Oleh: Jaka HB
Satu-satunya poin yang perlu saya klarifikasi dari tulisan balasan Randi adalah batuk saya yang sering mengganggunya. Untuk poin itu saya patut meminta maaf. Tapi tidak yang lain.
Randi Reimena yang juga merupakan anggota redaksi Ombilin Heritage, bagian dari Galanggang Arang, dia membalas tulisan saya di Garak, yang artinya kembali ke kandang sendiri untuk membalas tulisan saya. Padahal saya mengkritik tulisannya yang merupakan representasi dari lembaga tersebut dan Galanggang Arang.
Selayaknya pertandingan sepakbola, klub bola yang bermain di kandangnya akan selalu merasa aman dan menang.
Saya rasa Randi yang lulusan magister sejarah tidak paham apa yang menjadi inti dari kritik saya. Maka dari itu akan saya perjelas mengapa saya masih mempertanyakan dekolonisasi yang disebut-sebut penggemar musik punk ini.
Saya akan memulainya dari pertanyaan; Dari siapa Galanggang Arang merebut WTBOS?
Sejak De Greve menemukan potensi batubara Sawahlunto, batubara ada di atas segalanya, bahkan kemanusiaan. Kuasa atas emas hitam ini berjejaring hingga ke korporasi-korporasi besar di Belanda. Seperti kata Baudrillard, kekuasaan itu mengkloning dirinya dan membentuk spiral. Dia terserap dan mewujud dalam mental-mental bahwa siapa yang dapat menguasai batubara maka dia akan dapat mengontrol orang-orang.
Sejarawan seperti Randi tentu saja paling tahu bahwa selepas dari cengkeraman penjajah, secara administratif, penguasaan batubara pindah tangan ke negara. Dengan misi mengeruk bumi dan segala isinya dikuasai, dengan maksud negara mensejahterakan rakyat.
Semenjak itu perusahaan milik pemerintah menguasai dan mengeruk habis. Pada 90-an hingga 2000-an tambang-tambang rakyat- anda dapat juga menyebutnya ilegal- menjamur. Warga yang punya tubuh kuat mencari-cari bukit dan menambang. Dampaknya rumah warga di bawahnya roboh. Pencari bara tentu tak peduli, sebab yang penting baginya adalah emas hitam yang akan membawanya pada kekayaan.
Pertanyaannya siapa yang duluan menganggap batubara itu penting? Para penjajah kan? Apakah kolonial berkulit putih itu peduli dengan perempuan dan anak-anak yang napasnya sesak? Bahkan hingga merdeka, sesak napas karena batubara masih terjadi pada anak-anak. Padahal bukan orang-orang kulit putih itu lagi yang berkuasa.
Saya pernah menulis bahwa 2017 IDI (Ikatan Dokter Indonesia) Sawahlunto memeriksa kesehatan puluhan siswa sekolah dasar dan 53 siswa yang tinggal di dekat PLTU terkena penyakit paru.
Selain itu menurut Badan Pusat Statistik rentang 2009-2018, infeksi saluran pernapasan akut menjadi 10 penyakit terbanyak yang ditangani puskesmas.
Saya juga bertemu Pak Ujang, warga kota itu yang airnya tercemar karena tambang. Dia dan istrinya terkena alergi kulit. Karena dia punya usaha warung maka dia punya uang untuk membeli obat. Berbeda dengan warga lain yang hanya bekerja menjaga kandang sapi atau mengambil pecahan batubara di air, mereka berjudi mencari obat kulitnya.
Belum lagi pemeriksaan soal penyakit kulit dan penyakit-penyakit lainnya yang tak terungkap. Apakah rakyat kemudian dapat membebaskan diri dari rusaknya air dan udara di situ? Itu pun hanya yang terungkap, belum yang tidak.
Pecahan-pecahan batubara berserak di jalanan. Debu-debunya menyelinap ke hidung anak-anak taman kanak-kanak, sekolah dasar hingga lansia. Ingus tak henti-henti keluar karena cerobong pembangkit listrik menyemprot debu ke langit. Air beracun diminum anak-anak.
Tidak ada kemerdekaan di udara yang tercemar dan air yang beracun.
Represenstasi Masyarakat Terjajah dan Glorifikasi Penderitaan
Terimakasih informasinya Bung Sejarawan tentang patung yang pembuatnya adalah perupa asal Sawahlunto pada era sawahlunto masih dengan huruf kecil. Seharusnya patung itu membuat kalian paham bahwa inferioritas terhadap penjajah masih melekat dalam alam bawah sadar masyarakat.
Apakah Galanggang Arang kemudian memunculkan karya seni baru yang memperlihatkan ‘orang rantai’ melawan dan memutus rantainya? Apakah ada yang merepresentasikan perlawanan orang rantai? Bukan kemudian hanya mengkapitalisir dan mengglorifikasi penderitaan orang rantai.
Apakah Galanggang Arang memunculkan patung-patung seperti The Worker and Kolkhoz Woman di Moskow yang menggambarkan perlawanan mereka? Atau patung Marsinah yang mengangkat tangan kirinya di Jawa Timur dan disebut sebagai pahlawan buruh yang menyadarkan bahwa buruh punya hak untuk menuntut kemanusiaannya.
Kemanusiaan Masih di Bawah Batubara
Batubara tetap mengalahkan mereka. Padahal awalnya orang Sawahlunto tidak mengenal batubara untuk memperkaya diri. Orang Jawa, Bugis, Tionghoa dan etnik lainnya yang kemudian menjadi warga setempat tidak menjadikan batubara di atas segalanya dulunya, hanya kolonialis yang meletakkan batubara di atas segalanya.
Hari ini, apakah WTBOS (Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto) kemudian membuat mental yang tertanam dalam alam bawah sadar kolektif Sawahlunto ini memutus rantai tersebut?
Saya tidak mempermasalahkan adanya acara Galanggang Arang secara teknis seperti adanya tari-tarian dan kesenian yang mengolok-olok kolonialisme. Hanya saja seharusnya kita melangkah lebih maju dari mengolok-olok, sebab orang rantai dahulu hanya dapat mengolok karena mereka dalam keadaan masih terjajah.
Sedangkan hari ini apa yang Galanggang Arang atau WTBOS lakukan hari ini? Tambang tetap di atas segalanya. Tambang tetap jaya baik dalam kondisi belum merdeka dan sudah merdeka hari ini. Apakah dengan kegiatan itu memengaruhi orang-orang Sawahlunto kalau tambang itu buruk?
Secara filosofis, perayaan seringkali mengaburkan esensi realitas. Merayakan bisa berarti tersenyum sambil menutupi kedukaan yang tak terucap. Sayangnya, event Gelanggang Arang justru merayakan dan melanggengkan kejayaan eksploitasi batubara yang menjadi sumber kedukaan itu.
Dekolonisasi tak cukup hanya dari mulut yang berbusa, Bung Randi perlu menutup buku dan jalan-jalan melihat kenyataan daripada catatan kaki panjang halaman buku. Bertemu lelaki atau perempuan yang memunguti pecahan batu bara yang sebenarnya juga tak menyukai batu bara. Memang ada ambivalensi dalam kenyataan masa lalu dan kini, apa yang ingin kita tentang dan kita bela melalui perbuatan.
Seperti kata Albert Camus, bahwa kebenaran hanya ada di jalanan.
Padang, 15 Mei 2024