Eksil: Melihat Kampung dari Jauh

Penulis: David Utomo

 

 

“Jangan menyesal mengapa punya impian, merasa belum cukup dengan yang sudah ada. Sejak peristiwa 1965 itu aku telah kehilangan semua dan segala. Lebih tepat: semua dan segala ilusi.”

 

-Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Pramoedya Ananta Toer

 

 

 

Tragedi G30S PKI (Gerakan 30 September/Pemberontakan Komunis Indonesia) adalah peristiwa tragis yang terjadi di Indonesia pada 1965. Peristiwa ini melibatkan penculikan dan pembunuhan enam perwira tinggi militer Indonesia oleh anggota militer, bersama dugaan-dugaan afiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

 

Tragedi ini menjadi pemicu terjadinya peristiwa Gerakan 30 September yang berujung pada kejatuhan Presiden Soekarno dan naiknya Soeharto, sebagai pengganti. Peristiwa ini juga menjadi landasan bagi pemberantasan PKI yang sangat keras dan dikenal sebagai Pembantaian 1965-1966, yang menewaskan jutaan orang Indonesia yang diduga terkait dengan PKI atau simpatisan PKI. Tragedi ini masih menjadi topik sensitif dalam sejarah Indonesia.

 

Sejarah ini menjadi konteks dalam dokumenter panjang garapan Lola Amaria yang berjudul Eksil. Film ini memaparkan kisah mahasiswa ikatan dinas atau MAHID yang dikirim Presiden Soekarno untuk belajar ke luar negeri, ketika peristiwa 65 meletus mereka tak bisa pulang sehingga terasing dari tanah kelahirannya Indonesia, dan terkatung-katung hidup tanpa kewarganegaraan.

 

Pada akhirnya sebagian eksil ini menguburkan mimpi untuk pulang ke tanah air bahkan sampai nyawa terlepas dari badan. Lola Amaria mengemas film eksil dalam formula monodrama, wawancara, narator, lanskap alam dan sebagian besar perkotaan, arsip, rekaman sejarah dan animasi. Secara garis besar, Eksil bercerita tentang sepuluh narasumber yang terasing dan tak bisa kembali ke Indonesia terdampak peristiwa Gerakan 30 September pada tahun 1965.

 

Berbeda dengan Joshua Oppenheimer

 

Saya sangat menyukai bagian menjelang menit akhir penutup, di mana satu persatu tokoh mulai menutup usia, bahkan salah satu tokoh sekaligus narasumber dalam Eksil menutup usia dengan iringan lagu Indonesia Pusaka ketika memasuki sebuah gereja.  Lain dari itu, Lola Amaria mengambil dari sudut pandang personal para eksil. 

Meskipun orang eksil adalah korban terdampak tragedi 1965, dalam penilaian saya para eksil tersebut bagaikan pungguk merindukan bulan untuk waktu yang cukup lama. Bertolak dari tanah pengasingan eksil nun jauh di Eropa,  korban-korban penumpasan PKI yang berada di Indonesia lebih mengalami derita pedih atas amuk rezim orde baru itu, sedangkan para eksil bukanlah tahanan politik yang lazimnya tapol.

 

Berbeda dengan film dokumenter dengan tema serupa garapan Joshua Oppenheimer. Film The Act of Killing bercerita dari sisi pelaku dan The Look of Silence  dari sisi korban. 

 

Sejauh pengetahuan saya, belum ada film yang bercerita secara netral atas pembantaian PKI tahun 1965, apalagi dari sisi pemerintah atau negara yang patut juga kita tunggu kehadirannya.

 

Film Eksil yang ditulis Lola Amaria dan Gunawan Raharja memang mengharukan. Selama 119 menit secara silih berganti narasumber memberikan kesaksian, bagaimana kerinduan para eksil akan kampung halaman, bagaimana mereka bertahan dan mencintai tanah air dari jauh tanpa adanya jalan pulang. Sayang sekali layar bioskop yang menayangkannya sangat terbatas, mungkin karena film dokumenter bagi sebagian orang membosankan. Padahal, film ini memanggil kembali ingatan yang samar dan hampir terlupakan bahwa masih ada orang-orang Indonesia yang terpinggirkan karena sejarah kelam bangsanya sendiri, ialah mereka; EKSIL.



Dukung kami untuk menghadirkan cerita, dan liputan yang mendalam terkait yang terpinggirkan.

 

Silahkan klik tautan dibawah ini.