Oleh: Jaka HB
Tiara bersama tiga temannya memainkan sebuah bola kaki yang kempes dan tak lagi ada kulit luarnya seperti takraw. Mereka menendang-nendangnya dan kemudian tertawa. Mereka bermain tepat di tengah halaman Sekolah Dasar 06 Sinaka Dusun Koritbuah Desa Sinaka Kecamatan Pagai Selatan Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Mereka masih berpakaian putih dan bawahan merah serta menjinjing tas. “Sudah sejak kelas 5 bolanya kempes,” kata Rehan yang merupakan murid kelas 6.
Lalu datang Rino yang tunarungu ikut mengejar dan melepaskan tendangan sekali saja. Kata teman-temannya Rino memang tuli tapi dia bisa mengikuti pelajaran. Saat mau ditanya Rino berlari menjauh.
Saya menemui lima guru di salah satu ruang kelas. Ruang kelas itu terdapat kompor, lemari dan beberapa peralatan mengajar. Para guru di sana tidak punya ruang sendiri. Bahkan salah satu kelas dijadikan ruangan untuk menginap para guru yang merupakan sasareu atau orang luar.
Guru-guru yang statusnya pegawai negeri sipil jarang datang ke sekolah. Hanya guru honor dan yang memang ditugaskan oleh kementerian pendidikan yang rajin datang. Mereka adalah guru yang mengajar agama dan kewarganegaraan. Bagi guru yang datang dari jauh juga kadang tidur di salah satu kelas yang disulap jadi tempat menginap.
Selain gurunya, muridnya juga tidak hanya berasal dari desa itu. Anak-anak ini ada yang berasal dari Dusun Sinaka d harus menggunakan sampan melewati sungai besar dan pulau berbeda yang berjarak 15 menit dan Dusun Matotonan yang juga berjarak hampir sama.
Belasan anak Dusun Sinaka setiap pagi harus menggunakan sampan. Beberapa orang tua khawatir anak mereka terjatuh dari sampan dan bertemu buaya. Yang lebih menyusahkan lagi ada kabar di Korit Buah bahwa harus ikut PAUD dahulu baru bisa masuk SD. Akibatnya beberapa ibu harus menginap di Kori Buah agar anaknya bisa menjalani proses PAUD. Namun kini tak banyak setelah diberi tahu bahwa tak wajib ikut Paud jika ingin masuk SD.
Bagaimana dengan yang Sekolah Lebih Jauh?
Saya mengunjungi SMKN 2 Kepulauan Mentawai dan menemui beberapa siswa yang baru mendaftar atau yang mendaftar ulang pada tanggal 7 Juli 2023. Mereka adalah Amos siswa kelas II Jurusan Nautika Kapal Penangkap Ikan, Deni Suryani (17) yang merupakan adiknya, Ilarius Alex (17) adik sepupunya dan Susana. Selain itu ada pula Theresia Cici Setiawati (17) dan Gilbert Tomingse (15).
Mereka memiliki kesulitan berbeda. Sebab sekolah mereka tak seperti SD di Koritbuah yang kekurangan fasilitas dan air. Namun lebih pada bagaimana kiriman-kiriman uang bulanan dan makanan yang sulit dari kampung mereka di Siberut Barat. Tepatnya di Dusun Policoman dan Muara Sigep di Desa Sigapokna Kecamatan SIberut Barat.
Amos mengatakan ketika orang tua mereka mengirimkan makanan kadang ombak terlalu besar sehingga ketika makanannya sampai sudah busuk. Ketika semua yang dikirimkan–termasuk uang– terlambat datang, dia harus memutar otak. Sesekali dia membantu pemilik kosnya membersihkan kebun dan pekerjaan apa saja.
“Atau kalau lapar dan belum ada uang minum air putih sampai kenyang,” katanya.
Jika Amos dan kawan-kawannya sudah masuk jenjang sekolah menengah kejuruan yang setingkat dengan sekolah menengah atas, di Desa Sinaka anak-anak yang ingin masuk taman kanak-kanak pun harus rela jauh dari orang tua.
Jusril salah satu warga Dusun Matotonan Desa Sinaka, Kecamatan Pagai Selatan, mengatakan anak-anak mereka yang usianya sudah pantas masuk PAUD harus berjauhan dari orang tuanya. “Bila yang ingin anak-anaknya masuk PAUD. Mereka menginap di Dusun Korit Buah,” katanya. “Setiap hari Jumat mereka pulang ke sini”.
Untuk pergi ke Korit Buah mereka harus melewati ombak Samudera Hindia menggunakan boat kecil. Begitu pula dengan anak-anak yang berada di Dusun Mabolak. Mereka menggunakan dana pribadi untuk mengantarkan anak-anaknya.
Keluhan Orang Tua
Dina Mariana Sapalakai (32) seorang ibu rumah tangga di Dusun Sinaka memiliki empat orang anak yang bersekolah di sekolah dasar yang berlokasi di Korit Buah itu. Anak yang paling tua di kelas lima, lalu kelas empat, kelas tiga dan kelas satu. Keempatnya hampir setiap hari harus naik sampan ke desa itu.
Sekali berangkat Dina harus mengeluarkan uang 8000 rupiah. Kalau sekolah Senin sampai Jumat maka ada dana Rp 40.000 yang harus keluar. Terkadang kalau badai mereka tidak sekolah.
Dina berharap banyak pada anak-anaknya. Meski pun dia tak mencicipi bangku sekolah, dia ingin anak-anaknya punya nasib yang berbeda melalui jalur sekolah formal. Namun banyak sekali kekurangan yangg dirasakannya sebagai seorang orang tua murid. Mulai dari gurunya yang jarang masuk dan saat ditanya ke anak-anaknya belajar apa anak-anaknya tidak thau.
“Pas pulang sekolah saya tanya anak-anak bagaimana pelaharannya dan apa mata pelajarannya, kadang ibu guru tidak pernah memberi contoh. Jadi kalau bikin pekerjaan rumah susah karena tidak ada contoh,” katanya.
Buku-buku pelajaran juga mereka tak punya. “Apalagi kalau saya tanya anak-anak apakah pernah gurunya mendikte untuk belajar menulis? Nggak pernah bu guru memberikan seperti itu dalam pelajaran membaca, banyak kekurangan anak-anak di SD itu,” kata Dina.
Bagi Dina hidup serba terbatas tak menjadi alasan untuk tidak memperjuangkan pendidikan anak-anaknya. Dia mengatakan harusnya usaha ini maksimal. “Niat agar anak-anak agar maju terus ke depan, kami usahakan,” katanya.
Dia berencana menyekolahkan anaknya yang paling tua nanti di Pagai Utara. Tempat keluarganya tinggal. “Jadi aman dan terjamin,” katanya.
Sutrisno salah seorang warga Dusun Sinaka juga mengeluhkan sekolah PAUD di Koritbuah yang mewajibkan anak dusun mereka ikut dulu baru bisa melanjutkan ke Sekolah Dasar. Belum lagi ada biaya-biaya yang muncul.
Beberapa warga mengatakan kadangkala murid-murid hanya duduk di lantai. Sebab kursi-kursinya banyak yang rusak. Saat Kompas.com mengunjungi guru-gurunya saat jam sekolah, murid tidak masuk belajar. Saat ditanya mengapa, katanya karena sedang ada tamu yaitu Saya dan beberapa rombongan.
Rosiana salah satu warga Dusun Sinaka mengatakan cucunya seringkali pulang begitu saja setelah tahu gurunya tidak masuk. Maka dia seringkali kesal dengan sekolah cucunya di Korit Buah.
Perlukah Makan Bergizi Gratis untuk Mentawai?
Seolah mengabaikan kondisi pendidikan di area-area paling pinggir republik ini, pemerintah Republik Indonesia malah sibuk dengan kebijakan Makan Bergizi Gratis yang masih riuh di media-media dan sosial media.
Rifai Lubis selaku DIrektur Yayasan Citra Mandiri-Mentawai (YCMM) mengatakan sistem Makan Bergizi Gratis (MBG) seharusnya pemerintah daerah bisa gunakan untuk merekonstruksi kembali sistem pangan komunitas untuk mengandalkan pangan lokal bergizi dan sehat. “Harusnya itu yang dipikirkan pemerintah daerah. Apakah MBG ini bisa memberikan dampak kesejahteraan pada masyarakat lokal,” katanya.
Setidaknya kebijakan itu menurut Rifai bisa mendorong terjadinya proses budidaya pangan lokal dan memberikan dampak terhadap dua hal. Pertama, masyarakat mendapatkan sumber pangan yang murah dan berkualitas. Kedua, bahan pangan yang dihasilkan masyarakat ini juga punya pasar untuk diserap. “Karena akan diserap dapur-dapur umum penyedia MBG,” katanya.
Sebab Mentawai secara pemenuhan kebutuhan, masyarakatnya sudah terpenuhi. Namun, mereka masih memiliki kebutuhan untuk membayar biaya anak sekolah dan lain sebagainya. Karena itu menurut Rifai pemerintah perlu membentuk sistem ekonomi yang sirkular dan merekonstruksi sistem pangan lokal.
Rifai menyebut gerakan pemulihan sistem pangan lokal, menurutnya seharusnya MBG ini bisa jadi positif di Mentawai. “Silahkan saja pemda menjajaki pelbagai kerjasama, tapi kerjasamanya di Kabupaten Mentawai dijadikan peluang membangun pasar untuk membangun sistem pangan yang sudah hampir rusak,” katanya.
Selain itu menurutnya dalam aturan pendidikan ada yang namanya pendidikan layanan khusus dan ada biaya operasional sekolah yang dapat dimaksimalkan untuk menunjang proses pendidikan. Seperti BOS untuk transportasi sekolah anak dan unit layanan khusus untuk mengirimkan guru ke wilayah yang jumlah anak sekolahnya sedikit atau memanfaatkan jaringan internet untuk proses pembelajaran.
Subsidi Tambahan Kalori Tak Akan Menyelesaikan Masalah
Hendro Sangkoyo dari School of Democratic Economics mengatakan perbaikan kehidupan anak Kepulauan Mentawai tidak akan terjadi dengan subsidi tambahan kalori seadanya di pagi hari. Sama halnya dengan menambah-nambah instrumen pengaturan, memperbaiki sistem feedback, termasuk sistem pemantauan dan sebagainya.
“Kenapa? Karena jelas dana publik untuk mendukung proses belajar anak sekolah di Mentawai terlalu kecil. Tapi kenaikan pangsa anggaran jelas tidak juga akan memecahkan persoalan,” katanya.
“Nomor satu, agenda pendidikan dasar dan pendidikan menengah untuk Mentawai harus dierbut oleh pengurus kepulauan Mentawai itu sendiri. Itu syaratnya. Kedua, birokrasi yang sama buruknya juga bisa terjadi di Mentawai, jadi harus ada cara agar setiap orang tua pelajar SD-SLTP atau SLTA punya ruang untuk bersuara, dan bukan orang perorang, tapi dirancang mekanismenya untuk kekhasan corak sosial dan geografis setempat,” katanya.
Dia mengatakan anak Mentawai harus mendapat pemahaman iilmu-ilmu dasar atau basic sciences. “Terutama matematika dasar yang terbaik,” katanya.
Dia mengatakan bahasa-bahasa Mentawai yang sekarang sedang didokumentasikan secara digital oleh kementerian. “Tanpa keterlibatan politik dan pertimbangan tentang kebudayaan dari kantong-kantong budaya Mentawai, tidak semua yang khas budaya Mentawai serta merta baik, ini satu medan emansipasi kemanusiaan tersediri. Melampaui pembicaraan kita ini,” katanya.
Masalah Komunikasi dan Logistik Tidak Pernah Terpecahkan di Mentawai
“Concern selanjutnya adalah, pada setiap gugus pulau kecil dan agak kecil, itu ada masalah komunikasi dan logistik. Itu adalah masalah terbesar dan tidak terpecahkan sampai sekarang. Walaupun sangat terbantu dengan adanya pelayanan kapal perintis dan sebagainya, tapi dalam konteks supply bahan bakar, pertukaran orang, itu sama susahnya dengan masuk kepulauan KeI 10 tahun yang lalu,” katanya.
Seolah-olah, kata Hendro, mereka tidak pernah bikin jadwal lalu ngomong dengan orang Jakarta untuk ketemuan besok dan bisa. Padahal keberangkatan di sana bisa tertunda sekian hari karena banyak hal seperti jadwal pelayaran, urusan keluarga dan lainnya.
“Nah Mentawai dalam hal ini tidak terkecuali,” katanya.
Hendro pernah menelusuri 37 pulau sebesar Pagai di sebelah tenggara Pulau Biak yang bernama Padaido. “Ini semua pulau karang, tidak jauh dari Bosnik atau lingkungan paling urban di Biak, nggak terlalu jauh. Jadi kalau berangkat siang sebelum malam sudah sampai di kepulauan itu, itu yang namanya ketersediaan bahan bacaan semua tidak terpenuhi,” katanya.
“Harusnya kita bertanya baik apa yang dibutuhkan oleh guru-guru yang dimintai data yang sebegitu canggihnya, kebutuhan mereka terpenuhi nggak sebagai petugas yang harus membuat murid tahu. Itu banyak banget tidak terpenuhi. Jadi intinya proses belajar mengajar dalam konteks formal schooling itu boro-boro terpenuhi kok malah dia (kementerian pendidikan) minta laporan ketat. Itu untuk kepentingan apa?” katanya.
“Apa yang kemudian mau diperiksa dari statistik itu, misalnya kualitas belajar mengajar, itu untuk apa diperiksa? Para guru itu buku aja belum punya, belum sempat dapat buku tapi (stoknya) sudah habis untuk provinsi-provinsi besar. Ada bulshitting nonsense dalam hal ini. Seolah-olah statistik ini krusial dan kalau tidak ada ini jalanan di Sudirman Jakarta itu akan macet,” katanya.
Hendro juga menambahkan penelusurannya di pulau-pulau kecil Biak itu menjelang tahun 2000-an, tepatnya sekitar 1997 dan 1998. “Itu penolong utamanya adalah internet yang ada cuma di satu titik di Pulau Wudi dan sinyalnya ndut-ndutan, hanya ketika listrik ada dan karena menggunakan genset jadi butuh minyak. Dan dalam cerita itu bupati tak pernah datang ke sana. Camat pun yang dekat tidak pernah ke sana. Jadi orang hidup sendiri-sendiri di sana,” katanya.
Menurutnya kewajiban-kewajiban digital ini tidak mengubah apa pun. Ada upaya mekanisasi dalam segala hal, termasuk urusan yang tidak perlu dimekanisasi, lalu muncul cerita blockchain, lalu kita dibuat nggak percaya dengan pikiran sendiri dan kemudian dibuat chat gpt. “Aku bisa membayangkan bahwa nanti lebih gila lagi, guru-guru akan disuruh pakai chat gpt saja, murid boleh bertanya apa saja dalam Bahasa Indonesia,” katanya.
“Jadi ada yang sebetulnya menyedihkan dalam cerita itu bahwa apa yang dibutuhkan sehari-hari oleh orang biasa di Pulau Pagai, Sipora dan Siberut itu tidak pernah ditanyakan. Apa yang kalian butuhkan, bisa kita tanya pada seorang mama-mama, atau nelayan atau beberapa guru, itu bukan kita tanya sebagai guru tapi sebagai manusia, kamu sebagai orang Mentawai apa yang kamu ingin ada tapi belum tersedia,” katanya.
“Sudah banyak literatur kritis yang membahas ini di tempat lain dan dengan masalah yang tak jauh berbeda bahwa Mentawai berada di bawah bayang-bayang siksaan apartheid digital,” katanya.
Dia mengatakan bahwa semua ini salah satu biang kerok pada awalnya adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB. Bukan hanya sektor korporasi dan banyak lagi, tapi PBB juga iut bertanggung jawab. “Dengan mudah kita baca seperti di Afrika Barat, Afrika Tengah, Kongo dan sebagainya. Boro-boro ngomongin sekolah, makan aja belum beres dan air aja nggak ada, lalu seluruh dunia gegap gempita menyongsong AI (Artificial Intelligence),” katanya.
“Yang menarik kira-kira 30 tahun lalu digital apartheid ini mencolok sekali menjadi sebuah isu politik. Lalu hari ini bukannya kendor, sekarang malah mulai rata. Mulai equitable? Nggak, makin lama malah makin parah. Bukan masalah makin banyak yang punya alt digital, tapi digitalisasi itu merambah banyak sisi kehidupan hari-hari orang biasa,” katanya.
Foto & Teks: Jaka HB