Oleh: Calvin Nanda Permana
“Indak batamu rueh jo buku”
Kondisi kebebasan sipil kita di Sumatera Barat sedang tidak baik-baik saja. Pepatah minang di atas yang berarti aturan hukum yang mengatur tidak lagi sesuai dengan penerapannya di lapangan.
Ancaman-ancaman serius menyasar hak berkumpul secara damai, hak berekspresi, berpendapat dan berserikat. Penyelenggara negara menggiring rakyat ke ruang-ruang yang rentan akan penghilangan hak-hak tersebut.
Kita bisa melihat bagaimana negara semakin brutal menekan kebebasan berekspresi dengan kebebasan berpendapat masyarakat sipil ini dalam tiga bulan belakangan di Sumatera Barat.
Kasus-kasus ini mengejutkan perhatian publik. Mulai dari penangkapan sewenang-wenang tiga mahasiswa yang sedang aksi damai, pembubaran paksa masyarakat Pigogah Patibubur Air Bangis di Masjid Raya Sumbar yang aksi sampai lima hari dan teror terhadap masyarakat sipil atau mahasiswa yang bersuara tentang kasus Air Bangis.
Kasus pertama, penangkapan tiga mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta yang sedang aksi damai memperingati hari buruh saat kunjungan yang bertepatan dengan kunjungan Wakil Presiden Republik Indonesia pada 4 Mei 2023.
Kepolisian Resor Kota Padang menangkap mereka dengan sewenang-wenang dan tanpa alasan jelas.
Pihak kepolisian mengatakan mereka hanya mengamankan tiga mahasiswa tersebut. Sebab mereka akan melakukan strerilisasi area dan mahasiswa tidak memberikan surat pemberitahuan aksi.
Disini tampak jelas aparat kepolisian sudah melakukan tindakan yang melampaui batas wewenangnya. Hal ini tertuang dalam pasal 15 UU nomor 7 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum yang bunyinya jika tidak memberikan surat pemberitahuan, aksi hanya boleh dibubarkan. Bukan menangkap peserta aksi.
Kasus kedua, pemulangan paksa Masyarakat Pigogah Patibubur Kenagarian Air Bangis pada Sabtu tanggal 5 Agustus 2023, yang sebelumnya telah lima hari melakukan aksi demonstrasi secara damai di depan kantor Gubernur Provinsi Sumatera Barat. Masyarakat menuntut agar Gubernur Sumatera Barat mencabut kembali usulan Proyek Strategis Nasional yang berpotensi menggusur dan mengancam ruang hidup dan penghidupan rakyat.
Namun selama lima hari masyarakat aksi, entah bebal atau tidak bijak dalam menanggapi situasi tidak sekalipun Gubernur Sumatera Barat hadir. Tidak terlihat dia berkenan untuk menemui masyarakat yang sudah jauh-jauh datang dari Pasaman Barat.
Tidak seperti saat beliau bermanis-manis mendatangi masyarakat ketika pemilihan kepala daerah beberapa tahun silam. Tuntutan masyarakat hari ini dijawab dengan pemulangan paksa.
Dalam proses pemulangan paksa aparat kepolisian melakukan kekerasan. Baik dari yang berpakaian seragam dinas maupun berpakaian preman jalanan. Hari itu juga ada 17 orang yang terdiri dari masyarakat, mahasiswa dan pendamping ditangkap secara sewenang-wenang dan tidak memiliki dasar hukum yang jelas oleh anggota kepolisian.
Padahal mereka mengaku-ngaku bekerja secara humanis dalam melayani masyarakat namun ternyata sangat arogan dan seakan menyimpan kebencian yang mendalam pada warga. Beberapa diantara kawan yang ditangkap secara brutal juga mendapat pukulan telak di kepala bagian belakang oleh anggota kepolisian berpakaian preman dengan sengaja.
Kasus ketiga, perundungan, teror dan ancaman pembunuhan pada Ahmad Zaki Presiden Mahasiswa UIN Sjech M. Djamil Djambek pertengahan Agustus lalu. Situasi ini mulai dialami sedari Zaki dan mahasiswa lainnya di Sumatera Barat mulai aktif menyuarakan dan memperjuangkan hak asasi masyarakat Pigogah Patibubur, Air Bangis.
Mahasiswa kampus tersebut sampai menolak kehadiran Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi saat momen Pengenalan Budaya Akademik Kampus pada mahasiswa baru. Tuntutan mereka agar pemerintah menyelesakan persoalan ruang idup dan penghidupan masyarakat Air Bangis secara tuntas dan punya kepastian hukum.
Kasus perundungan, teror, dan ancaman tidak hanya tertuju kepada Zaki seorang. Namun kepada setiap masyarakat sipil atau organisasi Masyarakat sipil yang aktif menyuarakan dan berpihak kepada Masyarakat Pigogah Patibubur, Air Bangis juga mendapat perundungan, terror bahkan ancaman baik secara lansung ataupun tidak lansung dari pihak-pihak yang belum diketahui.
Rebut Kembali Kebebasan Sipil Untuk Keadilan Rakyat
Kita harus merebut kembali kebebasan sipil. Melalui partisipasi masyarakat sipil yang aktif. Sebab walaupun secara regulasi untuk partisipasi Masyarakat diakui, namun dalam praktiknya sering diabaikan oleh penguasa.
Lantas penguasa mengerdilkan makna partisipasi publik hanya sebatas mencoblos surat suara saat pemilihan umum. Atau sekadar menerima massa aksi yang sedang berdemonstrasi.
Seharusnya pemerintah memahami bahwa ada tiga unsur yang menjadi syarat terpenuhinya partisipasi publik.
Mulai dari pemerintah harus mendengarkan pendapat dari masyarakat dengan baik dan benar, pemerintah harus mempertimbangkan pendapat publik tersebut dan pemerintah memberikan jawaban yang jelas terhadap pendapat dari partisipasi publik tersebut.
Partisipasi dan keterlibatan Masyarakat sipil dalam ruang-ruang sipil harus tetap dijaga dan dirawat. Keterlibatan masyarakat secara kritis juga diperlukan sebagai kontrol sosial dalam mengawasi penguasa yang menjalankan pemerintahan agar tetap dalam jalur kebaikan.
Dominasi narasi pembungkaman oleh buzzer dan kacung pemerintah harus tetap dilawan dengan terus menyuarakan narasi tanding yang berpihak kepada Masyarakat kelas menengah kebawah.
Peran Masyarakat sipil yang taat hukum, mandiri, demokratis dan memiliki kesadaran politik tinggi menjadi senjata utama untuk merebut kembali kebebasan sipil yang telah menyempit. Setiap kelompok dan komunitas Masyarakat memiliki peran masing-masing untuk mendorong pewujudan dari perubahan sosial yang berkeadilan dan berpihak ke Masyarakat kalangan bawah.
Memahami Ruang Kebebasan Sipil
Ruang kebebasan sipil menjadi instrumen utama dalam menunjang tanggungjawab negara dalam pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) dan Demokrasi.
Ruang ini yang memungkinkan setiap warga negara untuk menjadi pemeran utama dan berpartisipasi aktif secara politik, ekonomi dan budaya demi mendorong terciptanya perubahan sosial yang berkeadilan untuk rakyat.
Adalah tugas negara sebagai pemangku segala kebijakan dan bertanggungjawab menjadi payung untuk menjamin setiap warga negara agar tetap bisa mengemukakan pendapatnya, berdialog, berkumpul dan berserikat secara damai.
Negara harus menjamin keberadaan ruang sipil untuk setiap warga negara. Adapun tanggungjawab negara yang dimaksud sudah tertuang dalam konstitusi Negara Indonesia, Pasal 28I UUD 1945 secara tegas memerintahkan bahwa:
“Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan Hak Asasi Manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”.
Jaminan negara tentunya mencakup aktor-aktor yang memanfaatkan ruang kebebasan sipil seperti mahasiswa, aktivis, buruh, kelompok minoritas, petani, jurnalis dan kelompok masyarakat lainnya dapat terus berserikat, berekspresi dan berkumpul secara damai dalam rangka mendorong perubahan sosial yang berkeadilan untuk hidup dan penghidupan mereka serta bebas dari intervensi dan intimidasi kekuasaan.
Pada prinsipnya negara sudah menjamin ruang kebebasan sipil karena sudah menjadi bagian dari hak-hak sipil dan politik warga negara yang wajib dihormati, dipenuhi, dan dilindungi negara. Kebebasan sipil sejatinya berlandaskan pada hak fundamental manusia yang melekat pada setiap manusia. Secara spesifik, kebebasan sipil adalah sebuah nilai yang menganut prinsip-prinsip dasar Hak Asasi Manusia (HAM).
Sementara itu, banyak referensi yang mendefenisikan hak sipil sebagai hak yang paling dasar dan generasi pertama dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang hadir dari fitrah atau kodrat keberadaan seorang manusia. Kata “sipil” mengarah kepada kelompok yang mengambil peran untuk menjaga kebebasan individu dari penindasan yang secara sewenang-wenang dilakukan oleh penguasa atau negara.
Hak sipil dapat kita simpulkan bagaimana negara melindungi warga negara demi kehidupan dan penghidupan yang tanpa penindasan dan kesewenangan. Hak sipil secara universal memuat unsur-unsur hak seperti hak berbicara, hak berpikir, hak berserikat, hak berekspresi, hak berkumpul secara damai, serta hak atas pengadilan yang adil dan tidak memihak.
Klasifikasi hak diatas merupakan poin utama dari jaminan warga negara bisa mengambil peran utama berpartisipasi dalam mewujudkan perubahan sosial yang berkeadilan tanpa adanya ancaman dari kekuasaan. Segala bentuk intimidasi, intervensi, pembungkaman dan penindasan tidak bisa dinormalisasi apalagi dibenarkan dalam ruang kebebasan sipil.
Kita bisa merasakan, saat ini kita di Sumatera Barat sedang berada didalam cangkang kekuasaan yang melemahkan perlindungan terhadap kebebasan sipil. Serangan secara brutal terhadap individu yang bersuara kritis untuk hak dan keadilan dianggap mencoreng muka penguasa dan tidak beradab.
Penguasa mulai memainkan peran sebagai objek yang anti kritik, dan setiap kritik yang menyasar ke kekuasaan dibenturkan dengan pembungkaman-pembungkaman. Situasi ini merangsang nalar kita untuk bertanya, bukankah esensi kritik juga bagian dari hak warga negara yang dijamin konstitusi.
Ruang Sipil: Berpendapat dan Mengkritisi Tidak Harus Beretika
Iklim demokrasi di Indonesia terkhususnya di Sumatera Barat memang dalam kondisi di ambang batas kebobrokan. Masyarakat sipil yang aktif menyuarakan hak dan keadilan untuk mereka yang dirampas haknya masih akan dihadapkan dengan persoalan yang sama, bahkan bisa jadi akan lebih parah.
Tindakan represif dan kekerasan terhadap massa aksi, perundungan, bullying, terror dan ancaman masih menjadi strategi pemerintah sebagai alat pembungkaman.
Kita masih begitu sering mendapati pendapat dari orang-orang yang telah sakit jiwanya, bahwa berpendapat dan kritik itu harus menggunakan etika yang baik dan benar.
Jika dipikirkan dengan akal yang singkat pendapat tersebut akan terasa benar, tetapi jika di pikirkan lebih dalam menggunakan akal sehat, anggapan inilah yang akan menghambat masyarakat untuk berekspresi di ruang-ruang sipil.
Pendapat tersebut tidak jelas dan mengada-ada, sebab tidak ada seorangpun yang mampu menilai etika dan adab seseorang. Karena standar etika dan moral seseorang sangat abstrak dan tidak ada ukurannya.
Dalam adat dan budaya Minangkabau norma kesopanan hanya dikaitkan dengan hubungan dalam relasi personal seperti pertemanan, anak dan orang tua, yang kecil ke yang lebih tua dan sebaliknya. Namun konsep norma ini tidak berlaku jika itu di ruang-ruang sipil yang relasinya antara masyarakat dengan penguasa yang sedang duduk di kursi pemerintahan.
Anggapan yang konyol seperti ini hanya menambah kebingungan bahkan membuat takut masyarakat yang ingin mengkritik pemerintah atau menyuarakan keresahannya.
Jika menyangkut urusan publik dan nasib rakyat, rakyat bebas untuk mengkritik sekeras-kerasnya karena ini menyangkut hak warga negara dan konstitusi menjaminnya.
Seharusnya pemerintah yang tidak mau mendengar dengan baik apa yang disampaikan rakyatnya baru dapat disebut tidak beretika, beradab dan tidak bermoral. Sebab tidak mempertimbangkan pendapat rakyat dan tidak memberikan kejelasan atas jawaban yang diminta oleh rakyat.
Tuntutan-tuntutan rakyat dijawab dengan pentungan dan gas air mata. Jawaban tegas bahwa hanya kepentingan penguasa yang mereka lindungi.
*Pengabdi Bantuan Hukum (LBH) Padang Divisi Kampanye dan Sumber Daya Alam