Oleh: Jaka HB
“Air itu penting bagi kehidupan,” kata Nopri, salah satu warga Mentawai saat saya tanya soal kondisi air yang kabarnya sulit di kepulauan paling selatan Mentawai itu.
Lokasinya berhadapan langsung dengan samudera. Hutan masih banyak. Namun untuk air masyarakat kesusahan. Tak hanya di pulau jauh itu, tapi juga di ibukota kabupaten kepulauan Mentawai pun air susah. Baik rumah warga hingga perkantoran berharap dari air hujan dan sungai yang semakin hari semakin terancam oleh penebangan baik legal atau pun ilegal.
Perlu diingat bahwa Indonesia ikut meratifikasi Kovenan Hak Ekosob (Ekonomi Sosial dan BUdaya) dalam forum Hak Asasi Manusia di Persatuan Bangsa-Bangsa.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada 2010 PBB menetapkan hak atas air bersih dan sanitasi oleh majelis umum PBB melalui resolusi Nomor 64/292 tanggal 28 Juli 2010. Artinya Indonesia turut menyatakan berjanji untuk mengambil langkah baik individual atau kerjasama internasional sebagai perwujudan penuh hak-hak yang diakui oleh kovenan dan negara pihak pada kovenan berjanji menjamin hak-hak yang diatur dalam kovenan ini akan dilaksanakan tanpa diskriminasi apa pun.
Indonesia wajib tunduk dan terikat pada kewajiban-kewajiban yang diberikan kovenan hak Ekosob yang masuk dalam rangkaian Sebagaimana pasal 2 ayat (1) kovenan hak ekosob maka setiap negara wajib secara progresif mewujudkan penuh dari hak atas air dan aman dan sanitasi.
Roehana Project memotret sebagian kondisi di Sumatera Barat. Mulai dari Sumatera Barat di daratan dan Kepulauan Mentawai yang merupakan surga para peselancar itu.
Kami melihat bertahun-tahun krisis air karena pengelolaan yang kacau masih terjadi di Sumatera Barat, terutama di Kepulauan Mentawai yang masuk dalam kategori daerah 3T (Tertinggal, Terluar dan Terdepan).
Tak hanya di kepulauan, Jorong Lurah Ingu di Kabupaten Solok Provinsi Sumatera Barat juga mengalami krisis air akibat pengelolaan yang salah. Lokasi tersebut bukan tidak ada air, tapi tidak semua warga dapat mengakses air bersih secara mudah. Mereka juga harus menghabiskan berapa rupiah untuk memenuhi kebutuhan airnya saat kemarau. Topografi yang berbukit-bukit membuat mereka harus ke dasar lembah untuk mengambil air.
Dua lokasi ini menjadi sampel di Sumatera Barat bagaimana hak atas air bersih baik terkait akses dan pemenuhan kebutuhan kacau. Ada banyak nagari, kabupaten dan kota di Sumatera Barat. Namun yang tidak tertulis bukan berarti tidak mengalami krisis air. Sementara krisis iklim semakin nyata.
Sumber-sumber air di lokasi yang Roehana datangi terancam oleh lingkungan yang rusak. Pemetaan daerah tangkapan air juga tidak ada. Pembangunan kabupaten atau kota ugal-ugalan. Seperti pembangunan perumahan di sempadan sungai atau pemberian izin konsesi di hutan adat atau hulu sungai.
Alasan-alasan anggaran menurut kami hanyalah satu dari ribuan alasan tidak kreatifnya pemerintah dalam menangani permasalahan publik seperti air. Saya bertanya pada ahli ada beberapa cara untuk merekayasa alam agar dapat menyimpan air dan menjadi mata air untuk digunakan secara publik. Selain itu juga menjaga kebersihan sungai serta mengurangi bukaan-bukaan di sempadan sungai.
Selain itu sungai yang berada di sebelah PLTU Ombilin di Sawahlunto pun menjadi keruh. Kejernihan dan ikan-ikan yang berenang kesana-kemari hanya tinggal di ingatan warganya. Alasan pemenuhan kebutuhan listrik dan perputaran uang dari tambang batubara menjadi dasar dari alasan rusaknya sumber air yang juga digunakan perusahaan air minum setempat.
Publik harus mendesak pemenuhan hak atas air. Sebab negara wajib memenuhinya bersama perangkat canggihnya dalam struktur pemerintahan! Kalau tidak buat apa mereka digaji dari pajak kita?
Lalu bagaimana dengan janji pemerintah untuk memenuhi hak atas air bersih oleh warganya ini ditepati? Apakah negara tak menganggap penting pemenuhan hak atas air warga?