Oleh: Jaka HB
Setahun yang lalu saya mampir ke makam Mohammad Yamin di Desa Talawi Kota Sawahlunto. Situs kota sejarah Sumatera Barat yang bertungkus-lumus dengan batu bara ini kemudian menjadi pengingat bagaimana Yamin yang masih usia 25 tahun itu ikut kongres pemuda di Jakarta 1928.
Saat itu pria berdarah minang ini konon, menurut Muhidin M Dahlan dalam esainya, dengan semangat tampil sebaik-baiknya karena ada gadis yang membuatnya jatuh cinta. Ya akhirnya mereka menikah pada tahun 30-an. Namun bukan itu yang ingin saya bahas tapi bagaimana pemuda punya ruang dalam keputusan-keputusan penting kala itu.
John Ingleson dalam Road to Exile menulis bahwa anak muda sudah banyak membuat kelas-kelas pergerakan hingga akhirnya menyatukan mereka-mereka ini. Mulai dari berdiskusi, merencanakan, bergerak dan mengeksekusi. Sebab orang-orang tua terlampau lambat merebut kemerdekaan.
Hanya Sekadar Glorifikasi
Hari ini glorifikasi mengenai gerakan anak muda era itu terus digaung-gaungkan. Hanya sebatas itu. Pergerakan anak muda hari ini terhenti pada pengambil keputusan. Mereka hanya diundang, foto-foto, diminta berbicara untuk dokumentasi dan sudah. Semua sekadar basa-basi.
Kalau bahasa minangnya, bawa-bawa anak muda ini hanya sekadar opok. Puji-pujian sekadarnya dan tidak dimaksudkan serius. Seperti mengatakan teman anda pintar dan bagus dalam banyak hal tapi dalam hati sebenarnya anda tidak peduli dan agar tidak dimusuhi saja. Atau malah sebuah satire untuk mengejek.
Perkara paling dekat adalah gonjang-ganjing dan gimmick politik dari Mahkamah Kelu.. Konstitusi maksud saya dan hubungannya dengan Gibran, hingga bagaimana pemerintah menuntut anak muda harus menjaga lingkungan dan punya inovasi. Bagaimana caranya? Tentu saja kamu harus merupakan anak presiden, anak orang kaya atau anak pejabat setempat. Kalau pun mau coba-coba kamu bisa saja sampai finish dengan tubuh penuh luka dan hidup yang tidak lama.
Ada pilihan lain, jika kamu berusaha sendiri dan berhasil, kamu akan seperti tanaman liar yang tumbuh bagus dan tiba-tiba diklaim bahwa negara memeliharamu atau sebaliknya jika tidak.
Ketika ada yang bertanya padamu tentang bagaimana bisa berhasil tentu saja kamu tidak akan mengatakan bahwa itu karena jejaring orang dalammu. Kamu tinggal bilang: Ya kalau nggak percaya nggak apa-apa. Atau yang lebih dahsyat seperti kata pemuda cawapres kemarin: Ya sudah kalau tidak suka ya tidak usah pilih. Seolah-olah tidak ada masalah struktural yang membelenggu politik praktis kita. Seperti misalnya Presidential Threshold dan semacamnya.
Kondisi ini tak hanya terjadi di Indonesia tapi juga pada tataran global seperti COP (Conference of The Parties) 26 yang merupakan pengambil keputusan tertinggi United Nation untuk perubahan iklim.
Youthwashing pada Gerakan Global
Ada wawancara menarik dengan Sophia Kiani di Vice.com waktu itu. Dia mendirikan organisasi nirlaba internasional bernama Climate Cardinal. Dia merasa perusahaan-perusahaan perusak lingkungan hanya memanfaatkan kehadiran mereka agar muncul citra mereka yang tobat menyelamatkan lingkungan atau memberi ruang untuk mereka catat.
Selain itu Konstituen Perempuan & Gender, salah satu kelompok pemangku kepentingan resmi UNFCCC (Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim) mengatakan kepada VICE World News ada eksploitasi akan apa yang mereka perjuangkan. “Perusahaan atau pemerintah tidak dapat melakukan youthwashing atau greenwashing terhadap kaum muda,” kutip Vice.
Karena bonus demografi anak-anak muda hari ini hanya menjadi komodifikasi politik dan kepentingan bisnis. Ketika mereka bersuara dan benar-benar punya bukti takan ada yang percaya karena anggapan tidak layak punya pengetahuan itu, ketika menjadi kritis malah muncul saran lebih baik belajar baik-baik dan pada lain waktu mereka yang bermain di politik mengatakan: Anak muda harus ini .. itu.. Pantek!
Saya kira makian tidak lebih kasar dari youthwashing ini.
Sebab antara pedebatan kepemimpinan anak muda ini calon-calon anak muda lain digusur dari tanahnya di Rempang, Air Bangis, Pulau Komodo atau lingkungannya dirusak oleh tambang nikel, batubara, paru-parunya dipenuhi abu batubara, hutan mereka dibabat terus menerus dengan alasan transisi energi, petani dibunuh di Klaimantan, persekusi pejuang lingkungan marak, krisis iklim terjadi dan kecemasan akan krisis iklim semakin meningkat.
Hidup anak muda!
BACA JUGA: Keanekaragaman Hayati Mentawai yang Pelan-Pelan Lenyap dalam Senyap