Penanganan Kasus Kekerasan Seksual Sumatera Barat Harus Jadi Prioritas

Penanganan Kasus Kekerasan Seksual Sumatera Barat Harus Jadi Prioritas

Roehana Project – Sumatera Barat yang dikenal dengan filosofi Adat Basandi Syara’ (ABS), Syara’ Basandi Kitabullah (SBK) yang mana filosofi ini selalu digaung-gaungkan, tentu saja filosofi ini akan menggambarkan bagaimana etika dan perilaku masyarakat Sumatera Barat. Pada realitanya filosofi ini hanya digaungkan, tapi tidak ditanamkan dalam kehidupan sehari-hari. Kritik ini bukan untuk menjatuhkan, tapi merefleksikan bersama bahwa itulah realitas kehidupan masyarakat Sumatera Barat saat ini. Fakta-fakta tentang ketertindasan perempuan mulai muncul kepermukaan. Perempuan mengalami berbagai bentuk kekerasan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, perdagangan seksual untuk tujuan prostitusi dan banyak lagi yang lainnya.

Pendataan kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan ke Nurani Perempuan dari Januari hingga November 2022 ada sebanyak 94 korban, sebanyak 51 korban merupakan korban kekerasan seksual, 38 korban merupakan korban KDRT, 2 korban merupakan korban penganiayaan, 2 korban merupakan korban perundungan/ bully dan 1 korban kekerasan dalam berpacaran.

Berdasarkan data diatas, ternyata kasus kekerasan seksual berada pada posisi paling tinggi yaitu 51 korban, dari jumlah tersebut bentuk-bentuk kekerasan seksual yang dilaporkan itu diantaranya perkosaan sebanyak 21 korban, pelecehan seksual fisik dan non fisik 21 korban, sodomi sebanyak 2 korban dan kekerasan berbasis elektronik (KBGO) sebanyak 7 korban. Dari keseluruhan korban kekerasan seksual ini, sebanyak 30 korban merupakan korban usia anak (0-17) dan 21 korban merupakan usia dewasa (18+).

Nurani Perempuan juga menemukan kasus kekerasan seksual yang dilaporkan ke Nurani Perempuan tidak selalu bermuara ke kepolisian. Apalagi untuk korban usia dewasa, korban akan mengalami victimisasi dan selalu disalahkan sehingga memilih untuk diam dan tak ingin melapor ke kepolisian. Seharusnya tindakan menyalahkan korban tidak terjadi karena banyak penderitaan yang diterima. Kenapa selalu korban yang disalahkan? Namun hal itu yang masih membudaya dalam menangani kasus-kasus kekerasan seksual, sehingga sulit bagi korban untuk memperjuangkan keadilan bagi dirinya. Apalagi ketika yang menjadi pelaku adalah pejabat publik, dosen, TNI, dan pihak-pihak yang memiliki kuasa yang lebih kuat sehingga menjadikan kekuasaan mereka untuk menguasai korbannya sebagai budak seksual yang kapan pun bisa mereka paksa.

Pelaporan kasus kekerasan seksual saat ini juga masih sulit, terlebih korban selalu dibebankan pembuktian terlebih dahulu sebelum dibuatkan laporan polisi, dan atau kepolisian membuat mekanisme dumas (pengaduan masyarakat) dalam hal penerimaan kasus kekerasan seksual yang sebenarnya ini bertentangan dengan aturan yang berlaku. Hal ini tentunya semakin mempersulit penanganan kasus kekerasan dikepolisian.

Dalam UU TPKS satu keterangan saksi dan/atau korban dan barang bukti sudah cukup untuk menentukan dakwaan terhadap seseorang, adapun alat bukti yang sah yang dimaksud yaitunya keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan Terdakwa, alat bukti lain seperti informasi dan/atau dokumen elektronik yang diatur dalam perundang-undangan ini. artinya jika adanya laporan mengenai kekerasan seksual dan dilaporkan sendiri oleh korban dengan tidak membawa bukti atau saksi tidak serta merta tidak bisa dilakukan upaya penegakan hukum, karna pembuktian seyogyanya bukanlah dibebankan sepenuhnya kepada korban, pihak yang berwenang dapat melakukan pemanggilan terhadap terlapor dan memperoleh keterangan darinya.

LBH Padang yang merupakan Organisasi Bantuan Hukum di Sumatera Barat, cukup punya pengalaman juga dalam melakukan penegakan hukum untuk kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan khususnya kekerasan seksual. LBH Padang menemukan bahwa masih lemahnya penegakan hukum kasus kekerasan seksual di Sumatera Barat. Hal ini dilihat dari beberapa kasus kekerasan seksual yang didampingi. Salah satunya di tahun 2022 ini LBH Padang bersama Nurani Perempuan juga sedang memperjuangkan satu perkara pelecehan seksual terhadap anak disabilitas intelektual yang pelakunya diputus bebas oleh hakim PN Padang dengan nomor perkara 34/Pid.Sus/2022/PN Pdg . Tentu saja ini menjadi sejarah buruk penanganan kasus kekerasan seksual di Sumatera Barat. Putusan ini sarat akan logika hukum yang salah dan tentunya sangat menciderai rasa keadilan pada korban anak dan keluarganya, terlebih pada masyarakat pada umumnya.

Setidaknya juga ada 5 kasus DPO pelaku kasus kekerasan seksual yang didampingi dan sampai saat ini tidak jelas mekanisme penangkapan pelaku bagaimana, beberapa diantaranya keluarga korban selalu melakukan update keberadaan pelaku, namun lambannya kepolisian membuat pelaku berhasil untuk kabur.

Pemerintah telah mensahkan UU TPKS pada bulan Mei 2022 lalu. Ini merupakan hasil dari perjuangan panjang para aktivis dalam mengadvokasi hadirnya kebijakan yang menjawab kebutuhan korban kekerasan seksual. Keadilan, perlindungan, pemulihan dan ketidak berulangan kekerasan menjadi bagian penting bagi korban kekerasan seksual.

UU TPKS hadir untuk menjawab itu, beberapa hal yang dapat dilihat diantaranya; pertama, adanya peran lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat dalam proses pendampingan dan perlindungan korban kekerasan seksual, sehingga pemerintah harus memastikan kehadiran penyedia layanan berbasis masyarakat dalam pembentukan Pusat Layanan Terpadu. Kedua, adanya dana bantuan bagi korban kekerasan seksual yang merupakan dana kompensasi negara kepada korban tindak pidana kekerasan seksual, sehingga ada dukungan bagi korban dalam menjalani proses penanganan perkara kekerasan seksual. Ketiga, adanya ketentuan yang mewajibkan aparat penegak hukum untuk menggelar penyidikan dan proses hukum lain tanpa menimbulkan trauma bagi korban. Keempat, adanya ketentuan yang melarang pelaku kekerasan seksual untuk mendekati korban dalam jarak dan waktu tertentu selama berlangsungnya proses hukum. Ketentuan ini menjadi ujung tombak keselamatan korban, agar korban aman dan tidak harus melarikan diri dari pelaku. Kelima, adanya ketentuan tentang hak korban, keluarga korban, saksi, ahli dan pendamping. Hal ini merupakan upaya untuk memastikan pemenuhan hak korban dalam mendapatkan keadilan dan pemulihan, sekaligus memberikan perlindungan bagi keluarga, saksi, ahli dan pendamping korban.

Kehadiran UU TPKS akan semakin meningkatkan kesadaran masyarakat untuk melapor, apalagi jika sosialisasi UU ini dilakukan secara masiv disemua lini. Dari data Nurani Perempuan terlihat bahwa kekerasan seksual tidak hanya terjadi di rumah tetapi juga terjadi di ruang publik. Sehingga semua orang perlu mendapatkan pengetahuan dan pemahaman UU TPKS ini, agar kesadaran masyarakat terus meningkat.

 

Siaran Pers Bersama
Nurani Perempuan WCC dan LBH Padang Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan

Dukung kami untuk menghadirkan cerita, dan liputan yang mendalam terkait yang terpinggirkan.

 

Silahkan klik tautan dibawah ini.