Perkakas dan peralatan masak rumah tangga/ WikipediaCommons/Goten444

Menjadi Bapak Rumah Tangga Itu Biasa Saja

Penulis: A Muawal Hasan*

Barangkali tidak dalam waktu dekat. Tapi semoga di masa depan kita bisa memandang bapak rumah tangga sebagai status yang biasa-biasa saja. 

 

Saya selalu ingat momen bersitegang dengan nenek saya–biasa dipanggil Uti–karena menolak membungkus telur, cabe, dan bawang.

 

Kejadiannya kira-kira lima tahun yang lalu. Pada suatu pagi, tiba-tiba saya ingin memasak nasi goreng. Namun, bahan dan bumbunya tidak lengkap. Oleh sebab itu saya jalan kaki ke rumah Uti, yang berjarak kurang lebih 50 meter melewati jalan utama kampung.

 

Uti langsung mempersilahkan saya untuk mengambil apapun yang saya butuhkan di dapurnya. Kebetulan dia juga sedang memasak sarapan.

 

Nah, kedua tangan saya kini menggenggam dua butir telur, tiga buah cabe rawit, dan tiga siung bawang putih. Saya ucapkan terima kasih pada Uti, lalu pamit. Baru beberapa langkah, tiba-tiba Uti memanggil sambil menyodorkan kantong plastik:

 

“Wal, itu diwadahi kresek dulu!”

“Ndak usah Mbah, aman kok,” kata saya, yang memang berusaha mengurangi penggunaan kantong plastik.

“Eehh, ora ilok (tidak pantas), ini kreseknya, malu sama orang-orang!”

 

Saya bersikukuh menolak. Tapi Uti juga terus memaksa. Adu argumen terjadi selama satu menit. Bu Lik sampai harus menengahi, dan akhirnya saya menyerah. 

 

Sambil memasak nasi goreng, saya masih tak habis pikir: apa yang memalukan dari pria dewasa yang terlihat membawa bumbu dapur? 

 

Kemudian saya ingat: Uti pasti meyakini pembagian peran antara laki-laki yang bertugas mencari nafkah, dan perempuan mengurus urusan domestik–salah satunya perkara dapur. 

 

Tak hanya meyakini, Uti juga mempraktekkannya secara kaku. Jadi, ketika saya mengurus urusan dapur, dan terlihat secara jelas di ruang publik, Uti khawatir kelelakian saya tercoreng. Ia takut maskulinitas saya drop sekian persen, setidaknya di mata warga desa yang kala itu sedang bersiap ke tempat kerja sambil mengantar anak sekolah.

 

Uniknya, dia tidak pernah mempermasalahkan hobi memasak saya. Mungkin karena saya melakukannya di ruang privat. Sedangkan membawa telur, cabe dan bawang di jalanan kampung ia anggap sebagai aib.

 
Pasar Angso Duo Kota Jambi 2017
Pasar Angso Duo Kota Jambi 2017/roehanaproject/Jaka HB

Siapa itu Bapak Rumah Tangga?

Kini saya sudah menikah selama lebih dari tiga tahun. Saya penasaran, apakah Uti akan kaget jika tahu saya terbiasa melakukan pekerjaan rumah? Bahwa salah satu cita-cita saya adalah menjadi bapak rumah tangga, dan sekarang mulai mempraktekkannya?

 

Oke. Jadi apa itu bapak rumah tangga? 

 

Bayangkan seorang ibu rumah tangga, tapi laki-laki. Seorang suami yang tugas utamanya menyapu, mengepel, memasak, belanja, cuci-jemur pakaian, hingga mengurus anak.

 

Pertanyaannya: apakah harus dijalankan secara penuh, atau sambil mencari nafkah? 

 

Saya kira pendefinisiannya tidak perlu kaku. Dalam kasus saya, misalkan. Sejak awal menikah saya berlatih jadi bapak rumah tangga sambil tetap bekerja. Saya baru menjalankan peran itu secara penuh setelah kantor mem-PHK saya pada bulan Desember 2023.

 

Sekarang tugas saya sehari-hari adalah menyiapkan makan siang dan makan malam, mencuci peralatan makan dan memasak, membersihkan bagian rumah yang mulai kotor, mengurus pakaian yang sedang dicuci, dijemur, untuk nanti disetrika, sesekali berbelanja sembako, membeli galon, mengurus tanaman hias, dan belakangan juga memastikan parit depan rumah tidak mampet (maklum, musim hujan). 

 

Jika ditanya kenapa saya mau melakukannya? Saya punya dua tipe jawaban.

 

Jawaban pertama cukup straightforward: istri saya bekerja dalam durasi yang amat panjang. Dalam sehari dia bisa menghadap laptop selama 10-12 jam. Durasi kerja saya lebih singkat. Jadi saya lebih punya banyak waktu untuk menggarap pekerjaan rumah–apalagi di posisi menganggur. Rasional, kan?

 

Jawaban kedua mungkin lebih “mbulet”, tapi penting untuk didiskusikan: why not? Kenapa tidak? 

 

Bagi saya justru lebih urgent membedah alasan laki-laki yang tidak mau menjadi bapak rumah tangga. Peran ini tidak membuat harga diri saya jatuh. Barangkali karena saya terbiasa membebaskan diri dari tekanan sosial.

 

Bapak Rumah Tangga itu Bukannya Mokondo

 

Oh iya, bapak rumah tangga beda dengan mokondo (modal kont*l doang) ya. Spesies laki-laki yang menganggur tapi tidak mengurus anak atau rumah (ini boleh kita shaming bareng-bareng, hahaha).

 

Menurut para ahli, peran bapak rumah tangga justru memperkuat ketahanan keluarga. Alasannya, fleksibilitas pembagian peran membuat keluarga lebih adaptif terhadap perubahan.

 

Ini berangkat dari pola pikir bahwa mencari nafkah dan mengurus rumah sama-sama pentingnya. Tak ada yang lebih remeh, atau lebih prestisius. Maka siapapun dapat mengerjakan apapun. Siapapun boleh berkontribusi sesuai kemampuan dan kebutuhan.

 

Ilustrasikan sebuah keluarga yang terdiri dari suami dan istri yang sama-sama bekerja di kantor. Mereka punya satu anak, dan satu lagi on the way. Jadi kedepannya harus ada yang fokus mengurus anak dan rumah. 

 

Masalahnya, mereka tidak ingin melimpahkan tugas itu ke pembantu atau pengasuh. Nah, mengingat gaji si istri lebih besar, plus ia baru ditawari kesempatan naik karir, keputusan yang masuk akal adalah suaminya resign untuk menjadi bapak rumah tangga.

 

Bagaimana Menjadi Bapak Rumah Tangga?

 

Lagi-lagi pertimbangannya rasionalitas. Namun jika harus dihubungkan dengan teori-teori feminisme, kesetaraan dan keadilan gender, maka menjadi bapak rumah tangga juga salah satu perwujudannya.

 

Jika dipikir-pikir, keadilan gender hanya bisa diwujudkan dua arah. Artinya, mendorong para istri untuk masuk ke dunia kerja dan diberi kesempatan yang sama tidaklah cukup. 

 

Tanpa menormalisasi peran sebagai bapak rumah tangga, atau minimal mendorong laki-laki agar aktif mengerjakan pekerjaan domestik, para istri akan menghadapi beban ganda: mencari nafkah sekaligus mengurus anak dan rumah.

 

Membayangkannya saja sudah terasa berat, bukan? 

 

Barangkali tidak dalam waktu dekat. Tapi semoga di masa depan kita bisa memandang bapak rumah tangga sebagai status yang biasa-biasa saja. 

 

Ya karena saking normalnya.

 

….

 

Saya menyelesaikan tulisan ini pada pukul empat sore. Istri saya masih menatap layar laptop, setelah satu jam sebelumnya mengikuti rapat online.

 

Saya beranjak dari tempat duduk, dan menemukan nasi sisa semalam di kulkas.

 

“Mau nasi goreng?” tanya saya.

 

“Mau. Makasih ya.”

 

Selama satu jam berikutnya saya berkutat di dapur, mencoba mengingat-ingat resep nasi goreng yang lima tahun lalu memancing ketegangan di rumah Uti. 

 

*Penulis lepas yang pernah bekerja di Tirto.Id

 

BACAJUGA:

Saya Bercadar dan Tetap mencintai Skateboard

Cerita Tentang Hari-Hari Sebelum Hari Ini (Tentang Masa Kecil di Aceh Masa Operasi Militer)