Situs, Status dan Makna: Manufacturing Memory Monumen TBOS

Oleh: Abdul Rahman*

 

 

 

Tentang Situs

Setiap hal memiliki sifat bawaan sebagai tanda kata C.S Pierce satu waktu. Ketika makna di(ter)sematkan padanya, ia menjadi satu pertanda, hingga rangkaian konvensi sosial menjadikan ia simbol yang mantap. Mitos, kata Roland Barthes di waktu yang lain, adalah puncak dari proses konotasi atas suatu penanda budaya. Namun kehadiran makna itu arbitrary, semua orang bisa memaknai apapun atas penanda tertentu. Sebagai sebuah monumen, situs Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto (TBOS) bebas dimaknai (ulang) oleh siapa saja, atau sebaliknya meneguhkan makna yang sudah ada.

 

Pada kawasan TBOS inilah beberapa waktu lalu Festival Galanggang Arang (FGA) menjadi payung penyelenggaraan rangkaian acara. Saya tidak akan mengulas kembali rangkaian acaranya, berbagai media telah hadir mendokumentasikan termasuk ragam catatan, apresiasi dan termasuk kritik. Saya akan berangkat atas ketertarikan pada polemik hangat antara Randi Reimena dan Jaka HB di media online. Sejumlah tulisan saling bersahutan antar mereka yang berpusar pada bagaimana memaknai situs TBOS ini dan atau pada pemaknaan yang mana festivalisasi itu mengambil tempat. 

 

Tulisan kawan-kawan ini bisa ditelusuri melalui judul dan tautan ini: Galanggang Arang dan Upaya yang – Hanya – Menceritakan Ulang dan Meromantisir Narasi Sejarah Eksotik”, “Inflasi Heroisme, Defisit …”, Dekolonisasi Palsu Galanggang Arang dan Langgengnya Eksploitasi Batubara, Penjuluk Sayup, Dahan Tinggi”, dan “Dialog dengan Jin Muslim”.

 

Sejauh yang bisa saya tangkap, argumentasi utama Jaka adalah TBOS merupakan situs kolonialisme. Ia melekat pada lubang-lubang tambangnya yang gelap, pada penghisapan manusia-manusia yang menjadi orang rantai. Batubara, tulis Jaka, ada di atas segalanya, bahkan kemanusiaan. Ia harus dikenang sebagai monumen ketidakadilan, alih-alih dirayakan sebagai sebuah warisan. Kira-kira begitu, kalau boleh saya simpulkan. 

 

Sementara Randi mendekati FGA dengan pemaknaan berbeda, di mana monumen dan festival ini bisa dijadikan medium pengingat bagi generasi kini atas corengnya kolonialisme itu sendiri. Usaha mengingat ini termanifes dalam banyak cara kreatif. Mulai dari rupa, musik dan karya ilmiah hingga sastra selama perhelatan berlangsung. Sebuah tuduhan “mengglorifikasi kolonialisme” tentu tidak mengenakkan, bagi siapapun. 

 

Saya tidak akan ikut memperpanjang perdebatan dua kawan ini, karena dua alasan. 

 

Pertama, keduanya memiliki pandangan yang sama pada kolonialisme masa lalu. Kawan ini sama-sama menekankan dengan sangat jelas posisi politik mereka atas masa lalu TBOS, dan itu seharusnya menenangkan. Saya yakin keduanya tidak akan mengatakan tidak, bahwa situs ini adalah artefak kolonial yang penuh cerita mengibakan kemanusiaan. 

 

Dua teman itu sebenarnya satu kubu dalam melihat sejarah situs, tapi sedikit berbeda dalam reaksi atas dinamika sekitar situs yang tengah terjadi. Semangat mereka adalah kita jangan lupa kolonialisme, dan ini penting untuk digaristebali. Upaya Randi dan kawan-kawan yang memastikan hadirnya karya-karya yang terus mereproduksi ingatan tentang kolonialisme patut dihargai, sementara upaya Jaka mengingatkan di media agar tidak terjebak dalam glorifikasi juga sama pentingnya. 

 

Alasan kedua, ada narasi lain yang sedang bekerja secara sistemik yang perlu mendapatkan perhatian. Nanti kita akan sampai disini.

 

Tentang Status

 

Perlu ada penegasan sejak awal, bahwa FGA adalah bagian tidak terpisah dari penetapan status situs TBOS oleh Unesco sebagai WBD. Penetapan ini disusul dengan tugas pengelolaan: menjaga, memelihara dan memanfaatkannya. Konon, mengingat masih rendahnya respons semenjak ia ditetapkan, para pihak yang terhubung dengan WTBOS mengadakan kegiatan aktivasi dan penguatan ekosistem (Sudarmoko, 2023). Dengan begitu aktivasi ini menjawab sekaligus sebuah percepatan informasi sosialisasi ke berbagai pihak, menyambut peluang pemanfaatannya, dan dengan kebermanfaatan itu dibayangkan akan berkontribusi pada langkah-langkah perawatan dan pemeliharaan. FGA adalah salah satu dari usaha itu. Ia bukan festival kebudayaan biasa yang berdiri sendiri. Di atas semua apresiasi saya atas beragam karya budaya yang dihelat selama festival, membicarakan FGA adalah membicarakan status WTBOS.

 

Tetapi yang menarik untuk ditelusuri lebih lanjut adalah perihal makna yang ingin disematkan pengusung dan pemberi status pada situs TBOS, semenjak pertama kali diwacanakan setidaknya dari 12 tahun yang lalu hingga ia ditetapkan? Yang saya sebut sebagai pengusung adalah pihak yang menyusun dossier pengajuan dari tipak negara dimana situs berada, dalam hal ini adalah seluruh stakeholder yang terkait di bawah koordinasi Dirjen Kebudayaan, dan pemberi status adalah komite dari 20-an negara anggota di UNESCO. Penglihatan ini mengarah pada pusat sistem yang menjadi latar kehadiran WTBOS, bukan pada pelaku-pelaku budaya di tingkat tapak.

 

Penetapan situs WTBOS sebagai WBD (Warisan Budaya Dunia) berdiri atas dua alasan. Yang pertama karena ia bermakna menunjukkan adanya pertukaran (interchange) teknologi pertambangan yang signifikan antara Eropa dan koloninya (tidak disebutkan secara spesifik Belanda) selama paruh kedua abad ke-19 dan awal abad ke-20. Yang kedua dia dianggap sebagai an outstanding example dari rangkaian teknologi yang dirancang untuk efisiensi maksimum dalam ekstraksi sumber daya alam utama dan strategis. Dua point inilah yang menjadi framing WTBOS.

 

Pertanyaan bisa saja dikembangkan dalam hal apa interchange itu bekerja. Apakah dalam arti Eropa membangun tambang, rel kereta api dan pelabuhan di satu sisi, dan mendapatkan batu bara yang dikeruk dengan maksimum sebagai kompensasi pertukaran itu? Mungkin terdengar agak sinis, tapi monggo kita timbang-timbang. Perlu diingat, peristiwa ini berlatar era kolonialisme, yang berlangsung setelah kemenangan berdarah Belanda pada penghujung perang Padri. Ia tidak bisa dengan simplistik diartikan sebagai sebuah pertukaran biasa di pasar raya Padang atau pasar bawah Bukittinggi, atau bahkan antara Uwo Nian dengan Sutan Pamenan di pasar Ombilin 150 tahun silam sekalipun. “Pertukaran” ini terjadi dalam relasi penjajah dan yang dijajah, bukan dalam relasi setara yang bisa dibanggakan.

 

Dalam arti lain, dengan merujuk pada tujuan Konvensi Warisan Dunia UNESCO tahun 1972 perihal perlindungan, situs ini harus dilindungi, dalam pengertian dia adalah teknologi/alat produksi eksploitatif kolonial dalam mengeruk perut bumi koloninya, yang memberi arti penting pada kesejahteraan Eropa (Belanda). Arti penting global bagi umat manusia mungkin terdengar sedikit fals, karena di daerah sumber kesejahteraan itu berasal, rangkain peristiwa menghinakan kemanusiaan menjadi-jadi.

 

Alasan dan pemaknaan ini juga disitir oleh Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid (atau sebaliknya).

 

”(situs) ini menunjukkan perkembangan teknologi perintis abad ke-19 yang menggabungkan antara ilmu teknik pertambangan bangsa Eropa dengan kearifan lingkungan lokal, praktik tradisional, dan nilai-nilai budaya dalam kegiatan penambangan batubara yang dimiliki oleh masyarakat Sumatera Barat”.  Sebagai instrument, teknologi perintis Eropa barangkali terdengar begitu elok, dan mungkin bisa diterima sebagai sebuah perkembangan kemanusiaan, tapi saya tidak paham dengan frasa “bergabungnya” hal itu dengan kearifan lokal, dengan praktik tradisional, dan nilai-nilai budaya yang diargumentasikan Hilmar Farid. Tentu, melihat kehadiran teknologi itu hanya dengan menggunakan pendekatan instrumentalis saja tidaklah memadai.

 

Apapun itu, dua pemaknaan pengusung dan pemberi status atas TBOS sebetulnya ingin menegaskan “iyo sabana mantab eropa jo perkembangan teknologi no tu, karya nan adiluhung di tanah koloni, paralu dilindungi ko jo!”. Potongan kedua kalimat Dirjen sebelumnya – kemudian – tak lebih dari sekedar kato bacari

 

Apakah dengan begitu makna-makna sejarah lain di luar pemaknaan instrumental teknologi adiluhung eropa itu dinafikan oleh pengusung dan pemberi mandat? Saya kira tidak. Tidak ada – sementara ini – yang membantah sejarah koreng kolonialisme di Ombilin dan Sawahlunto, termasuk komite Unesco sekalipun. Tapi dalam konteks WBD, makna itu tidak masuk perhitungan, situs TBOS dalam kacamata WD bukan sebagai artefak sejarah dimana eksploitasi alam dan manusia pernah terjadi, sebagaimana yang dilekatkan umum selama ini, yang diingat oleh memori banyak orang dan yang diargumentasikan oleh Jaka dan Randi. 

 

Di banyak tempat pemahaman tentang Warisan Budaya, terkristalisasi selaras dengan asal usul negara-bangsa, ia terkait erat dengan proyek pembentukan identitas nasional. Apa ini artinya? 

 

Banyak contoh yang bisa ditelusuri untuk memahami dan membandingkan, mengingat telah terdapat seribuan list daftar WBD di seluruh dunia. Tapi mari lihat yang dekat-dekat saja. Di Indonesia terdapat empat Warisan Dunia, selain WTBOS, dan empat warisan dalam kategori alam. Kompleks Candi Borobudur (1991), Kompleks Candi Prambanan (1991), Situs Manusia Purba Sangiran (1996), Lanskap Budaya Provinsi Bali: Sistem Subak sebagai Manifestasi dari Filosofi Tri Hita Karana (2012) dan Sumbu Filosofis Yogyakarta (2023). Mungkin tidak akan terlalu sulit menebak bagaimana karakter situs-situs ini kuat sebagai identitas yang perlu diwarisi.

 

Lanskap budaya Bali, contohnya, terdiri dari lima kawasan persawahan terasering, hutan sebagai sumber tangkapan air, pura-pura air, aturan-aturan tertulis (awig-awig), sistem irigasi dan sistem sosial kooperatif yang mengatur air, yang kesemuanya telah membentuk lanskap Bali selama seribu tahun terakhir dan merupakan bagian integral dari kehidupan beragama. Lanskap ini luasnya mencapai 19.500 ha. Pura-pura merupakan fokus dari sistem pengelolaan air berupa kanal dan bendungan yang terintegrasi ke sawah dan rumah-rumah. Termasuk dalam lanskap ini adalah Danau Bratan, Pura Ulun danu Batur, Pura Air Taman Ayun dari abad ke-18, bangunan arsitektur terbesar dan paling mengesankan di pulau Bali. Keseluruhan lanskap Subak ini adalah manifestasi konsep filosofis Tri Hita Karana yang dijunjung tinggi masyarakatnya, yang mengatur relasi manusia dengan tuhan (roh), manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam.

 

Bilangan 2012-2013 dalam serangkaian kajian lapangan dalam melakukan penilaian sosial pasca penetapan Subak sebagai WD, saya beruntung bertemu banyak pihak. Membicarakan banyak hal tentang Subak sebagai konsep, Tri Hita Karana sebagai nilai, penetapan hingga tantangan pengelolaan WBD itu sendiri. Persoalan atau tantangan umum dalam menjaga warisan pasca penetapan – pada waktu itu – adalah masifnya alih fungsi lahan oleh kepentingan industri pariwisata. Dilema, disatu sisi WBD meramaikan pariwisata, disisi lain “menghancurkan lanskap” yang menjadi alasan keramaian itu ada (dinamisnya persoalan pengelolaan juga berlaku pada situs-situs yang lain saya kira). Namun kesan saya, kepelikan itu, kesuraman masa depan Subak misalnya, apapun itu, tidak sedikitpun menghilangkan atau mengurangi dignity pada bola mata tiap-tiap mereka atas apa yang mereka warisi. Mungkin disanalah identitas itu bersinggasana, di atas claim budaya sendiri. Identitas apa yang akan dibangun oleh Unesco di atas “karya agung” kolonial di tanah bekas koloni?

 

Pada tahun 1978, Polandia menominasikan tidak hanya pusat kota tua Krakow dan Warsawa, Tambang Garam Wieliczka dan Taman Nasional Białowieża, tetapi juga Auschwitz-Birkenau sebagai Warisan Dunia. Konon, diskusi segera muncul di dalam Komite Warisan Dunia perihal dimasukkannya – apa yang disebut – “negative historical values” dalam konsep Warisan Dunia UNESCO. Proposal Auschwitz-Birkenau diterima pada tahun 1979. Dinding benteng, kawat berduri, barak, tiang gantungan, kamar gas, dan oven kremasi – yang menjadi saksi di mana genosida Nazi atas 1,5 juta orang secara sistematis – menjadi the symbol of humanity’s cruelty to its fellow human beings in the 20th century, dia dikenang sebagai simbol kekejaman umat manusia terhadap manusia yang lain abad 20. Bandingkan dengan TBOS sebagai an Outstanding Universal Vanue (OUV). Adakah “negative historical value” menjadi pertimbangan pengusung dan pemberi mandat WTBOS?

 

Politik Prasasti dan Fabrikasi Memori

 

Diktum populer di kalangan sejarawan mengatakan bahwa sejarah adalah milik pemenang atau yang berkuasa, dan disinilah kontestasi memori menjadi politis. Jika kawan-kawan mencium aroma “normalisasi makna”, perihal mana yang harus masuk dan mana yang tidak, saya pun mencium demikian. Dan pusat penyaringan makna itu berada di badan kebudayaan utama dunia.

 

Sebelumnya sudah disinggung, bahwa Konvensi Warisan Dunia UNESCO tahun 1972 bertujuan untuk melindungi warisan budaya dan alam, yang memiliki arti penting global bagi umat manusia. Namun disinyalir para pengamat, sebagaimana jamak setiap niat baik selalu saja ada tantangannya, menunjukkan bahwa komite warisan dunia rentan terhadap politisasi, dimana proses pemilihan situs warisan semakin didorong oleh pengaruh politik negara dan kepentingan strategis nasional (Bertacchini, et al, 2012, 2016).  The Economics tahun 2010, kata Bertacchini, melaporkan bahwa badan PBB tersebut “menyesuaikan aturannya sendiri di bawah tekanan negara-negara anggotanya”. Von Droste (masih dalam Bertacchini) menunjukkan bahwa Komite Warisan Dunia didominasi oleh diplomat karir (career diplomats) dibandingkan spesialis warisan budaya, yang menghadirkan resiko bahwa aktivitas badan pengatur ini mungkin lebih banyak diatur oleh apa yang disebutnya trade-offs politik (political trade-offs) dibandingkan pertimbangan-pertimbangan profesional. Pendapat ini seiring dengan pandangan Meskell (2014), selain persoalan politik ekonomi melalui pendapatan bisnis pariwisata, ia juga dimungkinkan sebagai pion dalam hubungan internasional. 

 

Apakah bekas penjajah memiliki kepentingan untuk merubah persepsi sejarah? Mungkin saja, walaupun ini tentu sebuah hipotesa yang perlu dibuktikan. Jika tidak punya kepentingan, kenapa tidak mengimajinasikan atau menawarkan “Alam Takambang Jadi Guru dan Manifestasi Sosio-Kulturalnya”, sebagai – setidaknya – satu dari banyak heritage in danger.

 

Wilayah politik adalah wilayah abu-abu dimana semua kemungkinan dimungkinkan, entah persoalan ekonomi, politik internasional dan politik diplomasi, dan kemudian tidak juga salah mengasumsikan faktor dekonstruksi memori dalam penelaahan juga ada didalamnya. Politik dengan kuasa yang memadai adalah kekuatan manufaktur yang bisa menghancurkan sekaligus membangun apa saja. You can build anything you want, but there is nothing you couldn’t break (LEGO, 2023).

 

Bagaimanapun lanskap pertambangan di hulu, pelabuhan di hilir dan sistem transportasi yang menghubungkannya sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia. Dua makna atasnya diteguhkan di dalam pengkategorian yang ketat. Badan pengelola yang memastikan preservasi pun kiranya sudah ada. Situs, makna dan narasi yang terkategorisasi itu akan terus direproduksi kedepan oleh badan pengelola sebagaimana batasannya, untuk dilekatkan pada monumen ini. Yang akan dibaca oleh banyak orang dan diingat lintas generasi. Sebagai anti-tesis, monument TBOS masih terus memerlukan argumen-argumen teman-teman bersama, jika tidak ingin menyaksikan fabrikasi memori timpang pelan-pelan bekerja.

 

DIY, 16 Mei.

 

 

*Tulisan ini terbit bersamaan di garak.id dan roehanaproject.com 

* Pengamat budaya. Sekarang berdomisili di Yogyakarta dan bekerja sebagai penjual buah. Instagram @abdul.rahman.piliang

 

Sumber pustaka luring:

Enrico E. Bertacchini, Donatella Saccone, 2012, Toward a political economy of World Heritage Journal of Cultural Economics 2012-jun 09 vol. 36

Bertacchini, et, al, 2016, The politicization of UNESCO World Heritage Decision Making, Public Choice 2016-apr vol. 167

Meskell, Lynn (2014), States of Conservation: Protection, Politics, and Pacting within UNESCO’s World Heritage Committee, Anthropological Quarterly vol. 87




Dukung kami untuk menghadirkan cerita, dan liputan yang mendalam terkait yang terpinggirkan.

 

Silahkan klik tautan dibawah ini.