M Nurul Fajri
11 April 2023
Laju perkembangan teknologi dan dunia siber adalah keniscayaan. Perpindahan ruang sosial dari nyata ke maya serta dari konvensional ke digital, telah menjadi massal. Buku ini hendak mendudukan agar desakan perkembangan teknologi dan dunia siber tidak sekadar menjadikan manusia sebatas pangsa pasar, namun juga untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial.
Sejak revolusi industri 4.0 lahir dan belum genap satu dekade internet jadi penunjang utama perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sejak saat itu kehidupan manusia berpindah sebagian dari yang nyata ke yang maya.
Menurut data United Nations ketika covid-19 baru melanda terdapat 4,9 miliar manusia di muka bumi yang menggunakan internet dan 2,9 miliar lainnya belum menggunakan internet. Pangsa pasar dunia siber yang begitu besar, membuat tata kehidupan manusia di ruang digital harus turut ada perlindungan dan pengaturan lewat hukum sesuai prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia dan demokrasi.
Dalam Teori Hukum Progresif 4.0: Hukum dan Teknologi Digital Zaman Now oleh oleh Awaludin Marwan memaparkan kehidupan dalam dunia siber, khususnya di Indonesia. Mazhab ini menurutnya barangkali memang masih hidup sebagai kajian. Namun secara implementasi sampai saat ini masih terus menjadi perdebatan apakah bersifat implementatif atau hanya utopia semata.
Belakangan kita boleh jadi berasumsi banyak yang meninggalkan pendekatan hukum progresif atau pendekatan ini dalam fase jenuh. Sebab memang semakin sulit menemukannya dalam praktik berhukum dan kontekstualisasinya.
Sekitar sepuluh tahun yang lalu, Mahkamah Konstitusi sempat dianggap sebagai lembaga yang bermahzab hukum progresif. Sebab banyak yang menganggap lembaga itu identik dengan doktrin judicial activism daripada doktrin judicial restraint.
Kehadiran buku ini boleh jadi sebagai obat kerinduan sekaligus kesegaran atas kajian hukum progresif yang seolah terhenti dalam kajian-kajian terhadap putusan peradilan. Meskipun tidak salah, hanya saja penerapan teori dan pendekatan ini hanya dijadikan sarana evaluasi.
Sementara pendekatan ini berfokus pada individu, sehingga dalam praktiknya akan berada di hulu, karena berpatokan pada denyut kehidupan masyarakat. Tidak semata terikat dengan bunyi undang-undang, sehingga berdampak ke hilir dalam praktik/penerapan berhukum.
Dalam halaman vii Marwan menuliskan justifikasi yang diangkat mulai dari Big Data, kecerdasan buatan (artificial intelligence) cryptocurrency, e-commerce, teknologi finansial, online dispute resolution, internet of things, forensik digital, cyber security, virtual reality, cognitive technology, automation, drones & autonomous vehicles, 3D printing, voice assistants, smart cities, neorolink, metaverse dan masih banyak lagi.
Buku ini mungkin bisa diposisikan sebagai sarana untuk melakukan introduksi paradigmatik ke dalam dunia siber. Agar manusia tetap dipandang sebagai manusia. Sekalipun ia hanya berposisi sebagai pengguna, pemilik akun, atau sebatas metadata oleh pemangku imperialisme digital. Sekalipun bersifat maya, kendali atas operasionalisasi dunia siber tetap berada di tangan manusia.
Pada halaman vii Marwan mengatkan perkembangan teknologi perlu disokong mazhab atau aliran yang fleksibel da sensifit dengan perkembangan sains dan teknologi ini.
“Dan, memastikan bahwa hukum dan perkembangan teknologi tersebut memperhatikan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” tulisnya pada halaman pembuka.
Buku ini tetap berpegang pada saripati warisan Profesor Satjipto Rahardjo atau yang akrab dipanggil Prof Tjip bahwa hukum itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.
Profesor Satjipto Rahardjo tidak benar-benar menyadari kelahiran pendekatan ini. Marwan mengatakan gagasan tersebut sebenarnya lahir dari perjalanan intelektual yang panjang. Mulai dari gagasan beliau yang menggelitik di media sejak 1975 hingga penghormatan para muridnya. Marwan menulis ini di halaman 10.
Mengitar pada tiga ruang lingkup. Pertama, cara berhukum yang bernurani, bahwa menyelenggarakan hukum itu tidak hanya berfokus pada pasal. Tetapi juga berkaitan dengan sistem yang lebih luas. (hlm 37)
Kedua, slogan hukum untuk manusia (hlm 38). Hukum untuk manusia itu akan menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakatnya. Ia tidak terjebak pada prosedur dan aturan teknis saja. Yang ia lihat adalah rasa keadilan masyarakatnya (hlm 39).
Ketiga, aktor dan aksi progresif cukup dibutuhkan dalam merumuskan hukum progresif. Prof Tjip percaya, sebaik-baik apapun sebuah sistem hukum, kalau penegak hukumnya buruk, maka hasilnya pun akan tetap buruk (hlm 40).
Sebagai murid ideologis Prof Tjip yang masih konsisten mengembangkan kajian ini, Awaludin Marwan memahami kalau hukum progresif mesti diingatkan kembali dari sisi-sisi mendasarnya. Tidak heran kalau Ia juga menuliskan suasana kebatinan munculnya kata ini.
Keraguan dalam diri Prof Tjip tentang mazhab itu sendiri sampai almarhum memiliki keyakinan penuh pendekatan ini adalah sebuah teori. Penjelasan ini amat sangat tepat untuk menepis anggapan kalau hukum progresif hanyalah sebuah wacana.
Dari titik tersebut kemudian Awaludin Marwan mengantarkan kita pada tantangan dunia maya Indonesia. Mulai dari kejahatan siber seperti peretasan, penipuan online, pencurian data, perusakan sistem, pembajakan, worm¸ virus, yurisdiksi, tanda tangan kontrak, perdagangan elektronik, bukti elektronik, perlindungan data pribadi, penghinaan melalui media sosial, akses ilegal dan masih banyak lagi seperti yang ditulis pada halaman 29.
Mengutip halaman 28 dan 29 Marwan mengatakan internet baru masuk tahun 90-an. Sedangkan divisi siber kepolisian republik berdiri tahun 2001-an. Tahun 2008 Undang-undang tentang INformasi dan Transaksi Elektronik terbit. Sementara itu Marwan bilang kita tidak punya teknologi memadai dan minus tenaga. Selain itu perangkat hukum juga menurutnya jauh panggang dari api.
Buku ini pun tidak luput memberikan contoh permasalahan hukum konkret dalam dunia siber. Baik yang terjadi dalam konteks global maupun dalam konteks lokal hampir di setiap bagiannya. Menggabungkan sudut pandang, keamanan dan kepentingan nasional, perlindungan data pribadi, kebebasan berekspresi, keleluasaan dan standarisasi keamanan bisnis berbasis digital, perizinan, konflik sosial-politik, industri kreatif dan kejahatan siber lainnya.
Lembar-lembar penjabaran Marwan akan meromantisasi kita pada kerinduan terhadap pemikiran Prof Tjip dengan pemikiran hukum progresif yang terus kontekstual.
Judul: Teori Hukum Progresif 4.0: Hukum dan Teknologi Digital Zaman Now
Penulis: Awaludin Marwan
Penerbit: Thafa Media Yogyakarta
Tebal: 229 Halaman
ISBN:978-602-5589-59-I