Image by pikisuperstar on Freepik

Caraku Sebagai Perempuan Bali Beragama Hindu Kelahiran Padang Memandang Patriarki Saat Pulang Kampung 

 

Oleh: Ni Putu Eka Budi P.W.D

19 Maret 2023

Perempuan Bali punya didikan berbeda dengan laki-laki. Norma-norma menuntut mereka agar menjadi pribadi yang kuat. Mereka melakoni hampir semua pekerjaan. Seperti melakukan pekerjaan domestik rumah, mencari nafkah, mengurus anak dan membuat sarana upacara keagamaan. Jarang sekali terlihat, mereka merawat diri. Mereka berpenampilan seadanya. Uang yang mereka miliki lebih baik digunakan untuk kebutuhan hidup keluarga. 

 

Aku adalah perempuan Hindu Bali yang lahir di Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat. Tidak pernah terbayangkan bagiku, Sumatera Barat menjadi tempat kelahiranku. Tidak lain tentunya karena penempatan kerja bapak yang dipindahkan ke Kota Padang, Sumatera Barat. Sebagai perempuan Hindu minoritas, hidupku dipenuhi banyak tantangan termasuk mempertahankan identitas di tengah penduduk mayoritas. 

Aku tidak pernah membayangkan bagaimana kehidupan masyarakat di Bali seutuhnya. Sebab jarang pulang kampung, lokasinya juga sangatlah jauh dari Padang. Tak ayal bapakku harus mengumpulkan uang bertahun-tahun agar sekeluarga bisa pulang ke kampung. 

Desember tahun lalu aku dan keluarga memutuskan pulang ke kampung. Deburan ombak di pesisir pantai Bali memecah lamunanku yang masih tertuju pada kultur Bali. Beberapa waktu lalu, aku pernah menuliskan refleksi yang berkaitan dengan budaya patriarki, dan merongrong kehidupan perempuan di Bali. Aku membaca novel Tarian Bumi milik Oka Rusmini yang membahas tentang isu feminisme serta implikasi permasalahannya.

Novel Tarian Bumi menceritakan bentuk-bentuk ketidakadilan yang dialami perempuan Bali terutama masalah kasta. Dari tokoh novel itu kita bisa melihat kesenjangan kasta yang sangat kentara. Terdapat dua macam diskriminasi yaitu kasta dan gender. Contoh dari diskriminasi kasta yaitu perempuan berkasta tinggi (contoh: tokoh Telaga) tidak boleh menikahi pria berkasta rendah. Ada beberapa aturan yang wajib Telaga taati  seperti, perempuan bangsawan harus bisa mengontrol emosi, menunjukkan kewibawaan dan ketenangan. Aturan ini wajib dan mengikat. 

Arti dari ‘pendiskriminasian kasta’ lainnya bisa kita pahami melalui kutipan kalimat berikut. 

Kelak, kau harus menikah dengan laki-laki yang memakai nama depan Ida Bagus. Kau harus tanam dalam-dalam pesanku ini. Sekarang kau bukan anak kecil lagi. Kau tidak bisa bermain bola lagi. Kau harus mulai belajar menjadi perempuan keturunan Brahmana. Menghapal beragam sesaji, juga harus tau bagaimana mengukir janur untuk upacara. Pegang kata-kataku ini, Tugeg. Kau mengerti?” 

Perempuan dengan beban kasta-nya menjadikan tokoh Telaga harus bisa melakukan pekerjaan yang sepatutnya untuk dikerjakan. Tuntutan sosial masyarakat yang mengungkung kehidupan Telaga justru membuatnya meragukan kehidupannya kelak. Ia mulai mempertanyakan peran laki-laki dimana dalam hal ini yaitu Bapaknya sendiri. 

Kutipan kalimat berikut mencerminkan maksud dari omongan Telaga.

Laki-laki yang memiliki Ibu adalah laki-laki paling aneh. Dia bisa berbulan-bulan tidak pulang. Kalau di rumah, kerjanya hanya metajen, adu ayam, atau duduk-duduk dekat perempatan bersama para berandalan minum tuak, minuman keras.” 

Dari kutipan kalimat novel tersebut, kita bisa mengartikan bahwa tokoh Telaga telah merasakan adanya ketidakadilan gender. Aktivitas laki-laki Bali tidak jauh dari kegiatan menyabung ayam dan minum tuak. Tidak ada yang spesial. Tetapi karena aku tinggal di Padang, aku tidak bisa mengamatinya secara langsung. Hanya untaian kalimat yang memicuku untuk melihat fenomena tersebut saat aku pulang kampung. 

Ya, ternyata benar saja. Aku melihatnya dengan mata kepalaku. Di kiri-kanan jalan saat aku melewati jalan desa, banyak kutemukan sosok laki-laki yang sudah berjudi dan minum tuak. Itu terjadi pada pagi hari. Aku sampe berpikir, “Apa tidak ada pekerjaan lain yang bisa dilakukan oleh laki-laki selain melakukan hal yang tidak berguna itu?”

Hal ini justru berbanding terbalik dengan perempuan yang sudah bekerja keras sebelum matahari terbit. Mereka membawa dan menjual hasil ladangnya di pasar desa. Mencari pundi-pundi rupiah menjadi aktivitas keseharian mereka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tak sedikitpun aku dengar mereka mengeluarkan kata-kata yang berkonotasi ‘keluhan’. Hal ini ternyata juga tercantum dalam kutipan kalimat dalam novel Tarian Bumi sebagai berikut.

Perempuan Bali itu, Luh, perempuan yang tidak bisa mengeluarkan keluhan. Mereka lebih memilih berpeluh. Hanya dengan cara itu mereka sadar dan tahu bahwa mereka masih hidup. Keringat mereka adalah api. Keringat itulah asap dapur bisa tetap terjaga. Mereka tidak hanya menyusui anak yang lahir dari tubuh mereka. Mereka pun menyusui laki-laki. Menyusui hidup itu sendiri.”

Perempuan Bali punya didikan berbeda dengan laki-laki. Norma-norma menuntut mereka agar menjadi pribadi yang kuat. Mereka melakoni hampir semua pekerjaan. Seperti melakukan pekerjaan domestik rumah, mencari nafkah, mengurus anak dan membuat sarana upacara keagamaan. Jarang sekali terlihat, mereka merawat diri. Mereka berpenampilan seadanya. Uang yang mereka miliki juga lebih baik digunakan untuk kebutuhan hidup keluarga. 

Mungkin saja persepsiku yang menyamaratakan perempuan Bali adalah salah. Secara apa yang aku lihat, mereka memang terkenal sebagai perempuan yang hebat. Aku ingin sekali mengeksplor hal ini secara lebih jauh tetapi bahasa menjadi kendalanya. Aku tidak bisa berkomunikasi menggunakan bahasa Bali. Notabenenya, aku besar dalam keluarga yang tidak menggunakan bahasa Bali — lidahku terbiasa memakai bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari. Lahir dan besar pun aku di Padang. Tidak mengapa, setidaknya aku mengerti apa yang mereka bicarakan. 

Saat ibuku mengobrol dengan salah satu saudara jauhnya, ia mengutarakan hal yang menjengkelkan dari sang suami. 

Di rumah, suami tidak mau membantu pekerjaan istri. Bahkan gendong anak saja susah. Makanya cucu tidak ada yang dekat. Sampai sekarang menikah, tidak pernah sekalipun ia menyapu. Lebih baik hidup sendiri-sendiri.

Kalau kita artikan secara keseluruhan, memang pendidikan internal di ruang lingkup keluarga perlu untuk dibenahi. Pendidikan Laki-laki dan perempuan harus setara. Pekerjaan domestik adalah pekerjaan untuk laki-laki maupun perempuan. Penerapan feminisme harus ada sehingga kedepannya tidak terjadi lagi ketimpangan gender. 

Jika ada yang bertanya soal pendapat pribadi mengenai keinginanku untuk tinggal di Bali, aku justru berkata tidak ingin. Sistem patriarkis dan kesenjangan gender masih mengakar kuat di Pulau Dewata tersebut. Berbagai stereotip perlu diluruskan.

Apalagi kalau membahas soal pernikahan. Pernikahan sentana dan pada gelahang masih sangatlah kontroversial. Keluarga yang memiliki anak tunggal atau tidak memiliki anak laki-laki, sangat sulit untuk mencari pasangan. Dengan sistem patrilineal, derajat laki-laki selayaknya harus lebih tinggi dari perempuan. Pernikahan sentana justru sebaliknya. Kedudukan istri naik sebagai purusa, dan suami sebagai pradana. Cemoohan dan ejekan pada laki-laki yang dianggap sebagai paid bangkung membuat mereka tidak ingin menjalani pernikahan sentana. Setidaknya ada jalan tengah seperti pernikahan pada gelahang. Sistem pernikahan ini malah justru membingungkan. Kedudukan anak dan hak waris justru tidaklah kuat. 

Di Bali aku juga melihat sesuatu yang tidak biasa. Selama tinggal di Padang, aku bersama keluarga berperan sebagai penduduk minoritas. Saat tinggal di Bali, justru sebaliknya. Keluarga melihat penduduk berjilbab terasa begitu asing. Hanya ada satu dua orang. Mama pun berkata demikian, “Eh baru ngelihat, ada pedagang Muslim disini.” Sejenak kami lupa kalau kami juga minoritas di daerah asal daerah kami. Tetapi, penduduk setempat sangat menghargai keberadaan mereka. Toleransi dan kerukunan terlihat di Pulau Dewata ini. 

Sejauh ini pengalaman tinggal di Bali sangatlah menyenangkan. Walaupun kami merasa letih dengan upacara adat tetapi, kampung halaman menjadi tempat yang akan selalu kami rindukan. Semoga di lain kesempatan, aku bisa melakukan riset di daerah terpencil Pulau Bali!

Traktir Penulis

Jika tertarik membaca karya penulis ini dan ingin memberikannya dukungan.

Silahkan klik tautan dibawah ini agar penulis lebih bersemangat dan produktif.

Click Here

Dukung kami untuk menghadirkan cerita, dan liputan yang mendalam terkait yang terpinggirkan.

 

Silahkan klik tautan dibawah ini.