Pada Februari 1937, Presiden Amerika Franklin D. Roosevelt menghadapi tantangan besar dari Mahkamah Agung, yang menilai banyak program New Deal-nya tidak konstitusional. Dalam upaya mempertahankan kebijakan-kebijakannya, Roosevelt mengusulkan penambahan jumlah hakim Mahkamah Agung. Lawan-lawan sang presiden menyebutnya sebagai “skema perebutan pengadilan”.
Usulan Roosevelt tersebut menghadapi penolakan besar-besaran dari berbagai pihak, yang akhirnya memaksa Roosevelt untuk membatalkan rencananya. Selain itu, upaya untuk memakzulkan hakim-hakim yang berusia di atas 70 tahun dan menggantinya dengan hakim-hakim yang lebih mendukung agenda Roosevelt juga gagal.
Dalam buku mereka How Democracies Die, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt mencatat bahwa satu-satunya kasus pemakzulan hakim agung dalam sejarah Amerika terjadi pada tahun 1804. Mereka juga menyebutkan bahwa selama abad pertama Amerika Serikat, ukuran Mahkamah Agung sering menjadi sasaran manipulasi politik oleh partai-partai yang berkuasa. Buku ini, yang juga mengkritik Donald Trump, menggarisbawahi bagaimana politik partisan dapat mempengaruhi independensi lembaga peradilan.
Levitsky dan Ziblatt tampak sangat kritis terhadap Donald Trump, yang menurut mereka telah merusak demokrasi Amerika. Salah satu bab dalam buku mereka bahkan menggunakan istilah ‘buyar’ untuk menggambarkan bagaimana pemerintahan Trump telah mengacaukan tatanan demokrasi di negara itu.
Kedua penulis itu juga mengungkapkan bagaimana penggantian hakim agung yang wafat menjadi isu kontroversial, terutama ketika Senat menolak untuk mempertimbangkan calon hakim yang oleh Presiden Obama ajukan waktu itu. Tindakan ini, menurut mereka, mencerminkan erosi norma-norma demokrasi.
Anggota Partai Republik mengajukan dan memilih seorang hakim konservatif untuk menggantikan posisi yang kosong. Levitsky menilai bahwa tindakan ini merupakan pelanggaran serius terhadap norma-norma demokrasi, menyebutnya sebagai “pencurian kursi hakim agung.”
Menurut Levitsky dan Ziblatt, tindakan semacam ini menunjukkan tanda-tanda awal dari perilaku otoriter yang semakin nyata.
Sebelum melancarkan kritik tajam terhadap Donald Trump, Levitsky dan Ziblatt mengidentifikasi empat indikator kunci yang menunjukkan perilaku otoriter, dengan mengacu pada contoh-contoh dari pemimpin otoriter seperti Hitler dan Chavez.
Indikator Pemimpin Otoriter
Indikator pertama adalah penolakan atau komitmen yang lemah terhadap aturan-aturan demokratis.
Kedua, menyangkal legitimasi lawan politik, misalnya dengan menuduh mereka sebagai pengkhianat, ancaman terhadap eksistensi negara, atau agen asing tanpa dasar yang jelas.
Selanjutnya adalah toleransi atau dukungan terhadap kekerasan, misalnya melalui hubungan dengan kelompok bersenjata, paramiliter, atau organisasi yang sering melakukan tindakan kekerasan.
Terakhir adalah kesediaan untuk membatasi kebebasan sipil, baik terhadap lawan politik maupun media.
Keempat indikator ini memiliki relevansi yang kuat dalam politik dalam negeri Amerika Serikat. Noam Chomsky, intelektual terkemuka Amerika, berpendapat bahwa Amerika secara konsisten menentang demokrasi ketika hasilnya tidak sesuai dengan kepentingan mereka. Dia mencontohkan berbagai kebijakan luar negeri yang diambil oleh negara tersebut.
Chomsky menyoroti kelemahan dalam sistem demokrasi. Menurutnya, “Demokrasi sejati memungkinkan terjadinya pembelotan, sehingga pemerintah di negara-negara Dunia Ketiga harus merespons kebutuhan rakyat mereka sendiri, bukan kebutuhan para investor.”
Chomsky juga menyatakan bahwa “Ketika hak-hak investor terancam, demokrasi harus disingkirkan; sebaliknya, selama hak-hak ini dilindungi, bahkan para pembunuh dan penyiksa bisa merasa aman.” Dia mencontohkan kasus-kasus di Guatemala, Dominika, Cile, Brasil, dan negara-negara lainnya.
Demokrasi yang Memperkuat Otoritarianisme
Seorang akademisi Peru bernama Alberto Fujimori memutuskan untuk mencalonkan diri dalam pemilihan umum tahun 1990. Tanpa dukungan politik yang kuat dan tanpa partai besar yang mau mendukungnya, Fujimori membentuk partai sendiri. Krisis ekonomi yang melanda Peru, serta kekecewaan rakyat terhadap partai dan politisi lama, justru memberi keuntungan bagi Fujimori, yang akhirnya terpilih sebagai presiden.
Setelah terpilih, Fujimori segera menunjukkan sikap yang agresif, menyalahkan dan menyerang lawan-lawan politiknya. Namun, kekuatan politiknya yang rapuh segera menghadapi perlawanan dari Kongres. Dua tahun setelah terpilih, Fujimori membubarkan Kongres, menunjukkan ketidaksabarannya dalam menghadapi oposisi. Sikapnya yang konfrontatif juga membuatnya bermusuhan dengan media.
Situasi yang dihadapi oleh Roosevelt dan Fujimori memiliki kesamaan dengan kondisi di Indonesia, di mana presiden mencoba mempengaruhi para pembuat undang-undang dan mengubah konstitusi untuk membuka jalan bagi keluarganya menuju kekuasaan, bersama dengan Prabowo Subianto.
Situasi Indonesia
Demokrasi di Indonesia, sayangnya, telah melahirkan pemimpin yang bertindak otoriter dan mengkhianati prinsip-prinsip demokrasi. Demokrasi kemudian ditinggalkan dan menjadi bias, sementara negara semakin mencampuri kehidupan warganya demi ambisi pembangunan yang tidak terkendali. Hal ini terlihat dalam berbagai perubahan undang-undang yang mendukung aparat, yang sering kali menimbulkan kontroversi.
Di saat yang sama, masyarakat semakin kehilangan kepercayaan terhadap institusi-institusi yang seharusnya melindungi mereka. Ketidakadilan dan penindasan yang dilakukan oleh pemerintah dan aparat semakin memperburuk keadaan, membuat rakyat merasa diabaikan dan tidak dilindungi.
Situasi ini mengingatkan kita pada rezim-rezim otoriter di masa lalu, yang sering menggunakan hukum sebagai alat untuk melegitimasi tindakan-tindakan yang tidak demokratis. Ironisnya, kali ini hal tersebut terjadi dalam masa-masa demokrasi.
Kita harus waspada terhadap perkembangan ini, karena demokrasi yang seharusnya melindungi rakyat kini berubah menjadi alat untuk memperkuat kekuasaan segelintir elit.
Demokrasi di Indonesia saat ini berada di persimpangan jalan. Kita harus memilih, apakah kita akan membiarkan sistem ini dikooptasi oleh kepentingan segelintir elit, ataukah kita akan berjuang untuk mengembalikan demokrasi ke jalurnya yang benar.
Dan hari ini peraturan pemilihan umum kepala daerah (pilkada), diubah sedemikian rupa untuk kepentingan majunya kroni-kroni penguasa yang sangat terhormat dan proyek-proyek oligarkinya.
Presiden Joko Widodo melakukan indikator pertama pemimpin yang otoriter: melakukan penolakan atau komitmen yang lemah terhadap aturan-aturan demokratis.