Perbincangan Menjelang Senja Bersama Ko Cun, Pemilik Kedai Limun Tua di Padang

Oleh Putri JE Wanggay

2 Maret 2023

Kakek buyut Cun adalah salah satu pedagang rokok. Buyutnya ini pernah kembali ke Tiongkok karena sempat mengalami penjarahan, pria berbadan gemuk ini tidak tahu kapan tahun tepatnya. Namun tak lama kemudian buyutnya kembali ke Kota Padang karena tidak betah berada di kampungnya. Lantas dia kembali ke Padang dengan modal bantuan dari keluarga yang ada di Medan yang kemudian digunakan untuk jadi penjual rokok.

Pada sebuah sudut Kota Padang. Antara gedung-gedung tua peninggalan Belanda wilayah Pondok Kecamatan Padang Selatan terdapat kedai berwarna hijau tua dengan papan nama kuning betuliskan Perusahaan limun dan sirup Eng Djoe Bo Baru.

Ruangan kedai itu penuh asap rokok dan pengunjung yang kebanyakan laki- laki. Mereka memesan limun atau kopi bir sambil bercakap-cakap. Selain percakapan mereka akan terdengar sayup-sayup suara perempuan menyanyikan lagu Mandarin dari pemutar suara di dapur. Usaha ini milik Cun yang berbadan tambun dan selalu tersenyum meskipun matanya yang sipit kian mengecil.

Kursi-kursi kedai berada di atas meja dengan kondisi terbalik. Meja-meja pun rapat ke dinding bagian kanan kedai. Ada dua meja dan beberapa kursi sudah terisi pengunjung dan pemilik kedai. Meja-meja itu dipenuhi botol- botol bir Bintang berisi limun dan kopi soda serta gelas- gelas yang hampir kandas isinya.

Saya berjalan memasuki kedai ini dan terdengarlah pembahasan Ko Cun dan tiga pengunjung. Mereka tengah membahas Cap Go Meh yang baru dirayakan beberapa hari lalu. Dibalik percakapan mereka terdengar sayup- sayup suara perempuan menyanyikan lagu berbahasa mandarin dari pemutar suara di dapur

Terlihat dari ornamen-ornamen yang ada di bagian belakang kedai Ko Cun yang juga menjadi dapur. Pada dinding bagian belakang kedai tergantung tiga pigura berukuran A2, sebelah kiri terdapat gambar Sun Wukong bersama naga dan harimau, pada bagian tengah gambar Dewi Kwan Im dan bagian kanan gambar tiga Ksatria Tionghoa.

Pada sisi lain ada lemari berisi gelas-gelas berukiran khas Tiongkok, botol-botol bir Bintang bersama gelas kaca dan gelas kaleng. Tersusun miniatur Budha di atas kulkas, Dewi Kwan Im, Harimau, Sun Wukong, lilin yang menyala dan lainnya. Sudut kanan ruangan tergantung kalender- kalender tahunan Tionghoa. Kedai ini berupa ruko satu ruangan yang bagian kanannya menjadi garasi dan ruang lainnya adalah tempat tinggal bersama keluarga.

Nama Cun sebenarnya adalah Fredianto. Namun hampir semua orang memanggilnya Cun. Saya menambahkan Ko karena lebih tua dari saya. Dia tinggal di kedai yang berdiri di kawasan pondok itu. Sebab itu juga tempat tinggalnya bersama keluarga.

Kakek buyut Cun adalah salah satu pedagang rokok. Buyutnya ini pernah kembali ke Tiongkok karena sempat mengalami penjarahan, pria berbadan gemuk ini tidak tahu kapan tahun tepatnya. Namun tak lama kemudian buyutnya kembali ke Kota Padang karena tidak betah berada di kampungnya. Lantas dia kembali ke Padang dengan modal bantuan dari keluarga yang ada di Medan yang kemudian digunakan untuk jadi penjual rokok.

Entah mengapa keluarga Cun kemudian berhenti jadi pedagang rokok dan beralih ke bisnis minuman seperti limun, kopi, kopi soda dan sirup. Produk limun Eng Djoe Bo merupakan warisan keluarganya.

Ornamen relijius di kedai Ko Cun
Ornamen kedai Ko Cun terkait kepercayaannya.

Produk limun Eng Djoe Bo didirikan oleh kakeknya. Cun tidak tau kapan tepatnya. Setahunya bisnis ini dibangun sejak masa penjajahan Belanda. Untuk kedai yang dia tempati saat ini dibuka oleh papa-nya pada tahun 1972. Limun dan Sirup Eng Djoe Bo ini sudah dijalankan selama tiga generasi dan lebih dari 70 tahun.

Cun adalah generasi yang tidak lagi menggunakan bebahasa Mandarin. Ibunya yang terakhir berbahasa Mandarin dalam keluarganya. Kebanyakan Tionghoa Padang memang sudah tidak berbicara dalam bahasa Mandarin.

Cun dan orang Tionghoa Padang lainnya menggunakan bahasa Minang tetapi dengan dialek yang berbeda. Penggunaan bahasa ‘Pondok’ dikalangan ini membawa dampak positif secara sosial bagi keberadaan mereka di tengah masyarakat Minangkabau. Didukung oleh penggunaan bahasa yang sama, kondisi ini membuat tradisi silaturahmi berjalan dan menjadikan etnis Tionghoa tidak merasa asing.

Pria ini beranjak dari tempat duduknya dan menurunkan dua kursi untuk saya dan kawan. Tak lama, kami pun ikut bergabung dalam obrolan, penuhlah dua meja yang tersisa dan gelas- gelas di atas meja kini kembali penuh dengan kopi soda. Di luar langit masih terang dan di depan kedai terlihat dua anjing kampung berbulu coklat melihat seperti sedang mendengarkan perbincangan kami. Ada sedikit kekecewaan terhadap perayaan Cap Go Meh yang terlambat dimulai, ditambah hujan yang mengguyur dari sore sampai malam.

Cap Go berarti ‘15’ dan Meh berarti ‘malam’ dari bahasa Tiu Ciu (dialek Hokkien). Perayaan ini berarti dilakukan pada malam ke-15 setelah tahun baru dalam kalender Tionghoa dan momen orang untuk bersyukur serta menghusir kesialan di masa mendatang. Puncak perayaan Festival Cap Go Meh di kota Padang adalah saat perarakan dua Sipasan dari organisasi Himpunan Tjinta Teman (HTT) dan Himpunan Bersatu Teguh (HBT) bersama Kio sembilan marga, ditambah beberapa pertunjukan dari berbagai kebudayaan yang ada di Sumatra Barat.

Sepanjang parade tanggal 5 Februari itu diguyur hujan. Arak-arakan sepanjang 3,8 km itu harus menempuh tumpahan air dan udara yang dingin. Cun tertawa. Dia mengatakan sipasan memang selalu mencari air hujan dan seperti kebetulan pawai itu diguyur hujan.

Sipasan adalah tandu berkepala naga dan berbadan kursi papan, sipasan dinaiki sekitar 30 anak dan diangkat oleh orang dewasa. Menurut Albert, anggota DPRD Kota Padang yang berasal dari etnis Tionghoa, Sipasan hanya ada di Taiwan dan Padang.

Festival hari itu menyatukan orang- orang Tionghoa Padang yang sebelumnya memang sudah memiliki kongsi- kongsi kecil hingga organisasi seperti HTT dan HBT, hanya saja beberapa fungsi dari kongsi- kongsi ini sudah tidak dijalankan. Mereka berkumpul dan berkunjung ke klenteng tua Padang.

Kelenteng See Hien Kiong sekarang ini merupakan bangunan yang baru. Pembangunannya dimulai tahun 2010 dan diresmikan 30 maret 2013. Sedangkan bangunan lama dibangun pada tahun 1841. Namun karena kebakaran tahun 1861 kelenteng ini rusak. Ia dibangun kembali tahun 1893 dan diresmikan pada 1897 namun runtuh di tahun 2009 akibat gempa.

See Hien Kiong adalah satu- satunya klenteng di Ranah Minang. Teman-teman Tionghoa yang berada di pedalaman Sumatra Barat, Riau, Jambi, Kepulauan Riau sampai Sibolga dominan berasal dari keluarga Hoakiau (Tionghoa perantauan) dari Padang. Dia terkesan dengan kekerabatan para Hoakiau dari Padang ini, mereka masih melaksanakan kebudayaan berkumpul orang Tionghoa.

Dekat mencari induk, jauh mencari suku, mungkin saja jumlah mereka tidak sebanyak jumlah orang Tionghoa di Padang maka itu mereka masih saling berkumpul.

Tidak hanya Kelenteng, kungfu sebagai ilmu bela diri juga sudah tidak lagi diajarkan. Ko Cun mengingat, dulu sempat ada pelatihan kungfu bagi anak- anak Tionghoa Padang, hanya saja pada tahun 2019 pelatihnya meninggal dunia. Menariknya guru kungfu ini orang Minang dan diberikan kesempatan untuk belajar kungfu ke Negeri Tiongkok kemudian melatih anak- anak keturunan Tionghoa di Padang. Dia tidak terlalu mengetahui tentang perkembangan kungfu ini lagi yang dia tau kungfu sudah tidak diajarkan kepada anak- anak tetapi mereka diajarkan karate.

Erniwati, penulis buku Tionghoa Padang, menguraikan tentang bagaimana lokalitas Padang dan masyarakat Minangkabau memberikan ruang bagi mereka untuk tetap bisa mengekspresikan budaya dan adat istiadat leluhur. Melalui keberadaan lembaga sosial, budaya dan kematian yang telah berumur ratusan. Karena itu identitas ke-Tionghoa-an masih bisa dijaga dari generasi ke generasi. Walaupun tidak mengerti dan memahami bahasa Tionghoa lagi, Erniwati berpendapat mereka adalah penganut budaya leluhur yang kental dibandingkan dengan kerabat di kota besar lainnya.

Itulah yang membuat Cun masih menganut agama tradisionalnya yang dikenal dengan tiga ajaran, yaitu Budha, Tao dan Konfusius (Kong Hu Cu) atau disebut juga Tri Dharma atau Sam Kauw Hwe. Seperti yang kita ketahui saat Tao dan Kong Hu Cu menjadi ajaran yang dilarang di Indonesia, banyak dari mereka pindah ke agama Budha, Kristen, Katolik dan Islam. Hanya sedikit yang masih menganut ajaran Tao dan Kong Hu Cu. Sebab ketika berumur 17 tahun Kartu Tanda Pengenal mereka tertulis salah satu agama yang disahkan pemerintah dan kebanyakan Katolik atau Budha pada masa Orde Baru.

Jumlah penganut Tao dan Kong Hu Cu di Padang sulit diketahui karena aktivitas kepercayaan dilakukan secara individu dan tidak terkoordinir. Berangkat dari laporan Erniwati yang melihat hasil sensus tahun 2000, diketahui bahwa umat Budha di Padang berjumlah 7.000 orang, namun yang aktif ke Vihara Budha Warman sekitar 20-25 %. Erniwati memperkirakan sekitar 800 orang dari penganut agama Budha adalah penganut ajaran Tao dan Kong Hu Cu. Jumlah ini dia peroleh melalui hasil pengamatan dan menghitung jumlah hio yang digunakan oleh etnis Tionghoa sewaktu sembahyang di Klenteng See Hien Kiong ketika malam tahun baru atau perayaan hari besar lainnya. Bisa saja ko Cun masuk dalam pengamatan ini.

Poster di kedai Koh Cun/ Je Wanggay
Poster di Eng Djoe Bo Baru/ Je Wanggay

Cun menjalani hidupnya sebagai pedagang, begitu juga dengan keluarganya. Tidak jauh berbeda dengan orang Minangkabau yang terkenal dengan jiwa dagangnya. Hal ini menjadikan etnis Minangkabau dan etnis Tionghoa sebagai dua kelompok yang banyak menggerakkan perekonomian kota Padang. Bahkan di kota- kota lain kedua etnis ini banyak juga menjadi pedagang.

Langit kota Padang yang lebih lambat menggelap membuat kami terkecoh dengan waktu, kami para pengunjung terakhir melakukan pembayaran dan berpamitan. Kalau tidak melakukan pembayaran kami sudah seperti kawan lama yang sedang bertamu ke rumah penjual limun ini. Bercerita tanpa ingat waktu. Kami harus segera kembali ke rumah masing- masing. Walaupun sudah beranjak dari kursi, masih ada saja topik yang kami bahas. Meskipun begitu Kami tetap melangkahkan kaki keluar dari kedai tua ini, Ko Cun mengantarkan kami.

Kami masing- masing menaiki kendaraan kami yang berada di sisi- sisi gang kecil ini. Pria yang suka mengobrol itu masih berdiri di tempatnya melihat kepergian kami. Kami pun meninggalkan kedai kecil di dalam gang ini. Saya berkendara ke arah Klenteng, melalui gang di samping gedung HBT yang posisinya membelakangi kedai Eng Djoe Bo. Saya menikmati suasana Pondok yang kental dengan budaya negeri tirai bambu ini mulai dari arsitektur bangunan, rumah-rumah marga, Klenteng, dominasi orang Tionghoa yang lalu lalang dan lampion- lampion merah yang tergantung di halaman bangunan- bangunan disepanjang jalan.

Pondok dengan bangunan-bangunannya yang mengikuti feng sui menghadap ke sungai, gunung atau bukit dan laut. Posisi kampung Tionghoa menghadap ke Batang Arau, Bukit Gado- gado dan Gunung Padang, serta laut Samudra Hindia memiliki makna yang dalam. Tak ada yang tau kapan persisnya mereka mendatangi ranah minang, hanya saja Erniwati di tahun 2011 mencatat sudah hidup delapan generasi orang Tionghoa di Padang.

Begitulah sekilas obrolan saya dengan Ko Cun tentang Orang Tionghoa di Padang. Kota yang sebenarnya memiliki keberagaman penduduk sejak lama. Kota yang maju perekonomiannya tapi tidak terlalu terlihat pembangunannya.

Kopi untuk Penulis

Jika tertarik membaca tulisan dari penulis dan ingin memberikannya dukungan. Silahkan klik dibawah ini agar penulis lebih bersemangat untuk menulis lagi.

Click Here

Dukung kami untuk menghadirkan cerita, dan liputan yang mendalam terkait yang terpinggirkan.

 

Silahkan klik tautan dibawah ini.