Sean Hayward pengajar lepas Institut Seni Indonesia Yogyakarta sekaligus musisi bermain di Ruang Sarga Kota Padang, pada Minggu (7/5/2023).

Omong Kosong Musik Tradisional dan Komersialisasi: Catatan dari Pertemuan Sean Hayward di Ruang Sarga

 Oleh Daffa Benny

Selasa 13 Juni 2023

 

Orang memanggilnya Seno. Dia bicara soal absurdnya world music vis a vis traditional music, kapitalisme di kampung halamannya Amerika dan kerinduannya akan rumah.

 

Malam itu Ruang Sarga -sebuah ruang kreatif di Kota Padang- padat oleh orang-orang dari berbagai usia dan rupa. Pemersatu mereka: sama-sama suka musik. Mungkin juga ada yang datang karena iseng belaka.

Seorang pria bule berambut panjang cokelat terikat menjadi pusat perhatian malam itu, laksana Yesus yang hendak menceritakan kesaksian kepada bangsa Israel di sebuah bukit Galilea. Hanya saja ini di daerah Tabing, tepatnya dekat sebuah stasiun kereta api di Kota Padang. Ruang ini adalah sebuah kedai kopi yang sekaligus bisa jadi studio, galeri, atau panggung. Duduk sembari memegang gitarnya, disirami sorotan cahaya putih lampu-lampu, ia memainkan sebuah riff.

 

“If you miss the train I’m on, you will know that I’m gone

You can hear the whistle blows, a hundred miles,”

 

Si bule menyanyikan nada-nada yang terdengar sendu.

 

“A hundred miles, a hundred miles, a hundred miles, a hundred miles

You can hear the whistle blows, a hundred miles”

 

Irama dan lirik yang repetitif. Seperti balada kebanyakan.

 

“Lord I’m one, Lord I’m two, Lord I,m three, Lord I’m four

Now  I’m five hundred miles, away from home

Away from home, away from home, away from home, away from home

Now I’m five hundred miles away from home”

 

Masih dengan riff yang sama. Tapi, setelah satu tarikan napas, suasana seketika berubah, seiring dimulainya tarikan melodi gitar orang California itu.  Hadirin yang mulanya masih bisa ngobrol atau melihat layar smartphone kini hampir sepenuhnya menaruh perhatian ke panggung.

Aneh. Seperti ada ledakan kimiawi di dalam tengkorakku. Rongga kepala tidak lagi cukup menampung derasnya aliran darah saraf yang terlecut imajinasi ala hippie. Ruhku seolah diantarkan mengambang terbawa angin-angin Samudera Hindia. Terbawa jauh sekali hingga menyelinap antara ladang-ladang jagung California. Kemudian ada sesuatu yang pecah kemudian menyebar layaknya kembang api yang melebur bersama bintang-bintang.

Aku mendengarkan Sean pada hari Minggu tanggal 7 Mei lalu. Malam hampir larut dan dia tetap melanjutkan nyanyiannya.

 

“Got no shirt on my back

 Got no penny to my name

 Lord, I can’t go back home this ole way

This ole way, this ole way

 This ole way, this ole way

 Lord, I can’t go back home this this ole way

If you missed the train I’m on

 You will know that I am gone

 You can hear the whistle blow a hundred miles

A hundred miles, a hundred miles

 A hundred miles, a hundred miles

 You can hear the whistle blow a hundred miles”

 

Melodi gitar ala musik folk (rakyat) Amerika itu berakhir. Sang musisi menghembuskan nafas dengan sangat khidmat. Nampaknya ia lega sekaligus lelah setelah mencurahkan rindunya yang membuncah pada kampung halamannya. Atau mungkin pada seseorang. Tentang rindu pulang. Kita tidak tahu pasti.

 

Panggilannya Seno

Bule itu memperkenalkan diri sebagai Seno. Orang-orang memanggilnya Mas Seno. Untung saja dia bisa berbahasa Jawa dengan cukup lancar. Jika panggilan mas itu hanya sebuah gimmick, maka itu tidak terasa terlalu dipaksakan. Ia mengakui nama aslinya cukup aneh di telinga orang Indonesia: Sean Hayward.

Ia menaruh minat besar pada musik dan kebudayaan nusantara. Saking gilanya, ia bahkan gemar menciptakan dan memainkan komposisi musik heavy metal dengan gamelan. Tidak heran jika ia kemudian dipercaya sebagai dosen terbang di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Namun rambutnya yang panjang hampir mencapai pinggang menegaskan kepribadiannya yang enggan terkekang aturan formal. 

“Saya nggak mau jadi dosen tetap, nanti nggak bisa jadi seniman,” selorohnya.

Bagaimana jika ada pemuda atau mamak-mamak atau amak-amak di Minang menanyakan dima kampuang? Ia akan menjawab Ventura, California, sebuah kota pantai kecil di West Coast. Aku akan kasihan jika ada yang memermasalahkan status leluhur si Sean ini yang menyerobot tanah pribumi kulit merah Amerika.

Lupakan itu. Bagaimana pun Seno tetap berhak untuk merindukan pulang. Bisa jadi ke rumahnya di Ventura, tempat manggungnya di Los Angeles, tempatnya mengajar sekaligus belajar di Yogyakarta, atau bahkan di mana pun ia bisa menjadi dirinya sepenuhnya tanpa syarat apa pun.

 

Persoalan World Music yang Dilematis

Bicara soal ‘pulang’, Seno memulainya dengan mempertanyakan keanehan istilah world music. 

“World music adalah istilah yang digunakan oleh orang-orang putih untuk menjelaskan musik di luar budaya mereka,” katanya. 

Wah benar juga, pikirku. Konyol sekali kalau aku turut menyebut alat musik talempong, gamelan, hingga kecapi sebagai bagian dari istilah dilematis itu.

Meski pun begitu menurut Sean ada yang lebih ironis. Yaitu istilah traditional music. 

“Beethoven pun pasti berakar dari tradisinya sendiri,” ungkap orang Amerika itu.

Oh sial, aku baru sadar kalau bahkan orang-orang Minang sering terjebak dalam pola pikir eksotisme ketika memandang alat-alat musik khas Minang. Lihat saja, acara-acara instansi pemerintahan provinsi suka mendatangkan para pemain talempong, bansi, hingga tambua. Tentunya sebagai simbol Minangkabau yang mulia ini.

Salahkah jika para pejabat itu memberi ruang untuk menampilkan alat-alat musik lokal? Tentu tidak, tapi Anda boleh menyimak uraian-uraian berikut sebagai pembanding.

Ada sebuah patung pemain rabab dengan ukuran besar di Painan Kabupaten Pesisir Selatan. Posenya yang tengah bersimpuh menunjukkan kemuliaan seorang petapa. Namun, para pemain rabab sering aku lihat mengamen di berbagai SPBU, dari Painan hingga Padang. Umumnya mereka fokus memainkan rababnya, sedangkan pendengarnya cukup menaruh uang di sebuah ember kecil apabila ingin mengapresiasi seniman ini dengan materi.

Aku tidak tahu pasti apakah para pemain rabab ini hidup luntang-lantung dengan mengamen atau memang mengamen demi menunaikan kebebasan eksistensi mereka. Apa pun jawabannya, pemain alat musik khas Nusantara memang sering terdiskriminasi. Setidaknya Seno menyampaikan kenyataan menjengkelkan itu.

“Soal perpaduan musik (tradisional-lokal dan modern) ya silakan bikin aja. Semuanya dibayar sama. Aku kadang kesal sama band terkenal yang mereka bikin karya sama gamelan atau sama musik tradisional lainnya, dan aku tahu pemain karawitannya dibayar berapa.”

Pengaruh Buruk Globalisasi pada Kesenian

“Nyebelin banget kan. Itu band main lagu yang mereka mau main sendiri. Mereka dapat penghasilan dari penjualan tiket dan segalanya. Orang yang main musik tradisi lokal sering dimanfaatkan dalam kondisi seperti itu. Mereka menjadi simbol, menjadi alat. Bukan dihormati sebagai seniman,” kata dia. Yankee dari negara imperialis ini semakin menarik simpatiku.

Mungkin dari tadi saya terkesan terlalu benci dengan lingkungan pasar Amerika Serikat. Tapi Seno pun mengakui kalau arus kapitalisme dari tanah airnya memang merusak!

“Jadi perubahan budaya karena pengaruh buruk globalisasi, pengaruh buruk dari negara-negara barat, khususnya salah satu Negara, nggak tau di mana ya, yang lumayan jahat,” ungkapnya satire. Hadirin tertawa renyah kala ia menyebut “ngga tau di mana.”

“Kalau Amerika memang nilainya secara kultural itu tidak bagus untuk kesenian. Tidak bermanfaat untuk kesenian yang beragam,” tegasnya. Kita tarik istilah sederhananya: komersialisasi.

Kunci untuk melawan arus itu: gotong royong. Wah artikel ini mulai terdengar seperti propaganda ormas Soekarnois.

“Jadi maksudku, itu harus dari komunitas seni dulu. Kalau komunitas seni belum merasa bahwa pemain gitar sama pemain saluang sama-sama hebat dan wajar dapat bayaran sama, ga bakalan ada orang lain yang mikir gitu. Harus dari komunitas seni dulu,” beber Seno.

Menurut pria bergitar ini budaya gotong royong sudah hilang sebagian. Sebab kerjasama antara warga berkurang dan individu lebih fokus pada finansial dan kebutuhan sehari-hari.

“Jadi maksudku, setiap orang sekarang harus punya penghasilan. Supaya bisa beli HP, pulsa, sampai lama-lama beli rumah. Dulu kita tidak harus beli rumah. Maksudku, kamu sama tetanggamu bisa bikin rumah, jadi deh.”

Seno tidak menampik dirinya juga terkena kontaminasi kapitalisme. Meskipun begitu ia mengakui masih butuh mengumpulkan uang untuk beli rumah. Namun ia menegaskan tidak berambisi jadi kaya. “Kalau menurutku, seharusnya tidak ada orang kaya, tapi itu pembahasan politik.” 

 

Berharap Menuntaskan Kerinduan di Ranah Minang

Dari pertemuan di Ruang Sarga itu, penghayatan Seno akan balada country berjudul “500 Miles” yang ia nyanyikan adalah momen yang sulit aku lupakan. Ia berada sangat jauh dari rumahnya, bahkan hingga 8000 mil. Mungkin melodi ‘kampungan’ ala bule itu mengantarkan aroma yang sama dengan bunga mawar di halaman belakang rumahnya.

Mungkin dia juga sengaja ke ranah minang untuk merasakan ‘pulang’ dalam suasana gotong royong: duduak samo randah, tagak samo tinggi. Jika memang itu alasannya, saya yakin dia sudah membanting gitarnya hingga berderai-derai karena kecewa parah!

Dukung kami untuk menghadirkan cerita, dan liputan yang mendalam terkait yang terpinggirkan.

 

Silahkan klik tautan dibawah ini.