Oleh: Jaka HB
Ramadan berakhir. Namun nafsu kekuasaan orang-orang besar tak habis-habis. Sejak dulu.
Seperti halnya hari ini, saat anak-anak di Gaza sedang menderita kelaparan, bahkan tak ada celana baru. Berbeda dengan para orang tua di kota-kota kita, Padang misalnya yang jaraknya 7000-an kilometer dari sana, sibuk mencarikan baju dan celana baru untuk buah hati mereka. Sebuah jukstaposisi yang benar-benar bisa kita saksikan melalui sambungan internet dengan segala teknologinya.
Bicara soal celana baru, seorang sastrawan Indonesia bernama Idrus antara 1942 dan 1945 menulis cerita pendek berjudul Kisah Sebuah Celana Pendek. Tentang Kusno, karakter utama, yang mendapat hadiah dari ayahnya berupa celana Kepar 1001 buatan Italia. Saat dia memandangi celana baru itu, Pearl Harbor hancur lebur oleh serbuan Jepang.
Kusno terus menjadi dewasa dan celananya semakin pudar. Namun pekerjaan mulai sulit. Berita pemboman orang nipon itu ternyata berpengaruh terhadap kantor-kantor di kotanya. Entah apa pengaruhnya, pikir Kusno. Hanya orang-orang besar yang mau perang.
Tapi ya Tuhan, Kusno hanya peduli dengan celana pendeknya. Ia hanya ingin celana baru, uang untuk membeli celana baru. Dia sempat lapar dan berencana membeli makan dengan menjual celananya itu, tapi tak mungkin dia membiarkan pinggulnya tak bercelana setelah dia kenyang.
“Tidak ada rakyat sederhana yang mau perang. Ia hanya mau hidup sederhana dan hidup bebas dari ketakutan esok hari tidak mempunyai celana,” tulis Idrus di sela cerita Kusno yang hidupnya makin sangsai.
Sementara itu di Sumatera, Kalimantan dan Jawa terus menerus menerima bencana karena kerusakan lingkungan. Orang-orang di Sulawesi mulai kesulitan air karena tambang nikel, penyiksaan-penyiksaan orang papua dan aparat yang terus terjadi di Papua, politisi yang terus berebut kuasa dengan jaringan keluarga dan kroni-kroninya, semua terhidang di etalase yag bernama televisi dan media sosial.
Namun setiap lima tahun sekali, penguasa terus menerus meminta kepercayaan pada rakyatnya. Terus menerus mempertahankan kekuasaan tanpa harus berpikir keras untuk rakyat yang membayarnya dengan uang pajak.
Meskipun begitu, lagi-lagi kekuasaan dan perang tak begitu menarik untuk orang-orang yang sederhana. Mereka hanya ingin pulang, bercengkerama hingga membeli celana baru. Mungkin mereka sudah kehilangan kepercayaan terhadap kekuasaan secara substansi.
Seperti kata Anton Chekov dalam cerita pendeknya: “Di zaman kita ini orang lebih mudah kehilangan kepercayaan dari pada sarung tangan tua”.
Lagipula, hanya pada Tuhan yang cukup dengan rasa percaya – bersama perangkat ibadahnya, lainnya tidak. Sedangkan manusia yang begitu dekaden punya banyak wajah, untuk mengenal dirinya sendiri pun dia harus melalui manusia yang lain.
Beberapa orang mengenal dirinya setelah bepergian jauh dan pulang. Beberapa orang yang tak punya tempat pulang, mengenal dirinya melalui dirinya sendiri. Jalan mana pun yang kita ambil, dia merupakan upaya untuk kembali. Seperti makna Id dalam Idul Fitri; kembali.
Dan mungkin dengan itu pula untuk memaafkan diri sendiri, kita harus memaafkan orang lain.
Minal aidin wal faizin!