Oleh: Raisa Kamila*
Sulitnya akses terhadap buku monograf sejarah yang ditulis peneliti asing dan narasi sejarah Indonesia yang militeristik adalah dua alasan utama yang menurut saya, menyebabkan kegandrungan terhadap masa lalu Aceh mewabah.
Sewaktu kanak-kanak, saya merasa hidup dalam isolasi. Berita-berita di televisi, koran, dan majalah hanya memuat berita-berita tentang konflik bersenjata yang terjadi di tempat tinggal saya, Aceh. Sementara meskipun siaran televisi menayangkan berita-berita kriminal di Bandung dan Yogyakarta, namun ada banyak siaran dan ulasan lain tentang kota-kota itu, yang membuatnya tetap kelihatan seperti tempat yang menyenangkan.
Dorongan saya untuk menulis awalnya muncul sebagai cara untuk keluar dari perasaan terisolir: Saya ingin bisa mengatakan sesuatu pada orang-orang di luar sana, yang sedang menyimak berita-berita tentang konflik bersenjata, bahwa ada banyak cerita lain dari konflik yang terjadi di Aceh, yang tidak melulu berasal dari perspektif simpatisan TNI atau GAM.
Saya mulai sering mengirim cerita atau artikel pendek ke majalah anak-anak dan berusaha memiliki sahabat pena dari luar Aceh. Hasil dari keduanya nihil. Tidak ada yang memuat artikel atau cerita saya, serta tidak pernah ada balasan dari calon sahabat pena yang saya kirimi surat.
Saat itu saya memang merasa kecewa. Tapi sekaligus juga penasaran: oke, mungkin tulisan saya tidak cukup menarik untuk dimuat di majalah, dan juga tidak cukup menyenangkan untuk ditanggapi oleh calon sahabat pena. Lalu bagaimana dengan orang lain yang berasal dari Aceh juga? Saya dan kakak perempuan mulai menelusuri berbagai rubrik surat pembaca di beberapa media massa langganan keluarga, untuk mencari pengirim dari tempat asal kami. Tapi lagi-lagi hasilnya nihil. Bahkan di pengumuman pemenang undian bungkus pasta gigi, saya tidak pernah menemukan ada pemenang dari Aceh.
Usaha untuk menembus isolasi membuat saya sempat menaruh harapan pada internet, yang pertama kali saya coba di kantor pos Banda Aceh, untuk mengakses laman milik penyanyi cilik Sherina. Tapi karena biaya yang mahal, serta lamanya waktu yang harus saya habiskan di bilik warung internet, harapan itu akhirnya kandas. Hingga kemudian, pada tahun 2004, bencana gempa dan tsunami terjadi di Aceh dan segala sesuatu tidak pernah sama seperti sebelumnya.
Semua orang di luar sana tiba-tiba membicarakan Aceh dan berusaha menemukan cara untuk bisa melakukan sesuatu. Banyaknya korban tsunami membuat pemerintah pusat dan daerah bersepakat untuk mengupayakan penyelesaian konflik bersenjata. Kurang dari setahun setelah bencana, pihak GAM dan pemerintah Indonesia menandatangani kesepakatan perdamaian. Untuk kebutuhan rehabilitasi dan rekonstruksi, Aceh pun menjadi lebih terbuka. Saat itu, saya mulai menjelang usia remaja, dan selalu terpukau melihat pekerja kemanusiaan dari berbagai negara lalu lalang di tengah kota, mengenakan celana kargo, menjinjing laptop, mengalungkan USB stick dan menggenggam ponsel terkini sambil bercengkrama dengan orang-orang di pasar, pantai, barak pengungsi, dan warung kopi.
Warung internet bertebaran, buka hingga tengah malam, dan berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, di saat itu, kata kunci “Aceh” di mesin pencari bisa mengantarkan pada sekian banyak informasi yang dulunya terasa seperti rahasia. Tanpa pernah terbayangkan sebelumnya, keadaan isolasi yang dulu saya alami berganti dengan keberlimpahan informasi yang serba cepat, yang agaknya saya dan orang-orang lain di Aceh hadapi dengan kebingungan. Mungkin kami terkejut karena nasib yang berubah begitu cepat, dari satu ekstrem ke ekstrem lainnya, tanpa kami pernah sempat bersama-sama memahami apa yang telah dan sedang terjadi.
Saya lantas mulai lebih sering menghabiskan waktu di warung internet, memenuhi rasa ingin tahu tentang tempat tinggal saya dan dunia di luar sana. Salah satu penyedia informasi yang berlimpah saat itu adalah laman acehbooks.org yang dikelola oleh Perpustakaan Universitas Leiden.
Penggunaannya mirip mesin pencari biasa: tinggal memasukkan beberapa kata kunci lalu informasi terkait buku, majalah, atau foto akan muncul dan kita bisa unduh cuma-cuma. Untuk orang-orang yang besar dengan mendengarkan narasi militeristik dalam sejarah Indonesia, menemukan berbagai sumber yang membahas nyaris setiap segi kehidupan di Aceh dalam berbagai periode terasa seperti portal yang mengantarkan siapapun untuk mengintip masa lalu.
Saya ingat, beberapa kawan rutin ke warung internet untuk mengunduh segala hal yang mereka temukan di acehbooks.org, foto dan buku-buku dalam bahasa Indonesia, Belanda, Inggris, dan Aceh, lalu menyimpan semua itu di hard disk dan memperlakukan itu seperti koleksi berharga yang tidak boleh sembarang disentuh. Sesekali, ketika sedang menghabiskan waktu di warung kopi, beberapa kawan ini akan bercerita tentang apa saja yang mereka baca dari buku-buku itu, terutama bagaimana masa lalu Aceh yang gemilang di masa Sultan Iskandar Muda, kegigihan pejuang dalam berbagai peperangan, serta kedatangan Islam, yang kemudian mengundang rasa ingin tahu peneliti asing dan jurnalis media massa di luar negeri dari berbagai periode. Kata mereka, catatan tentang masa lalu Aceh adalah bukti dari marwah (kemuliaan) yang membuat “bangsa Aceh” berbeda dengan penghuni nusantara lainnya.
Awalnya, saya menganggap apa yang mereka lakukan wajar. Sulitnya akses terhadap buku monograf sejarah yang ditulis peneliti asing dan narasi sejarah Indonesia yang militeristik adalah dua alasan utama yang menurut saya, menyebabkan kegandrungan terhadap masa lalu Aceh mewabah. Mungkin rasanya seperti kembali ke rumah orangtua kandung, setelah bertahun-tahun hidup dalam ikatan pernikahan yang menyiksa secara fisik dan mental.
Kehadiran akun-akun media sosial yang rutin mendaur ulang narasi kegemilangan masa lalu, penggiat sejarah dan budaya yang terobsesi dengan kehidupan elit kesultanan, serta upaya-upaya untuk “Make Aceh Great Again” melalui perancangan konsep identitas “bangsa Aceh” dari catatan sejarah oleh pembuat kebijakan membuat saya memikirkan ulang anggapan saya sebelumnya. Secara bertahap, kesimpulan tentang “marwah bangsa Aceh” membuat kegandrungan terhadap masa lalu itu mulai bekerja seperti pisau. Ia akan menguliti bagian-bagian tertentu di masa lalu –misalnya seperti antusiasme orang-orang di Aceh terhadap komunisme sejak tahun 1926, sebagai suatu “muslihat kolonial” atau “tidak diminati oleh orang Aceh asli”— agar segala sesuatu yang pernah terjadi di masa lalu berjalan sesuai koridor imajinasi tentang “bangsa Aceh” yang pernah berjaya.
Keseharian orang-orang biasa di masa lalu, seperti berladang, latihan menari, menyebrangi selat untuk berjualan, menonton bioskop, berlibur ke Sabang, menata rambut di salon, atau menyaksikan pertunjukan musik di Taman Budaya hingga menjelang subuh, dianggap tidak cukup berarti di hadapan narasi masa lalu Aceh yang gemilang atau penuh luka. Seolah-olah pilihan yang tersedia hanya dua: menjadi penguasa atau menjadi korban. Apa yang akan tampak jika kita melihat masa lalu melalui keseharian orang-orang yang bertahan atau memutuskan untuk tetap hidup di Aceh dalam segala periode? Seperti orang-orang Tionghoa yang selama tiga generasi membuka studio foto, nelayan yang selalu kembali dengan jala berisi atau tanpa tangkapan, pekerja di salon atau tempat pangkas, guru mengaji di Taman Pendidikan Al-Qur’an, tabib, pawang hewan, pendeta, kuli angkut pelabuhan… Sialnya, catatan masa lalu dari media massa atau buku-buku monograf sejarah pun jarang merekam segala sesuatu melalui perspektif orang-orang biasa seperti ini.
Gempa bumi yang disusul tsunami memang membuat orang-orang di Aceh terhubung dengan dunia luar, tapi di saat yang bersamaan juga melenyapkan jejak keseharian orang-orang biasa yang hidup sebelum bencana datang: yang tersimpan dalam album foto keluarga, yang diingat melalui tempat hiburan dan olahraga, serta yang terekam di dalam kepala orang-orang yang pernah hidup di masa itu. Bagi orang-orang yang selamat dari tsunami, keseharian di masa lalu menjadi semacam kutukan, hanya ada perang dan perbuatan dosa. Hidup sesudah bencana kemudian ramai-ramai dimaknai sebagai jalan penebusan dosa masa lalu. Polisi moral hadir nyaris di setiap lapisan keseharian, di rumah, perkampungan, sekolah, dan juga terlembaga dalam sistem pemerintahan. Mereka bersama-sama mengemban tugas untuk mengawasi gerak-gerik yang dianggap mencurigakan, menjerumuskan, dan mengundang pada perbuatan dosa, agar tidak ada lagi hukuman yang akan menimpa seisi kampung seperti gempa dan tsunami.
Rasa-rasanya tidak kebetulan ketika pada periode ini pula, saya pertama kali menulis cerita pendek yang berjudul “Kenangan”. Tokoh utama dalam cerita ini, Alya, adalah perempuan Aceh yang sedang merantau untuk kuliah di Jakarta, lalu kembali ke rumah keluarganya di Banda Aceh. Cerita bermula dari kegugupan Alya saat kembali ke Banda Aceh untuk menemui keluarganya dan melihat kota masa kecilnya hancur karena bencana. Secara berulang-ulang, Alya mengeluh “sakit” justru saat melihat segala sesuatu yang berubah di Banda Aceh: penandatanganan perjanjian damai, tidak ada lagi jam malam, puing-puing sisa bencana pun sudah mulai rapi. Saat itu saya hanya membayangkan, betapa hampa rasanya melihat tempat masa kecil hancur tanpa sisa, lalu berubah menjadi tempat baru yang asing.
Saat membaca ulang cerita pendek ini di usia yang lebih dewasa, saya seperti menemukan gambaran mengenai emosi yang mirip dengan nostalgia karena hadir dari ingatan masa lalu, namun di sisi lain juga menyebabkan rasa sakit seperti trauma, meskipun tidak melulu berasal dari kenangan buruk. Emosi semacam ini yang sekarang sering saya rasakan setiap kali mendengar cerita-cerita tentang keseharian orang-orang Aceh, terutama perempuan, di masa-masa sebelum hukum syariat Islam berlaku. Masa-masa dimana, perempuan bisa pergi berlatih berenang tiap akhir pekan, menghabiskan malam minggu di bioskop bersama kawan-kawan, ikut pentas pantomim, tertawa terbahak-bahak di warung makan… tanpa sekat, tanpa kekhawatiran, dan tanpa tatapan penghakiman dari orang-orang.
Keadaan di Aceh saat ini memang lebih membaik dari sebelumnya, tapi saya merasa, isolasi yang dulu saya rasakan sewaktu kanak-kanak tidak pernah benar-benar pergi; justru bekerja dalam lingkup yang lebih rapat dan personal. Saya tidak punya banyak gagasan mengenai cara terbaik untuk keluar dari perasaan terisolir ini. Satu hal yang saya bisa lakukan adalah menulis cerita-cerita tentang keseharian orang-orang yang seringkali terlewat dari sejarah, terutama perempuan di Aceh sebelum segala perubahan terjadi, untuk sekadar mengingatkan bahwa pada suatu masa, kita pernah begitu merdeka.
*Phd Student in SOAS University of London
Esai ini ditulis untuk panel “The History of Our Memory” pada acara “Road to Jakarta International Literary Festival 2021 – Heroes: (Re)making History”, 4/12/2020