangat berjasa mengembalikan Bay Area ke peta hardcore punk setelah skena ini sempat “tenggelam” cukup lama.
Tentu, Gulch bukanlah yang pertama kali, sepanjang sejarah punk dan hardcore punk ada beberapa nama-nama legendaris yang pernah melakukan hal yang serupa. Crass, Minor Threat, Operation Ivy, Refused, Bane, Champion, Have Heart, adalah sederetan nama yang memutuskan untuk bubar saat berada di puncak popularitas, meskipun beberapa di antaranya memutuskan untuk reunian dan manggung kembali.
Alasannya begitu beragam, dan tidak dipungkiri “romantisme punk dan hardcore punk” adalah salah satu di antaranya. Beberapa band merasa bahwa membubarkan diri saat berada di puncak adalah cara terbaik untuk menjaga legacy. Bubar pada masa kejayaan akan membuat karya-karya mereka lebih dikenang, tanpa risiko mengalami penurunan kualitas atau relevansi.
Ada juga beberapa individu di band punk atau hardcore punk yang berpegang teguh pada nilai-nilai yang mereka yakini, terutama etos DIY punk.
Seperti yang terjadi pada kasus Minor Threat, dalam dokumenter Salad Days: A Decade of Punk in Washington, D.C., Ian MacKaye (vokal), Brian Baker (bass), dan Lyle Preslar (gitar) menceritakan kronologi pembubaran Minor Threat. Band yang menginspirasi kelahiran subkultur Straight Edge ini ternyata bubar karena Ian MacKaye menolak gagasan Brian dan Lyle yang ingin agar Minor Threat memanfaatkan kesempatan saat mereka berada di puncak popularitas untuk naik ke level berikutnya, mendapatkan lebih banyak publikasi, dan mengejar kesuksesan komersial. Ketidakcapaian kesepakatan inilah yang akhirnya berujung pada keputusan untuk membubarkan Minor Threat pada tahun 1983. MacKaye kemudian membentuk Fugazi dan tetap konsisten mempertahankan etos DIY punk.
Crass ©Roughtradepublishing
Crass adalah simbol gerakan punk yang radikal dan anti-komersial.
Sebelum membahas Crass lebih lanjut, mari luruskan kembali sesat pikir tentang “Anti-Komersialisme”.
Anti-komersialisme Bukannya Tak Mengambil Keuntungan
Anti-komersialisme bukan berarti menolak segala bentuk proses komersialisasi yang melibatkan produksi, distribusi, dan penjualan barang atau jasa dengan tujuan mendapatkan keuntungan, tidak. Tentu saja band DIY mendapatkan keuntungan dari penjualan karya mereka.
Dalam subkultur punk dan hardcore punk, manifestasi sikap ini adalah penolakan terhadap komersialisasi berlebihan, kontrol industri besar, dan hilangnya otentisitas dalam karya seni. Gerakan DIY punk mendukung gagasan bahwa seniman harus memiliki kontrol penuh atas karya mereka, termasuk bagaimana karya tersebut didistribusikan dan dijual, tanpa bergantung pada korporasi besar atau kompromi terhadap nilai-nilai pribadi mereka.
Menganggap bahwa anti-komersialisme sama halnya dengan tidak mencari keuntungan sama sekali dari proses pendistribusian karya justru mengabaikan aspek penting dari gerakan DIY punk itu sendiri, yaitu kemandirian. Pandangan sempit semacam ini adalah sesat pikir, karena gagal menangkap esensi dari apa yang sebenarnya dimaksud dengan anti-komersialisme dalam konteks subkultur atau gerakan tertentu.
Kurang lebih seperti menafsirkan bahwa anti-kapitalisme berarti sama sekali tidak bersentuhan dengan produk-produk kapitalis. Padahal, anti-kapitalisme adalah upaya untuk menciptakan alternatif yang menjadi tandingan dari sistem kapitalis, salah satunya adalah dengan membangun komunitas yang mandiri, swadaya, dan swakelola.
Seorang anti-kapitalis tentu menyadari betapa kuat dan mengakarnya dominasi sistem kapitalisme dalam kehidupan ekonomi dan sosial manusia; bahkan membayangkan akhir dari kapitalisme itu sendiri sangatlah sulit. Seperti yang pernah disebutkan oleh Fredric Jameson dan Slavoj Zizek: “Lebih mudah membayangkan akhir dunia daripada akhir dari kapitalisme itu sendiri.”
Sejak awal dibentuk Crass adalah proyek musik jangka pendek, mengidentifikasi diri mereka lebih sebagai sebuah kolektif seni dan politik daripada sekedar band. Visinya adalah, Crass tidak akan menjadi band yang berlangsung dalam jangka waktu yang panjang, mereka ingin menjaga integritas dan dampak pesan mereka dengan tidak berlarut-larut dalam karier bermusik.
Warisan terbesar Crass sebagai band yang menggabungkan musik dan aktivisme adalah praktik etos DIY punk dalam segala aspek, salah satunya adalah menolak komersialisasi musik. Menolak bekerja sama dengan major label, memproduksi dan mendistribusikan musik mereka sendiri, serta mendirikan label independen, Crass Records, untuk mendukung musisi lain yang ingin berbagi visi yang sama. Untuk menciptakan alternatif atau menantang kapitalisme.
Semangat itulah yang sampai saat ini masih kita rasakan di skena punk dan hardcore punk. Semangat yang menjalar hingga ke negara dunia ketiga atau negara berkembang seperti Indonesia. Di mana komunitas punk dan hardcore punk nya telah mulai membangun jaringan mereka sendiri, membangun ruang-ruang kolektif swakelola, mendirikan label rekaman independen yang telah merilis begitu banyak rekaman, mulai dari rilisan fisik hingga rilisan digital. Sadar atau tidak, perlawanan terhadap komersialisme dan kapitalisme itu sudah sejak lama kita mulai.
Kontrasosial ©Disaster Record, Maternal.
Memang lanskap punk dan hardcore punk telah mengalami begitu banyak perubahan, akan selalu berkembang dan bergerak secara dinamis. Berawal dari kontrakultur menjadi subkultur, dan di sisi yang berseberangan telah bermetamorfosis menjadi popular kultur.
Definisi Punk Tidak Pernah Baku
Sejatinya, punk dan hardcore punk tidak pernah memiliki definisi yang baku, tidak terikat oleh aturan serta hierarki. Karakteristik utama punk dan hardcore punk adalah penolakan terhadap otoritas, fleksibilitas, dan keterbukaan. Tidak berlebihan jika menggambarkan punk dan hardcore punk sebagai bentuk kebebasan sejati. Punk dan hardcore punk adalah tentang mengambil kendali atas identitas dan ekspresi diri, serta menolak pembatasan yang diberlakukan oleh orang lain. Esensinya terletak pada kebebasan berekspresi dan penolakan terhadap norma-norma yang dipaksakan dari luar. Punk mendorong setiap individu untuk mendefinisikan diri mereka sendiri, tanpa tunduk pada standar atau aturan yang ditetapkan oleh masyarakat, otoritas, atau apapun itu.
Sebagai sebuah subkultur yang sangat personal dan fleksibel, tentu menggelikan jika ada pemaksaan prinsip dan nilai kepada individu lain. Sangat tidak punk, dan gak hardcore sama sekali. Punk gatekeeping dan insinuasi dengan istilah “sellout” bukan hanya tidak keren, tetapi juga sangat kontra-produktif; hal ini justru akan menciptakan hierarki dan menghambat perkembangan skena.
Namun, perdebatan tentang DIY vs industri, mandiri vs korporasi, arus pinggir vs arus utama, kontrakultur vs pop kultur, bak cando bacakak sanduak jo kuali, itu biaso. Kok indak, gulai tak masak, samba tak lamak. Artinya, kalau tidak bertikai antara sendok masak dengan kuali, gulai tidak akan pernah matang. Semakin nyaring kebisingannya, semakin mak nyoss rasanya. Onde mande!
Mau mengadaptasi punk sebagai kontrakultur, mau memaknai punk hanya sebatas subkultur, atau cuman pengen bersenang-senang dengan mengadaptasi kalcer punk selayaknya budaya populer, silahkan. Punk dan Hardcore Punk adalah tentang otonomi, kebebasan untuk menentukan pilihan dan tindakan masing-masing.
Tapi bagi saya, punk yang tak skeptis dan tak sinis adalah punk yang mati.