oleh: Vic Sundèsk

 

Sistem ini gak rusak, melainkan berfungsi persis seperti yang dirancang. 

 

Jadi hentikan upaya memperbaiki sistem, hentikan upaya mencapai kebebasan melalui pemilu, dan berhentilah marah karena elit kaya raya berusaha mendorong lu menuju perbudakan digital, yang memang benar adanya. lu gak akan pernah bisa mengalahkan mereka dalam permainan yang mereka buat aturannya.

 

Oleh karena itu, hentikan fokus pada masalah dan mulailah bekerja untuk menemukan solusinya. 

 

Dan solusinya sangat sederhana: “ciptakanlah kehidupan yang lu inginkan, ciptakanlah dunia yang lu ingin wariskan kepada anak-anak lu.”

 

Kalau lu merasa marah karena makanan penuh dengan racun, maka tanamlah sendiri.

 

Jika lu tidak ingin minum air keran karena mengandung fluoride, maka gali sumur sendiri dan akses air bersih lu sendiri. 

 

jika lu merasa kesal karena sistem pendidikan mainstream yang ngajarin 147 jenis kelamin kepada anak-anak, maka keluarkan mereka dari sekolah dan lakukan homeschooling. Bangunlah sistem pendidikan alternatif lu sendiri berdasarkan prinsip dan nilai-nilai yang lu yakinin.

Gw tahu, lu mungkin berpikir bahwa untuk memiliki sumur sendiri dan menanam makanan sendiri, lu membutuhkan lahan, dan lu benar. Lu juga mungkin berpikir bahwa mendidik anak-anak sendiri akan terlalu sulit dan lu membutuhkan komunitas, dan lu benar lagi. 

Kita semua tahu bahwa untuk benar-benar merdeka, kita perlu mandiri. Salah satu caranya adalah dengan memiliki komunitas dan lahan. Bayangkan kita bisa menanam makanan sendiri, membangun rumah sendiri, dan berbagi ilmu dengan sesama anggota komunitas. Ini bukan hanya soal bertahan hidup, tapi juga soal menciptakan kehidupan yang lebih bermakna dan berkelanjutan. Dengan kembali ke alam dan hidup secara kolektif, kita bisa mengatasi banyak masalah yang kita hadapi saat ini.

Apa kesamaan dari situasi-situasi ini? 

Pada masyarakat pemburu-pengumpul prasejarah, mereka berbagi makanan dan sumber daya, bekerja sama untuk memastikan setiap individu terpenuhi kebutuhannya. Di peradaban Lembah Indus, mereka membangun kota-kota dengan sistem air bersama dan lumbung komunal untuk memastikan kesejahteraan seluruh masyarakat. Selama masa penjajahan di Karibia, menghadapi penindasan yang luar biasa, mereka melarikan diri ke pegunungan dan hutan untuk membentuk komunitas mandiri yang terlibat dalam bantuan dan pertahanan bersama, membuktikan bahwa ikatan manusia lebih kuat daripada belenggu perbudakan. Pada puncak perjuangan serikat pekerja di abad ke-20, mereka bersatu sebagai pekerja dalam solidaritas untuk mempertahankan aksi mogok kerja kami demi kondisi yang lebih baik. Setelah terjadinya bencana badai, orang asing berbagi makanan, menampung orang-orang di rumah mereka, dan membantu membangun kembali tanpa bantuan resmi. Ketika sistem kekuasaan gagal, saling membantu—tetangga membantu tetangga—lah yang menjaga keutuhan komunitas. 

Hari ini, dan setiap hari, sebagian besar orang terlibat dalam tindakan saling membantu dan kerja sama tanpa hierarki, pada dasarnya hidup dengan prinsip dari masing-masing sesuai kemampuannya, untuk masing-masing sesuai kebutuhannya. 

Selama puncak pandemi, ribuan kelompok bantuan bersama akar rumput muncul di seluruh dunia untuk berbagi bahan makanan dan obat-obatan dengan mereka yang membutuhkan di komunitas mereka. Ini bukan inisiatif top-down, tetapi tindakan solidaritas spontan.

Itulah nature kita sebagai manusia.

Sepanjang sejarah, melintasi sistem politik dan ekonomi serta lintas benua, prinsip saling membantu terwujud dalam relasi sosial kita. Saling membantu adalah perasaan, tindakan, dan hubungan yang didasarkan pada manfaat bersama antara individu dan kelompok dalam suatu masyarakat. Hal ini terwujud dalam berbagai cara dan dapat dikatakan sebagai konstanta universal dari sifat manusia kita. Kita bergantung pada saling membantu untuk bertahan hidup dan maju dalam kehidupan sehari-hari. Baik ketika meminta seseorang untuk memberikan garam di meja makan, memecahkan masalah di tempat kerja, atau berbagi sumber daya setelah bencana alam, saling membantu terjadi secara konstan, informal, dan seringkali tanpa disadari.

Dalam bukunya “Debt: The First 5,000 Years,” antropolog Amerika David Graeber berpendapat bahwa bukan kontrak atau kekuasaan, melainkan solidaritas, empati, dan kecenderungan alami manusia untuk peduli terhadap sesama yang menjadi perekat masyarakat. 

Dalam dunia yang begitu terpecah belah oleh sistem kekuasaan dan keuntungan, seberapa sering kita masih bertindak berdasarkan rasa peduli? Berapa kali kita secara naluriah membantu seseorang tanpa berpikir, dan apa yang dikatakannya tentang sifat asli kita? Apakah ada hambatan untuk rasa peduli tersebut? Tentu saja. Berbagai prasangka, pola pikir yang dipropagandakan, sistem sosial ekonomi, dan kondisi material membatasi praktik saling membantu kita. 

Kehidupan di bawah kapitalisme dan negara tentu telah membentuk batasan-batasan yang kita tempatkan pada saling membantu kita dan kemampuan kita untuk membayangkan kapasitasnya untuk mendasari fungsi masyarakat.

Melalui asosiasi bebas, orang-orang akan menemukan mereka yang memiliki minat bersama dalam setiap aspek kehidupan untuk membentuk kelompok berdasarkan afinitas mereka. Tetapi apakah kelompok-kelompok beragam ini bertemu dan mengkoordinasikan aktivitas mereka di lokakarya, kebun, atau ruang pertemuan lainnya, dan apakah mereka berinvestasi dalam mempertahankan sistem energi, menumbuhkan hutan pangan, atau membangun rumah, nah, masyarakat semacam itu tidak dapat bertahan tanpa tanggung jawab bersama. 

Apakah kita benar-benar siap untuk bertanggung jawab atas tindakan kita sendiri dan kesejahteraan komunitas kita? Kegiatan ini menuntut tanggung jawab yang lebih besar dari kita masing-masing, karena kita tidak dapat begitu saja menyerahkan penyelesaian konflik kepada aparat keamanan. Tentu saja, itu berarti kita tidak bisa begitu saja memanggil polisi karena musik tetangga kita terlalu keras—sebaliknya, kita harus omongin dulu dengan mereka dan menemukan cara untuk menyelesaikan masalah tersebut. 

Tanpa adanya tatanan hukum yang ditentukan oleh negara, ketika tidak ada yang diperbolehkan dan tidak ada yang dilarang, setiap tindakan tunduk pada serangkaian respons yang berpotensi tidak terbatas. Eskalasi konflik dapat mengancam stabilitas seluruh masyarakat, sehingga menjadi kepentingan kita semua untuk meminimalkan potensi bahaya tindakan kita terhadap orang lain dan secara proaktif mencari solusi untuk konflik yang potensial maupun aktual. Ini mungkin disebut sebagai pertahanan bersama.

Pada akhirnya manusia akan secara alami merumuskan norma-norma perilaku, sebuah ‘pemahaman bersama’, yang akan memandu interaksi antara individu dan kelompok. Norma-norma ini akan memfasilitasi konsultasi dan negosiasi, menahan eskalasi konflik, serta menjaga kelangsungan hidup sumber daya bersama dan perpustakaan barang. Hasilnya mungkin bukan kesepakatan sempurna, tetapi setidaknya, koeksistensi yang damai.

Disini komponen vitalnya adalah “saling membantu”, meskipun sering disalah artikan sebagai amal, sebagai manifestasi dari saling membantu, saling membantu merujuk pada pertukaran layanan dan sumber daya secara sukarela dan saling menguntungkan dalam masyarakat. Ini bukan tentang balas budi atau mengukur kontribusi setiap orang. Kalau gw  membantu lu pindah kosan atau rokok sebungkus dengan es teh manis lamun ombak sebagai balasan juga sudah cukup. 

Saling membantu melibatkan tanggung jawab satu sama lain sebagai anggota masyarakat dan membangun relasi sosial yang meningkatkan kemampuan kita untuk berkolaborasi dan berbagi. Ini mungkin melibatkan memasak untuk orang lain, mengkoordinasikan tugas pengasuhan anak, memberikan dukungan emosional, atau berbagi hasil kerja lu.

Peter Kropotkin pernah mengatakan bahwa mempraktikkan saling membantu adalah cara paling pasti untuk memberikan kepada satu sama lain dan kepada semua orang keamanan terbesar, jaminan terbaik untuk eksistensi dan kemajuan, baik secara fisik, intelektual, maupun moral.

Sulit untuk membayangkan kemungkinan adanya sebuah komunitas kebun dengan mindset seperti itu karena kita telah mengalami penindasan dan penjinakan yang begitu mendalam selama beberapa belakangan. 

Tapi dengan memulai community garden bisa menjadi salah satu pondasi awal mewujudkan masyarakat yang kita idam kan. Semoga pada akhirnya kita semua menggapai apa yang kita inginkan. Dan semua mimpi indah segera terealisasi, Segera!