Beberapa tahun yang lalu Uyung Hamdani (44) terkejut mendengar kabar kawannya yang pindah ke Tanjung Pinang wafat. Melalui sambungan telepon keluarga kawannya bercerita tentang tuduhan-tuduhan yang tersebar cepat dan membuat informasi salah membunuh kawannya pada 2018.
“Waktu itu kawan saya menolong seorang anak yang terjatuh. Tahu-tahunya orang meneriakinya sebagai penculik anak,” katanya.
Lantas massa mengeroyok lelaki itu hingga mengalami luka parah. Satu provinsi kepulauan riau marah dan menuduh lelaki itu, pada akhirnya polisi mengatakan dia bukan penculik anak.
“Keluarganya padahal sudah menjelaskan,” katanya.
Terlebih media-media juga sedikit yang menginformasikan kejadian sebenarnya. Hanya dari sisi kepolisian saja yang memerlukan waktu. Padahal Uyung mengenal sosok tersebut juga sempat menjadi relawan Palang Merah Indonesia dan mempunyai sifat yang ramah.
Bila teman Uyung yang berada di provinsi berbeda itu meninggal, korban kekerasan seksual lainnya mengalami trauma berat. Informasi yang berseliweran membuat korban kekerasan stres.
“Belum lagi datang stigma-stigma untuk korban,” kata Merry selaku direktur Woman Crisis Center Nurani Perempuan.
Editor at Large Roehana Project Jaka HB mengatakan informasi itu rumit dan ruwet. “Yang membuat ruwet adalah banyaknya informasi yang masuk ke laptop atau gadget kita,” katanya.
Ada 3,5 miliar informasi setiap harinya naik ke internet. “Menurut Jurgen Habermas, pakar komunikasi Jerman, 30 pesan saja yang sudah membuat kita kehilangan fokus. Belum lagi kawan-kawan peserta merupakan pegiat sosial yang mengurusi kasus-kasus yang memengaruhi mental,” katanya.
Yuliana dari PKBI membenarkan hal itu. Hampir setiap hari dia mengurusi dampingannya yang merupakan pekerja seks. Terkadang pesan lain turut menimpa pesan yang sedang diurusnya di aplikasi yang sama. Belum lagi informasi-informasi yang membuat emosi tersulut.
Cara Konsumsi Informasi Berubah
Jaka mengatakan cara kita mengonsumsi informasi sudah berubah. Sebelum era informasi sebegini cepat kita akan pergi ke perpustakaan, membaca koran sekali sehari atau bertanya pada yang ahli, sekarang kita memiliki seluruh dunia di ujung jari. Melalui media sosial dan siklus berita 24 jam mereka membuat otak manusia terus bekerja.
Sehingga pekerja-pekerja sosial, pegiat-pegiat Hak Asasi Manusia di Sumatera Barat mudah teralihkan fokusnya. Semuanya menjadi bising.
“Seperti kata Albert Camus kebisingan membuat cinta tak pernah tuntas dan keadilan tak pernah utuh,” katanya.
Nanda salah satu peserta dari KKI Warsi bertanya bagaimana caranya agar data-data aman dan tetap dapat mempublikasi kerja-kerja mereka.
“Kita perlu membagi data kita,” kata Jaka.
Hal ini disampaikan dalam Roehana Project bersama Tactical Tech yang merupakan NGO (Non-Governmental Organization) yang berkantor di Berlin, Jerman, mengadakan workshop terkait data detox bagi dua puluh satu pegiat Hak Asasi Manusia di Sumatera Barat.
Organisasi-organisasi itu adalah YCMM, Sumatra Institute, WCC Nurani Perempuan, LP2M, PKBI, KKI Warsi, Aliansi Jurnalis Independen, Walhi Sumbar, LBH Padang, LBH Pers Padang dan Perkumpulan Qibar.
Dalam acara ini perbincangan kerja-kerja pegiat HAM seringkali teralihkan dan membutuhkan detox data yang sesering mungkin.
Virtuous Setyaka selaku Dosen Hubungan Internasional Universitas Andalas menyampaikan secara global adanya dunia digital mempunyai dua sisi. Dapat menimbulkan kenyamanan karena memudahkan kehidupan. Ada pula ketidakamanannya yang memberi ancaman lain dari segi privasi dan keamanan data.
“Isu keamanan digital dan keamanan siber menjadi bagian dari isu-isu hak asasi manusia, demokrasi dan keadilan sosial,” katanya.
Desain Iklan Mempunyai Siasat Memengaruhi Alam Bawah Sadar
Adzwari Ridzki selaku konsultan komunikasi dan media menyampaikan bagaimana siasat desain dalam memengaruhi pengguna internet secara tidak sadar.
Pengiklan punya cara untuk memengaruhi pengguna internet melalui desain. “Desain bisa menjadi baik dan menjadi buruk,” kata pria yang kerap disapa Ridzki ini.
Dia mengatakan kewaspadaan untuk desain persuasif belum ada. Kalau pun ada itu tercakup dalam undang-undang perlindungan konsumen dan itu belum memadai. Persoalannya lagi seberapa besar pemerintah melihat persoalan digital pattern. Di dalamnya terdapat dark pattern.
Ridzki mengatkan dark pattern adalah unsur dalam desain web yang sengaja dibuat untuk menyembunyikan, mengelabui, menipu dan bahkan memeras pengunjung suatu situs atau pengguna suatu aplikasi digital. Dia mengatakan dapat juga bertujuan pengunjung situs membuat keputusan spontan yang mungkin bahaya.
Dia menyebut ada tiga dampak dari dark pattern ini. Mulai dari click by mistake, spend more money, dan lose your way.
“Kita terkadang dipaksa untuk membeli sebuah produk yang tidak kita butuhkan. Itulah cara kerja dark pattern,” katanya.
Ridzki mencontohkan lagi soal posisi peletakan jajanan di mini market yang letaknya di bawah. Karena pasarnya anak-anak tentu ini bisa saja jadi desain persuasif, jika itu bermanfaat. Namun menurutnya jika merasa dirugikan maka bisa masuk ke dalam dark pattern.
Selain Ridzki ada Diki Rafiqi dari Lembaga Bantuan Hukum Padang. Dia mengatakan demi kesehatan kita perlu membuang pikiran negatif atau hal yang sebenarnya tidak perlu.
“Begitu juga dengan keamanan digital. Kita perlu juga mendetox keamanan digital kita. Jika berlebih maka akan menjadi masalah bagi tubuh atau kesehatan kita. Seperti memakai gawai atau laptop,” katanya.
Foto: Iqbal dan Je Wanggay