Penulis: Ferdiansyah Rivai
Di sebuah talkshow di salah satu media massa, seorang pemimpin regional salah satu organisasi gerakan mahasiswa terbesar di Indonesia berkata; Sampai hari ini juga kita menilai 98 itu bukan sebuah kelompok yang menentukan bangsa ini sebenarnya. Hanya saja pada saat itu sejarah mencatat terjadi sebuah sejarah yang besar. Kelompok 98 ini bukan kelompok yang laku di publik“.
Setelahnya, seorang mantan aktivis 98 yang kini menjadi salah satu pimpinan relawan Prabowo-Gibran di Sumatera Selatan mendapat kesempatan untuk bicara. Ia tidak mencoba untuk mengklarifikasi hal tersebut, bahkan cenderung mengiyakan. Saya yang juga berada di antara keduanya, coba mengingatkan apa yang terjadi di sekitar tahun 1998. Siapa tahu aktivis mahasiswa tadi belum lahir kala itu, dan siapa tahu mantan aktivis tahun 1998 tadi lupa karena kejadiannya sudah puluhan tahun yang lalu.
Saya katakan bahwa peristiwa 1998 adalah tonggak penting yang menopang segala bentuk kebebasan ekspresi generasi milenial dan generasi Z hari ini. Tanpanya, kita semua akan berkubang dengan sensor dan rasa takut dikatakan subversif (melawan pemerintah). Aktivis ‘98 tadi saya ingatkan lagi poin-poin penting yang menjadi tuntutan perjuangan kala itu: memberantas Kolusi Korupsi Nepotisme (KKN), membatasi durasi kekuasaan presiden, serta menjalankan demokrasi dan supremasi sipil seluas-luasnya, -salah satunya dengan menghapus dwi fungsi ABRI.
Bagaimana mungkin seorang yang memegang teguh visi tadi bisa mendukung pasangan Prabowo-Gibran? Di dalamnya ada partai-partai politik yang mendukung Jokowi untuk berkuasa selama tiga periode.
Proses pencalonan Gibran sebagai Calon Wakil Presiden juga terindikasi adanya nepotisme, serta menyimbolkan adanya upaya untuk mendirikan politik dinasti. Dan tentu saja, sosok yang paling banyak ditentang dan dianggap sebagai representasi Orde Baru ada di sana. Beberapa aksi yang dilakukannya untuk memberangus gerakan pro demokrasi juga belum tuntas diusut dan diadili sampai hari ini. Ini tidak logis.
Maka saya rasa tak berlebihan untuk mengatakan bahwa ada algoritma yang perlu dilampaui oleh generasi muda hari ini, agar mereka tahu bagaimana sejarah yang pernah terjadi di negaranya. Dan juga ada logika yang harus diperkuat untuk menyadarkan mereka yang dulu pernah berjuang mati-matian untuk demokrasi, namun hari ini berdiri berseberangan dengan nilai perjuangannya. Berpikir kritis dan melawan lupa ternyata masih menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi republik ini.
Maka saya rasa tak berlebihan untuk mengatakan bahwa ada algoritma yang perlu dilampaui oleh generasi muda hari ini, agar mereka tahu bagaimana sejarah yang pernah terjadi di negaranya. Dan juga ada logika yang harus diperkuat untuk menyadarkan mereka yang dulu pernah berjuang mati-matian untuk demokrasi, namun hari ini berdiri berseberangan dengan nilai perjuangannya. Berpikir kritis dan melawan lupa ternyata masih menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi republik ini.
Di banyak sekali diskusi publik dalam beberapa bulan belakangan, saya selalu menyampaikan bahwa pemilu yang baik lahir dari pemilih yang rasional. Sayangnya ada dua hal yang menghambat lahirnya pemilih-pemilih yang rasional ini.
Pertama, algoritma media sosial yang menyebabkan timbulnya filter bubble yang kemudian melahirkan ruang gema. Sederhananya, kalau kita mengikuti 1000 akun di media sosial, yang selalu muncul di beranda hanyalah konten yang pembuatnya 30-50 akun. Yaitu mereka yang paling rajin berinteraksi: saling suka, bagikan, dan komentar. Sementara sisanya, akun-akun yang tidak intens berinteraksi, jarang sekali muncul.
Ini akhirnya membuat generasi yang terkoneksi intens dengan media sosial pasti akan terjerumus pada ruang gema, yaitu sebuah kondisi dimana seseorang hanya terpapar informasi dan gagasan yang seragam secara terus menerus, sedangkan informasi dan gagasan yang berbeda/lain sama sekali hilang. Singkatnya, banyak generasi hari ini yang hanya melihat realitas secara parsial (sebagian kecil). Sementara untuk menjadi rasional, kita harus melihat realitas secara utuh. Dan kabar buruknya, hampir 60 persen pemilih hari ini adalah generasi milenial dan generasi Z, mereka yang sumber informasinya berasal dari media sosial.
Kedua, infrastruktur Pemilu kali ini juga tidak mampu mendukung secara maksimal lahirnya pemilih-pemilih rasional. Kita melihat bagaimana debat capres dan cawapres gagal menjadi sarana untuk memicu diskusi-diskusi produktif di sepanjang masa kampanye. Yang kita temukan justru sentimen-sentimen dan argumen-argumen emosional. Belum lagi polah tingkah Presiden yang bukannya membuat suasana makin kondusif, tapi justru malah memperkeruh suasana dengan gimmick-gimmicknya di media massa. Mulai dari bagi-bagi bansos, makan bersama ketua-ketua umum partai tertentu, hingga statement tentang Presiden yang boleh saja berkampanye mendukung pasangan calon.
Kedua, infrastruktur Pemilu kali ini juga tidak mampu mendukung secara maksimal lahirnya pemilih-pemilih rasional. Kita melihat bagaimana debat capres dan cawapres gagal menjadi sarana untuk memicu diskusi-diskusi produktif di sepanjang masa kampanye. Yang kita temukan justru sentimen-sentimen dan argumen-argumen emosional. Belum lagi polah tingkah Presiden yang bukannya membuat suasana makin kondusif, tapi justru malah memperkeruh suasana dengan gimmick-gimmicknya di media massa. Mulai dari bagi-bagi bansos, makan bersama ketua-ketua umum partai tertentu, hingga statement tentang Presiden yang boleh saja berkampanye mendukung pasangan calon.
Saya adalah generasi milenial, yang merupakan bagian dari arus besar di tahun 2014 yang memilih Joko Widodo. Saya yang ketika itu masih kuliah magister, siang malam ikut mengampanyekan Jokowi di berbagai ruang, mulai dari media sosial hingga warung-warung kopi.
Mengapa kita memilih Joko Widodo waktu itu? Itu karena dia adalah representasi dari masyarakat biasa, seperti kebanyakan masyarakat Indonesia. Dia bukan anak Presiden, bukan anak Jenderal, bukan anak Pengusaha Besar, dan bukan anak Ketua Umum Partai Politik. Lalu visi misi dan strateginya sangat menarik. Ia mengucapkan bahwa akan berkomitmen pada supremasi sipil. Ia juga berjanji akan mengisi komposisi kabinetnya dengan mayoritas berasal dari kalangan Profesional, bukan dari representasi Partai Politik.
Saya pikir nilai-nilai mengenai keberpihakan pada supremasi sipil, profesionalitas dan demokrasi, adalah nilai-nilai penting yang harus menjadi landasan dalam memilih seorang pemimpin. Apalagi, dengan terpilihnya Jokowi sebagai presiden, maka kita bisa memastikan bahwa siapa saja bisa mengakses kontestasi pemilu, bahkan oleh orang dengan latar belakang biasa-biasa saja. Sayangnya kini, hal tersebut juga dihancurkan oleh Jokowi. Dia yang memulai, dia yang mengakhiri.
Meski begitu, nilai-nilai yang saya sebut di atas tetap menjadi hal penting untuk dijadikan preferensi dalam kontestasi politik hari ini. Generasi milenial dan generasi Z dikenal sangat ekspresif. Kita adalah generasi yang memiliki ekspresi sangat beragam, yang bahkan bisa berubah-ubah hari per hari. Kita bisa seperti itu sebenarnya adalah buah dari Demokrasi.
Sayangnya, kembali pada paragraf pertama, banyak dari kita yang tidak menyadari akan hal itu, dan ada juga yang lupa. Padahal, demokrasi adalah fondasi dari kebebasan berekspresi, inovasi, kritisisme, munculnya geliat ekonomi (terlebih ekonomi kreatif), hingga penegakan hukum. Bayangkan kalau kita tidak bisa bebas berpendapat, penegakan hukum bisa sewenang-wenang, sesuai dengan selera penguasa.
Maka kita harus Go Beyond: percayalah bahwa realita yang kita lihat hari ini hanyalah sebagian kecil dari realita yang sesungguhnya. Temukan siapapun yang bisa kita ajak berdiskusi mengenai apa relevansinya politik praktis, demokrasi, dengan kehidupan kita sehari-hari. Jangan gampang terpana dengan gimmick-gimmick tarian lucu yang ada di media sosial. Bongkar gagasannya.
Makan siang gratis tidak akan menyelesaikan persoalan kedaulatan pangan. Selain mekanismenya yang sudah pasti rumit, program ini juga akan rentan dengan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN). Persoalan kedaulatan pangan ada pada kepemilikan tanah yang terkonsentrasi pada segelintir orang. Negara cukup memastikan semua warga negara memiliki lahan yang cukup, maka mereka akan mewujudkan kedaulatan pangan secara mandiri.
Ada satu hal besar yang juga harus diceritakan di sini, bahwa Indonesia sedang menghadapi kondisi bernama Bonus Demografi (situasi sebuah negara lebih banyak manusia usia produktif ketimbang non-produktif). Saya pikir semua orang sudah terbiasa mendengar hal ini, tapi banyak yang belum menyadari, bahwa untuk menjadi bonus, ada syarat yang mesti terpenuhi: yaitu tersedianya pendidikan yang baik dan semua orang bisa mengakses, tersedianya ruang untuk berkreatifitas, memastikan bahwa generasi produktif ini tidak hanya akan dijadikan sebagai buruh murah untuk daya tawar dalam mendatangkan investasi, hingga kemauan negara untuk mendistribusikan kekayaan yang hari ini ketimpangannya sangat parah.
Jika syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka yang akan muncul bukannya Bonus, akan tetapi Bencana Demografi. Bayangkan di sebuah negara dengan komposisi penduduknya mayoritas anak muda usia produktif, tapi tidak berpendidikan, tidak memiliki ruang demokratis untuk berkreatifitas, dan kesulitan mengakses pekerjaan? Apa yang akan terjadi?
Wajib juga bagi kita untuk mempertahankan ruang demokrasi yang berlandaskan meritokrasi: bahwa setiap warga negara siapapun itu bisa menjadi presiden, bisa menjadi ketua umum partai politk, bisa menyuarakan pendapat.
Wajib bagi kita untuk memastikan semua orang dapat mengakses infrastruktur pendidikan dan kesempatan ekonomi. Kita harus mencari pemimpin yang sudah memiliki peta jalan untuk memastikan semua ini. Jadilah rasional, jangan emosional!
Penulis merupakan Dosen Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Sriwijaya