A_school_and_raining_of_big_paper_of_dollar/imagine.art

UKT Tak Transparan, Mahasiswa Merasa Tak Sepadan dengan Fasilitas Kampus

 

 

Mahasiswa Universitas Universitas Andalas, Sumatera Barat, merasa Uang Kuliah Tunggal (UKT) mereka tak transparan mekanisme dan alur uangnya. Selain itu mereka merasa mahalnya biaya itu tak sepadan dengan fasilitas yang mereka dapat. 

 

Reporter kami, Lovi, menemui enam mahasiswa Unand untuk mencari tahu dampak Uang Kuliah Tunggal (UKT) pada ekonomi mereka secara personal. Rata-rata mereka mengajukan keringanan dan gagal. Mahasiswa juga menilai pemanfaatan uang kuliah ini tidak transparan. Sebab tingginya biaya tak berbanding lurus dengan fasilitas yang mereka dapat.

 

Jalur SMBPTN

 

Taufik (22) merupakan mahasiswa angkatan 2020 dan lulus melalui jalur SMBPTN. Dia harus membayar UKT setiap semester Rp 2.750.000. Dia harus menabung tiap bulan agar dapat melanjutkan kuliah di Hubungan Internasional.

 

“Namun terkadang tidak bisa menabung setiap bulan, sehingga tetap harus mencari biaya tambahan di setiap akhir semester,” katanya.

 

Keputusan mencari tambahan tak lain karena kondisi ekonomi keluarganya yang sulit. Dia sempat mengajukan penurunan ke golongan yang lebih rendah ketika penentuan golongan UKT. Sebab tak ada penjelasan mengapa dia mendapat golongan tersebut.

 

Dia mengambil sampingan kerja membuat artikel ke sebuah domain. Meskipun begitu dia tak pernah cuti karena tidak bisa membayar UKT. Dia sendiri tak mendapat sosialisasi yang lengkap terkait UKT ini.

 

Melihat kondisi kampus, menurutnya fasilitas belum sepadan dengan UKT yang telah dia bayar. “Memang transparansi info mengenai tagihannya cukup jelas. Namun komponen pemghitungan dan kemana arah pemakaian UKT tidak jelas,” katanya.

 

Begitu pula tentang skema pengurangan. “Jika KRS di bawah 9 maka dapat pengurangan UKT,” katanya.

 

Dia berharap penilaian dan penentuan golongan UKT harus lebih jelas. “Sebaiknya dibuat badan konseling UKT secara offline untuk berdiskusi dan negosiasi soal UKT atau komunikasi dua arah. Karena kalau hanya pengisian data secara online melalui website rasanya kurang efisien,” katanya.

 

Roehana juga menemui Azizah Salsabil burhan (22) dari jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat angkatan 2021. Dia masuk melalui jalur SBMPTN dengan UKT 5,1 juta. Dia masuk golongan 5. 

 

Azizah merasakan UKT ini sangat berdampak ke finansial orang tua. “Apalagi punya banyak saudara yang sama-sama kuliah dan sekolah. Ayah juga sudah pensiun dari pekerjaannya dan hanya ibu yang bekerja,” katanya.

 

Tiga saudara kuliah dan satu pesantren sempat membuatnya berpikir untuk cuti. Sebab sesekali orang tua juga dapat bantuan saudara yang sudah bekerja untuk membiayai dia dan saudara untuk menempuh pendidikan.

 

Menurutnya besaran UKT yang dia terima tidak sesuai dengan sarana prasarana yang ada. “Tidak sesuai, banyak sarana prasarana unand yang rusak seperti kursi, meja, lalu untuk fkm katanya bakal ada praktek di labor jadi ukt mahal, ternyata belum pernah sampe sekarang,” katanya.

 

Selain itu dia melihat banyak kursi dan meja yang rusak, lalu untuk fakultasnya juga katanya ada praktik laboratorium. Namun, dia belum pernah merasakannya sampai sekarang. Dia merasa ada ketidaktransparanan, sebab mahalnya UKT berbanding terbalik dengan kondisi fisik kampus yang ada.

 

Dia pernah mengajukan penurunan UKT. Namun, hanya turun sedikit dari golongan enam dengan biaya 6,4 juta pada semester tiga ke golongan 5 dengan biaya 5,1 juta. 

Dia berharap transparansi UKT harus jelas, kemana arah pemakaiannya. “UKT juga harus mempertimbangkan kemampuan orang tua,” katanya.

 

Kesulitan lain dialami Raham (20) dari ilmu Biomedis tahun 2022 melalui jalur SNMPTN. Dia memiliki tiga saudara yang sama-sama kuliah di kampus itu. Hal ini sempat membuatnya menunda membayar UKT. “Sempat dibantu pihak fakultas melalui beasiswa, namun hanya untuk semester itu saja,” katanya.

 

Dia berusaha mencari beasiswa untuk meringankan bebannya. Sebab dia dan saudaranya berkuliah di Fakultas Kedokteran. 

 

Mahasiswa Anggap Transparansi Menjadi Kriteria Penting Dalam Penentuan UKT 

 

“Perlunya transparansi kriteria penentuan UKT, kurangnya tinjauan ulang dalam penetapan UKT karena pengisian datanya dilakukan secara online dan langsung muncul golongannya. Seharusnya ada pengecekan ulang tentang penentuan besaran UKT agar sesuai dengan kemampuan mahasiswa,” katanya.

 

Selama ini dia tidak tahu apa yang jadi patokannya itu. “Karena pengisian data UKT dilakukan secara online, sehingga ketika golongan UKT muncul sudah tidak bisa diganggu gugat. Hanya bisa mengajukan bantuan dan keringanan,” katanya.

 

Fathu Ridho (21) jurusan gizi yang masuk UNandm melalui jalur SBMPTN ini mendapatkan posisi pembayaran UKT di golongan 6 dan tujuh. Antara 6,4 juta sampai 7,7 juta. 

Dia merasa ekonomi keluarganya sulit. “Selain terdampak pandemi, saat ini hanya ibu yan mencari nafkah dan kondisinya memiliki saudara yang masih sekolah dan kuliah,” katanya.

 

Dia mengatakan ayahnya sudah tidak bekerja karena pandemi. Meskipun begitu dirinya juga mengambil kerja paruh waktu. Namun orang tuanya tak mengizinkan. 

 

Dia mengatakan fasilitas kampus tidak sepadan dengan biaya kuliah yang dibebankan. Terutama Fakultas Kesehatan Masyarakat yang sampai saat ini belum memiliki gedung fakultas sendiri, fasilitas kelas tidak memadai dan ada juga yang rusak.

 

Selain itu terkait transparansi dia merasakan tidak ada transparansi kemana arah penggunaan UKT. Padahal setahu mahasiswa 60 persen pendapatan unand berasal dari UKT mahasiswa.

 

Dia pernah berpartisipasi dalam memprotes soal UKT ini, namun akhirnya mencabut tuntutan karena respon universitas tetap sama.

“Tolong dimaksimalkan kualitas dari fasilitas kampus dan penuhi hak mahasiswa serta tolong penentuan UKT tidak otomatis dari server, karena saya merasa masih belum sesuai dengan kemampuan orang tua,” katanya.

 

Jalur Mandiri Pun Terkena

 

Dani Hamdani (21) jurusan agroteknologi angkatan 2022. Dia membayar per semester Rp 6.000.000. Penentuan golongan ini sangat berdampak pada perkonomian keluarga. “Karena orang tua juga harus membiayai pendidikan saudara-saudaranya yang lain,” katanya.

 

Dia harus membayar segitu karena masuk jalur mandiri, tapi dia tidak lolos mendaftar Kartu Indonesia Pintar (KIP-K). “Sempat ragu melanjutkan kuliah, namun orang tua menyuruh harus tetap lanjut,” katanya.

 

Karena angka yang arus dibayarkan keluarganya juga meminjam ke kerabat dekat untuk pembayaran kuliah. Selain itu dia juga mengambil kerja paruh waktu di sebuah warung makan. Dia belum sampai harus cuti kuliah untuk membayar UKT.

 

Menurutnya uang yang dibayarkan dan fasilitas yang didapat juga belum sepadan. “Seperti fasilitas kelas yang tidak memadai. Meja dan kursi yang kurang, kipas angin yang rusak dan lainnya,” katanya.

 

Dia mengatakan pernah juga mengajukan keringanan UKT ke dekanat. Namun dia mendapatkan jawaban bahwa mahasiswa jalur mandiri tidak dapat mengajukan keringanan UKT. “Sudah coba daftar beasiswa. Namun masih belum jelas kelanjutannya,” katanya.

 

Dia berharap Unand memperbaiki tata cara penentuan dan penargetan biaya UKT. “Sebaiknya mahasiswa jalur mandiri juga ada pembagian golongan, sesuai dengan kemampuan ekonomi yang dan diberikan kesempatan meringankan UKT,” katanya. 

 

Lovi juga menemui Kharisma Amanda (20). Menurut mahasiswa Sastra Inggris ini UKT ynag cukup tinggi menyulitkan orang tua dalam pembayaran. “Sudah sempat bertanya pada kaprodi, beliau bilang bisa mengajukan penurunan. Namun setelah itu pengumumannya dicabut,” katanya.

 

Dia mengatakan kenaikan biaya kuliah tidak sepadan dengan kualitas fasilitas. Ketika Amanda kuliah sampai sore terkadang lampu kelas berkedip-kedip, kursi dan meja rusak, dan infokus kelas sempat rusak.

 

Menurutnya belum ada transparansi arah pemakaian UKT. “Terutama saya mahasiswa PMM yang katanya pihak kampus akan menanggung 50 persen UKT, namun tidak ada kejelasan sampai saat ini,” katanya.

 

Amanda mengatakan pernah mengajukan keringanan saat masih mahasiswa baru. Namun, dia mendapat jawaban tidak bisa dari kampus karena masih baru. Saat semester 3 dia kembali mengajukan dan kembali mendapat penolakan, alasannya karena mahasiswa jalur mandiri. 

 

“Seharusnya, jika UKT tinggi, maka fasilitas kampus harus terjamin. Namun, UKT yang terlalu tinggi juga tidak baik. Jadi sebaiknya harus disesuaikan denagn kemampuan ekonomi masing-masing mahasiswa,” katanya.


Dukung kami untuk menghadirkan cerita, dan liputan yang mendalam terkait yang terpinggirkan.

 

Silahkan klik tautan dibawah ini.