Anak sekolah dasar di Jorong Lurah Ingu Kabupaten Solok yang mengambil air di kaki bukit setiap kemarau/ Foto oleh Jaka HB

Puluhan Tahun Warga Jorong Lurah Ingu Harus Ambil Air ke Kaki Bukit untuk Kehidupannya

Oleh Jaka HB

Rozi Zahra sedang mengupas bawang di beranda rumahnya. Perempuan berusia 33 tahun itu kemudian menyuruh Rendra (14) untuk mengambil air di lembah kecil dekat rumah mereka. Lantas Rendra keluar rumah membawa dua jerigen kosong. Rendra adalah anak pertamanya yang sudah tamat sekolah dasar.

Dengan perasaan yang biasa saja Rendra menyusuri bukit kecil itu. Tiba-tiba dia belok ke kanan dan turun ke bawah. 

“Rencana lanjut ke SMP Rendra?” tanya saya.

“Ndak bang,” katanya singkat. Saat ditanya kenapa dia tak menjawab.

Matahari belum sampai di atas kepala namun sudah terlanjur tinggi. Rendra yang menggunakan kemeja lengan pendek, celana olahraga panjang dan sandal jepit kuning sekitar 500 meter dari rumahnya untuk mengambil air buat kebutuhan mandi dan mencuci. 

Sekitar 250 meter jalanannya sudah rabat beton. 200 meternya lagi jalan tanah dan sebelum tanjakan anak sulung dari tiga bersaudara ini belok ke kanan, dia turun melalui jenjang-jenjang tanah yang tak beraturan bentuknya. Rerumputan juga memenuhi sisi-sisi jalan setapak itu.

Jalan yang terus menurun ini mungkin ada sekitar 50 meter ke bawah. Sumber air semakin dekat dan jenjang semakin curam. Rendra lantas membuka tutup jerigen dan mencorohkan leher jerigen ke pipa kecil di sumber air itu. Sumber airnya dari kolam kecil, entah bisa disebut kolam atau tidak. Airnya berasal dari cucuran akar-akar tanaman di dataran yang lebih tinggi. 

Setelah terisi semua, anak lelaki yang tak ingin melanjutkan sekolahnya itu kembali ke jalan tadi. Anak berkulit sawo matang ini terlihat sudah biasa mengambil air di jalan curam ini. Ternyata betul saja, jika Rendra libur sekolah dan musim sedang kering ada dua sampai lima  kali dia harus ambil air ke bawah itu. 

Baca: [EDITORIAL] Negara Belum Penuhi Hak Atas Air Bersih Masyarakat Sumatera Barat

Saat sampai di atas, jalan semula, sebetulnya ada genangan air yang jarang mengering. Letaknya di sudut ladang bawang. Seorang ibu mengambilnya untuk membasuh-basuh apa saja selain baju di rumah. Dia mengatakan untuk minum air itu tak layak.

Ibu itu kemudian berjalan pulang sambil menenteng seember air yang keruh.

“Tidak ada yang pakai air itu untuk minum. Orang takut airnya sudah tercampur racun,” kata Erizal.

Racun yang dimaksud adalah pestisida.

Erizal sendiri kadang membeli galon, terkadang ambil ke rumah keluarga. “Terkadang ambil di bawah (mata air) juga,” katanya.

Beli Air Galon untuk Minum

Anak lelaki yang baru saja tamat sekolah dasar itu akan bolak-balik mengangkut air jika dalam tiga hari tidak hujan. Sebab kondisi itu menyebabkan mereka kesusahan air. Berbeda kala hujan, mereka bisa menampung.

“Kalau air khusus untuk minum dari galon. Beli ke luar ke jalan raya. Untuk satu minggu dua galon. Kalau untuk masak kita ambil dari mata air bawah,” kata kata Rozi.

Dia mengatakan keluarganya dapat mengeluarkan uang Rp12.000 untuk mengisi dua galon air setiap satu minggu. 

Sebelumnya sejak kecil dirinya dan keluarga mengambil air di beberapa mata air yang letaknya bisa 200 sampai 500 meter dari tempatnya bermukim. 

Rumah tangga Rozi sendiri butuh air untuk mencuci piring sampai dua kali sehari. Kebutuhan bisa sampai 4 jeriken atau 10 liter dan itu sekali angkut. “Kalau musim panas sekali atau kering sekali bisa empat sampai lima kali bolak-balik Rendra mengambil air,” katanya.

Kalau sampai lima kali berarti ada 10 jeriken yang diangkat anak yang sudah usia Sekolah Menengah Pertama ini. Terkait adanya pipa sejak 2013 tidak sampai ke tempatnya.

Rozi lahir di Jorong Lurah Ingu dan sejak lahir kondisi air masih tak jauh berbeda. Kabarnya beberapa warga sudah memasukkan proposal entah kemana dan ada yang mau dikasih tapi belum pernah ada bantuan sampai. “Katanya mau bikin air pam juga dulu, sampai saat ini belum ada air. Kalau bisa air pam (perusahaan air minum) sampai di sini bisa untuk minum. Semuanya butuh air, apa-apa ya butuh air,” katanya.

Joni (25) mengatakan sejak kecil kondisi air di kampungnya memang sulit. “Terkadang karena air sulit dulu, wudhu aja sering terlewat,” katanya.

Dia mengatakan untuk lokasi tempatnya tinggal hanya satu mata air yang diambil. Ada pun lokasi genangan air depan rumah Erizal sering tercampur racun pestisida. “Ini sudah berapa hari tidak hujan sudah susah air, kadang kering juga mata airnya,” kata Joni.

Jorong atau kampung sempat menyambungkan pipa dari masjid baru menuju beberapa rumah warga. Namun tak semuanya teraliri. “Ada sekitar tujuh rumah yang tidak dapat,” katanya.

Mereka tinggal di Jorong Lurah Ingu Nagari Simpang Tanjuang Nan IV Kecamatan Danau Kembar Kabupaten Solok. Sebuah perkampungan yang berlokasi di perbukitan. Rozi bilang kalau lebih pagi lagi biasanya para ibu dan bapak-bapak mengambil air ke bawah. 

Masyarakat setempat secara swadaya mengalirkan air dari masjid baru yang mereka bangun tak jauh dari kampung mereka. Supratman adalah salah satunya yang punya kesempatan mendapat aliran tersebut. Sebab tak semua warga kampung dapat aliran ppipa ini. Rumah Rozi tak dapat digapai oleh aliran ini karena posisinya yang lebih tinggi. 

Ada Pipa Air Dari Masjid Tapi Tak Semua Kebagian

Bagi Supratman air merupakan sumber kehidupan. “Kalau air lancar untuk masa datang otomatis kampung semakin ramai. APa pun yang dibutuhkan terkait masalah air ini ‘kan tidak terbatas. Dimanapun kita berada pasti kita butuh air,” katanya.

“Kalau air kurang pasti kebersihan kurang, tapi kalau air lancar pembangunan pun lancar di sini. Jadi kalau harapan kami mudah-mudahan ada donatur atau bantuan PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) untuk kita. Kalau sekarang saluran kami baru swadaya dan belum ada terorganisasi sedikit pun,” tambah pria yang tinggal bersama lima orang dalam satu rumah.

Pipa yang tidak mengaliri seluruh warga Jorong LUrah Ingu d

Dia mengatakan pipa air itu ada sejak 2013. “Sebelum tahun itu kalau kami ingin ada air diangkut sama ember atau jeriken. Ya seperti yang kita lihat itu. Ada yang jaraknya 200 meter dan ada yang jauh. Tapi kebanyakan lebih. Sebab kita berada di punggung bukit,” katanya.

Wali Nagari Simpang Tanjung Nan Ampek yang secara administrasi membawahi Jorong Lurah Ingu ini kemudian Mongabay hubungi via telepon. Namun dirinya mengatakan sedang ada acara. Terkait kapan bisa dihubungi dia tidak menjawab pasti. “Kapan-kapan saja,” katanya melalui sambungan telepon.

Wali Jorong Lurah Ingu Adil ahmad fauzi (27) mengatakan pada kondisi kemarau hampir semua warganya mengalami kesulitan air. Karena rata-rata warganya tinggal di atas bukit.

Warganya ada sekitar 280 Kepala Keluarga (KK). “Karena sumber air itu ada di bawah,” katanya.

Dia mengatakan sempat ada bantuan yang akan datang dari baznas. Namun hingga kini tak ada kabar. Dia berharap ada solusi seperti membuat bendungannya atau wadahnya di dataran yang rendah atau sumber air lalu dialirkan dengan mesin ke lokasi yang berada di atas bukit.

Dia menyebutkan jorong atau kampungnya membawahi wilayah Rimbo Situmpak, Beringin, Pakan Selasa, Sibasah, Puncak Tambuak, Kampung Baru dan Perumahan Palo. Kampung terakhir itu yang berada dibawah dan punya sumber air.

Dia mengatakan hanya ada sekitar tujuh rumah di Puncak Tambuak yang mengambil air ke kaki bukit. Selain itu dapat aliran dari masjid. Namun kata Adil hanya sebesar kelingking aliran airnya.

“Tapi kalau sudah musim kemarau yang tinggal di atas bukit ini, sumurnya pun kering,” katanya.

Jorong LUrah Ingu secara geografis berada di atas bukit dan bukit-bukit sudah banyak dibuka untuk jadi perkebunan masyarakat/ Foto oleh Jaka HB
Jorong Lurah Ingu secara geografis berada di atas bukit dan bukit-bukit sudah banyak dibuka untuk jadi perkebunan masyarakat/ Foto oleh Jaka HB

Apa yang Bisa Masyarakat Lakukan?

Masyarakat Jepang membuat kuil-kuil di puncak-puncak bukit. Sekitar seratus meter atau satu hektar dari sana tidak boleh ada penebangan kayu. Hal ini menurut Profesor Azwar Rasyidin, pakar hidrologis Universitas Andalas dapat menjamin ketersediaan air wilayah tersebut.

“Kalau misalnya nonton film Doraemon itu kan ada pepohonan di dekat kuil-kuil, ya seperti itu,” katanya.

Berbeda pula dengan yang ada di Minangkabau. Puncak-puncak bukit biasanya entah ditanam atau sudah ada aur atau bambu. Masyarakat memiliki mitos dan mengatakan banyak hantu sehingga orang takut untuk menebang pepohonan di puncak-puncak bukit.

“Selain itu juga dapat menjadi tempat berteduh ternak dan dapat mengambil kompos juga di sana,” katanya.

Pepohonan atau vegetasi di puncak-puncak bukit sangat penting. Azwar mengatakan teori yang mengatakan warga di atas perbukitan susah air karena berada di atas itu salah. Masyarakat bisa saja punya satu hektar di lahan tinggi dengan luasan tertentu dan memunculkan mata air dari sana. 

“Hanya saja harus sabar,” katanya.

Sebenarnya puncak-puncak itu tidak boleh dibuka. “Haram dibuka puncak-puncak itu,” katanya.

Kalau memulai dari awal dan dengan prasyarat curah hujan tertentu mata air dapat muncul. Hanya saja jika jaraknya satu meter dari atas berarti butuh waktu setahun dan kelipatannya.

Melalui peta tahun 1800-an Azwar melihat banyak sumber air pada bentang alam yang dekat dengan Danau Atas dan Danau Bawah. Seperti rawa atau sebuah daerah dengan nama kepala danau. Jika lokasi itu kembali ditanami vegetasi atau dihijaukan maka air di Jorong Lurah Ingu akan tersedia walaupun di dataran tinggi.

“Setelah ditanami puncaknya, satu meter dari puncak itu, di lereng nya bisa dipasang batu agar airnya tertahan dan tidak meluncur saja ke bawah,” katanya.

Azwar mengatakan sebenarnya orang minang punya orang yang diberi jabatan sebagai Tuo Banda. Hanya saja sekarang tidak ada lagi dan pembukaan lahan tidak lagi melihat sumber-sumber air yang lahannya haram dibuka.

Profesor Azwar Rasyidin menamatkan strata satunya di Universitas Andalas pada 1982. Strata dua di Shimane University Jepang pada 1991 dan Strata tiganya di Tottori University Jepang. Tema penelitiannya Genesis dan Evaluasi Lahan.

Jawaban PDAM

Reporter kami Dito bertanya langsung pada Direktur Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Solok Febri Fauza terkait ini.  

Dia mengatakan PDAM sifatnya masih menunggu kebijakan pemerintah kabupaten untuk membangun pipa air. Sebab pihaknya hanya mengelola distribusi bagian hilir dan untuk perencanaan infrastruktur kewenangannya ada di pemerintah kabupaten.

Dia mengakui belum adanya infrastruktur itu di Jorong Lurah Ingu Nagari Tanjung Nan IV Kecamatan Danau Kembar. Malahan dia menambah ada beberapa lokasi lain yang juga belum memiliki saluran pipa PDAM.

Selain Kecamatan Danau Kembar ada pula daerah Tigo Lurah, Payung Sekaki dan Junjung Sirih. Empat kecamatan ini kata Februa mengelola airnya secara swadaya. Namun Kecamatan Junjung Sirih sudah ada perencanaan untuk membangun infrastrukturnya tahun 2023 ini. 

“Beberapa jorong di Nagari Simpang Tanjuang Nan IV pengelolaan airnya melalui program Pamsimas,” katanya.

Dukung kami untuk menghadirkan cerita, dan liputan yang mendalam terkait yang terpinggirkan.

 

Silahkan klik tautan dibawah ini.