Artificial Intelligence turut serta dalam kemajuan sekaligus menjadi rintangan dalam penyebaran informasi dekade ini. Namun, apakah itu akan mempengaruhi kehidupan kita? Hal ini menjadi diskusi pro dan kontra dalam workshop Digital Enquirer beberapa waktu lalu yang diselenggarakan Roehana Project.
Apakah AI Membentuk kehidupan Manusia?
Adzwari Ridzki, seorang konsultan komunikasi sekaligus digital enthusiasm yang memberikan materi diskusi, melempar pertanyaan pada dua puluh peserta workshop digital enquirer beberapa waktu lalu, tentang bagaimana teknologi kemudian membentuk kehidupan manusia.
“Saya percaya kehidupan kita nanti akan mengarah ke solarpunk,” kata Vic, salah satu anak muda yang hobi berkebun dan pengusaha muda.
Beberapa orang yang Ridzki tanyai mengatakan teknologi AI tidak mempengaruhi kehidupannya. Seperti Akram, salah satu peserta yang aktif di civil society organization (CSO) lokal mengatakan ada masalah yang tidak semuanya harus dimintai ke AI.
Pertanyaan demi pertanyaan seperti apakah AI akan menyelesaikan masalah lebih baik dari manusia itu sendiri? Apakah manusia punya kekuatan untuk membentuk teknologi AI? Bagaimana relasi manusia dan AI di masa depan? Dan apa peluang dan tantangan dari adanya kecerdasan buatan ini?
Ridzki mengatakan ada beberapa aplikasi atau software AI yang terpaksa dihapus oleh penciptanya, sebab perkembangannya terlalu cepat dan otomatis.
Uyung, salah satu pemantik diskusi di workshop Digital Enquirer bagian dua ini bertanya pada peserta, apa yang penting dalam hidup mereka dan bagaimana menyampaikannya secara efektif. Menurutnya AI punya manfaat untuk membantu manusia memetakan masalah-masalah publik yang menurut orang-orang penting.
Desain-Desain Smartphone yang Selalu Mendistraksi Kita
Dalam tema What the Futures Want ini, Jaka selaku Editor at Large Roehana Project mengatakan telepon pintar, selalu mendistraksi konsentrasi pemiliknya.
“Desain-desainnya membuat semuanya seolah-olah terlihat mendesak untuk ditanggapi,” katanya.
Mulai dari Push Notification, The red flag, peringatannya,
“Dan selalu menahan kita untuk menunggu respon dari yang kita hubungi. Seperti desain typing bubble atau titik-titik di pesan yang menandakan kita sedang mengetik, tanda terbaca dan indikator kita sedang online,” katanya.
Selain itu juga telepon pintar memainkan emosi kita melalui fitur-fiturnya. “Dia memainkan kebutuhan dasar kita terhadap epenrimaan dengan memberi kita popularitas atau sebaliknya,” katanya.
“Lalu kapan terakhir kali kamu membaca dan memahami kebijakan privasi atau privacy policy?” tanya Jaka.
Sebab menurutnya seringkali fitur-fitur dalam aplikasi membuat kita sulit apa yang tersembunyi di baliknya. Entah data pribadi kita atau memang benar-benar memberikan manfaat untuk aktivitas kita.
Karena itu menurutnya peserta harus memikirkan ulang, apa nilai-nilai penting yang mereka anut. Bagaimana kemudian kritis dan tidak mudah terpengaruh distraksi-distraksi itu dan kemudian terjebak dalam disinformasi dan misinformasi, hingga pencurian data pribadi.
Sebab itu menurutnya perkembangan teknologi, terutama kecerdasan buatan dapat memperkeruh atau malah menjernihkan ruwetnya informasi yang orang cari atau yang didapatkan.
Jaka menyampaikan ini dalam workshop Digital Enquirer: What The Future Wants pada 3 April 2024 lalu di Balai Pelatihan Koperasi Provinsi Sumatera Barat. Penyelenggaraan workshop ini bekerjasama dengan Tactical Tech, sebuah NGO terkait digital literacy yang berkedudukan di Jerman.
Ada 20 perserta yang terbagi antara perwakilan civil society organization dan mahasiswa dan umum. Seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, SIEJ Sumbar, AJI Padang, Pelita Padang, Cahaya Maritim, KKI Warsi dan Yayasan Citra Mandiri-Mentawai (YCMM). Sepuluh peserta lainnya terdiri dari mahasiswa dari beberapa universitas di Padang dan organisasi mahasiswa katolik dan pekerja swasta dari Island Herbivore.