Buku Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998 Muhidin M Dahlan/roehanaproject.com/Ferdiansyah Rivai

Sukatani dan Punk yang Terasa Dekat

Oleh: Awal Hasan

 

“Punk yang dibawakan Sukatani bukanlah punk yang jauh, tapi yang terasa dekat”.

 

 

Hal paling lucu dari pencekalan duo Sukatani adalah efeknya yang justru makin mempopulerkan nama dan lagu-lagu Sukatani. 

 

Bayangkan: dulu rata-rata pendengar Sukatani anak-anak skena punk. Ruang lingkupnya sempit. Istilah kalcernya niche. Tapi sejak kasusnya kemarin bahkan ibu saya dikirimi konten TikTok dengan lagu Sukatani yang judulnya “Gelap Gempita”. Itu juga lagu Sukatani kesukaan Bu Lik saya, btw. Saya mengetahuinya setelah ngobrol dengan beliau pada suatu sore, ketika dia tiba-tiba berkomentar soal pencekalan Sukatani.

 

Saat esai ini ditulis, lagu “Gelap Gempita” sudah menyentuh angka satu juta kali putar di Spotify. Padahal sebelum dicekal lagu-lagu mereka baru didengarkan puluhan ribu kali. Ini belum termasuk lagu “Bayar Bayar Bayar” yang dicabut dari berbagai platform akibat tekanan dan intimidasi dari kepolisian. Berbagai akun langsung mengunggah lagu tersebut di YouTube, termasuk versi remix dari para musisi yang bersolidaritas.

 

Ada banyak alasan kenapa saya tertarik dengan Sukatani. Fakta bahwa kedua personilnya adalah pasangan suami-istri dan ngepunk bersama. Ini romantis sekali. Kemudian bahwa keduanya berasal dari Purbalingga, dan ternyata vokalisnya sehari-hari menjadi guru di sebuah SDIT di Banjarnegara. Ia satu tempat mengajar dengan saudara saya. Ini semua menjadikan Sukatani dan karya-karya mereka terasa dekat secara personal, karena saya juga berasal dari Banjarnegara. 

 

Siapa sebenarnya Sukatani? 

 

Proyek bermusik Sukatani bermula sejak 2022. Setahun kemudian mereka meluncurkan album perdana bertajuk “Gelap Gempita”. Isinya lagu-lagu bernuansa punk dan new wave. lirik-liriknya kritis kepada otoritas, khususnya pemerintah dan pemilik modal. 

 

Untungnya lirik Sukatani menggunakan kata-kata yang mudah dipahami oleh orang awam sekalipun. Saya kira ini usaha agar eksistensi mereka tidak menjadi elitis–seidealnya grup yang mendaku dirinya “punk”. Lebih tepatnya: band punk yang peduli masalah lingkungan, ketahanan pangan, dan kesejahteraan petani. Namanya saja “suka tani”. Atau tonton aksi panggung mereka, yang membagikan hasil bumi seperti sayuran kepada penonton. 

 

Selanjutnya mari kita bedah lirik lagu Sukatani, yang saya kira jadi medium paling pas untuk menganalisis sikap band terhadap berbagai isu. Misalnya lirik lagu “Sukatani”. Di satu menit pertama, tanpa iringan musik, Sukatani menyelipkan suara seorang petani yang bercerita tentang pengalamannya diintimidasi oleh tentara yang mencabuti tanamannya.

 

Suara si petani terdengar santai, ibarat sedang menjadi tamu sebuah acara podcast. Katanya, setelah lahannya dirusak, si petani kemudian dibawa ke koramil dan diancam agar jangan melawan pemerintah. Namun si petani tidak takut. Ia kembali menanam di lahan yang sama, bahkan mengundang tentara yang mengintimidasinya untuk ikut syukuran dan makan–makan pasca-panen. 

 

Ketika musik mulai mengalun, vokalis Sukatani meneriakkan rasa terima kasihnya kepada petani dalam lirik yang sepenuhnya menggunakan bahasa Jawa Banyumasan, atau biasa disebut bahasa Ngapak:

 

Maturnuwun wong tani (Terima kasih petani)

 

Dewek dadi teyeng mangan (Kita jadi bisa makan)

 

Maturnuwun wong tani (Terima kasih petani)

 

Sing wis ngejaga lingkungan (Yang sudah menjaga lingkungan)

 

Lagu “Alas Wirasaba” tak kalah menarik. Untuk membedah liriknya, kita perlu melebarkan perspektif, yaitu dengan membedah pola pikir pemerintahan Joko Widodo dalam sepuluh tahun terakhir. Para relawan menyebutnya: Jokowisme.

 

Jokowisme dan Proyek Tidak Strategis Nasional Bandara JBS

 

Laporan Kurawal Foundation tahun 2023 menjabarkan Jokowisme ditopang oleh dua strategi: (1) menjadi populis, (2) menjadi developmentalis. Strategi kedua lebih tepatnya menjadi infrastrukturalis, karena “development” atau pembangunan yang difokuskan Jokowi sesungguhnya berfokus pada proyek infrastruktur. Bukan, misalnya, pembangunan karakter yang sempat ia kampanyekan melalui frasa “Revolusi Mental”.

 

Kenapa infrastruktur? Karena Jokowi paham selera masyarakat Indonesia khususnya kelas menengah. Di mata mereka pemerintah akan dianggap benar-benar bekerja jika hasilnya bisa dibuktikan secara fisik dan dinikmati secara langsung oleh masyarakat. Oleh sebab itu, sejak pertama kali menjabat sebagai presiden, Jokowi menggenjot proyek pembangunan jalan tol, bandara, kereta cepat, hingga yang menimbulkan banyak kontroversi: Ibu Kota Nusantara.

 

Salah satu hasil pembangunan di era Jokowi adalah Bandara Jenderal Besar Soedirman (JBS). Secara administratif Bandara JBS berada di wilayah Kabupaten Purbalingga. Lebih tepatnya di sebuah desa yang bernama Wirasaba, yang kemudian menginspirasi lagu “Alas Wirasaba”.

 

Bandara yang diresmikan pada 3 Juni 2021 itu melayani penerbangan domestik Jakarta-Purbalingga-Jakarta. Awalnya pemerintah dan publik cukup antusias. Namun mereka harus ditampar oleh kenyataan bahwa daya beli masyarakat kian melemah. Penjualan tiket pesawat anjlok sejak pandemi Covid-19. Bandara tak mampu memenuhi kuota minimal untuk bisa beroperasi. Akhirnya, setelah pembukaan selama kurang lebih satu tahun, bandara JBS mati suri.

 

Hilangnya Taman Bermain dan Sumber Pangan

 

Jika kamu jalan-jalan di sekitar bandara JBS, kamu akan bertemu area persawahan yang luas, perkebunan yang subur, dan perkampungan warga lokal. Ini menjadi lanskap yang dinarasikan Sukatani dalam lirik lagu “Alas Wirasaba”, atau dalam Bahasa Indonesia berarti Hutan Wirasaba.

 

Pas esih cilik inyong, pada mlaku-mlaku (Waktu ku kecil, aku sering jalan-jalan)

 

Karo batir-batir maring Alas Wirasaba (Bersama teman-teman ke hutan Wirasaba)

 

Pada ngarahi tebu, meneki wit jambu (Memetik tebu, memanjat pohon jambu)

 

Dolanan sunda manda, karo brancakan (Bermain engklek, sambil petak umpet)

 

Namun tiba-tiba keasyikan itu lenyap ketika pemerintah datang bersama bulldozer-bulldozer yang menggusur hutan tempat anak-anak bermain.

 

Lah siki alase ‘ra ana (Lah sekarang hutannya sudah tidak ada)

 

Wis didadikna bandara (Sudah dijadikan bandara)

 

Terus inyong arep dolanan nang ngendi ya? (Terus aku bermain dimana ya?)

 

Jebul batire mbarang wis pada ilang (Ternyata teman-temanku sudah menghilang)

 

Bandara JBS di Purbalingga hanyalah satu dari bandara-bandara baru yang bernasib sama. Sebut saja Bandara Wiriadinata di Tasikmalaya, Bandara Ngloram di Blora, atau Bandara Kertajati di Majalengka. Proyek-proyek itu mengundang optimisme di kala gunting pita, namun mati suri setelahnya. Penyebabnya juga menurunnya daya beli yang membuat penjualan tiket anjlok. Dalam kasus Bandara Kertajati, ada pula faktor kekeliruan memilih lokasi yang ternyata tidak strategis. Bayangkan, sudah terlanjur menggusur lahan-lahan produktif, namun ternyata lokasinya tidak strategis!

 

Mati surinya bandara-bandara baru menimbulkan efek yang berantai. Janji terkait peningkatan ekonomi lokal, penciptaan lapangan pekerjaan baru, pelan-pelan menguap. Negara harus terus menanggung biaya pemeliharaan yang tidak sedikit. 

 

Dari sisi lingkungan, mengutip riset WALHI dan temuan Kompas, proyek strategis nasional di era pemerintahan Jokowi ternyata juga menimbulkan masalah ekologis. Mulai dari meningkatnya laju deforestasi, menambah emisi karbon, hingga memicu konflik agraria. Tak heran jika banyak yang berpendapat: proyek yang mendapat pengawalan aparat itu lebih menguntungkan oligarki ketimbang masyarakat umum.

 

Puncak Kemuakan di Sela-Sela Aktivitas Keseharian

 

Kondisi itulah yang dikritik Sukatani melalui lirik-lirik yang lugas dan irama yang menghentak. Punk yang dibawakan Sukatani bukanlah punk yang jauh, tapi yang terasa dekat. Dalam lagu “Bayar Bayar Bayar” Sukatani menyinggung budaya korupsi di tubuh kepolisian. Lewat lagu “Jangan Bicara Solidaritas” mereka menyindir aktivisme yang performatif belaka. Sementara dalam “Gelap Gempita” terkandung kritik yang tajam untuk para pejabat yang gila kekuasaan.

 

Meroketnya popularitas Sukatani tepat waktu. Tepat ketika masyarakat merasa muak dengan pemerintahan baru yang karakternya tak jauh berbeda dengan rezim sebelumnya. Yang sedang lelah menghadapi masalah-masalah yang ditimbulkan akibat kebijakan yang serampangan. Dan marah melihat kelakuan aparat yang justru seperti sedang memusuhi golongan sipil.

 

Mendengarkan lagu-lagu Sukatani memberikan pengalaman yang katarsis atas segala beban yang sekarang kita–warga biasa–tanggung di pundak masing-masing. Tidak percaya? Coba dengarkan. Sambil mengurus kebun, bermain bersama anak, membersihkan rumah, membaca buku, di sela-sela pekerjaan, kencan bersama pasangan, dan aktivitas keseharian lainnya yang biasa-biasa saja itu.



 

Grafis: repro/ F. Rakhmil

Dukung kami untuk menghadirkan cerita, dan liputan yang mendalam terkait yang terpinggirkan.

 

Silahkan klik tautan dibawah ini.