Sudah berapa pekan ini doa bersama untuk Nia dilantunkan oleh kawan-kawan di Jawa. Dalam aksi-aksi menentang femisida di Jawa. Ya, di Jawa, bagaimana dengan Sumatera Barat? Tentu saja para pemimpinnya datang dan para politisi datang untuk berbela sungkawa. Namun, tak ada satu pun dari mereka yang membicarakan ruang aman bagi perempuan di negeri yang punya adat tinggi ini.
19 September lalu polisi menangkap pelaku pembunuh perempuan yang menjual pisang goreng di Pariaman itu. Namun, apakah itu sudah seleseai? Tentu saja belum.
Ratusan Kasus 2016-2020
Nurani Perempuan mencatat selama lima tahun ke belakang ada sekitar 300-an kasus. Pada tahun 2016 ada 56 kasus yang terdiri dari kekerasan seksual baik perkosaan, pelecehan seksual dan eksploitasi seksual 54 kasus. Selain itu kekerasan dalam pacaran 2 kasus.
Pada 2017 ada 82 kasus. Terdiri dari kasus perkosaan 40, human trafficking tujuan seksual 4 kasus, pelecehan seksual 13 kasus, indikasi perkosaan 3 kasus, eksploitasi gambar 1 kasus, eksploitasi seksual1 kasus, kekerasan dalam pacaran 4 kasus,pernikahananak 3 kasus kehamilan tidak diinginkan 11 kasus dan pemaksaan aborsi 2 kasus.
Tahun 2018 ada 65 kasus. Terdiri dari perkosaan 23 kasus, pelecehan seksual 17, eksploitasi anak 1 kasus,kehamilan tidak diinginkan 8 kasus, kekerasan dalam pacaran 10 kasus dan sodomi 6 kasus.
Tahun 2019 ada 52 kasus. Terdiri dari kasus perkosaan 25, traffiking tujuan seksual 2 kasus, pelecehan seksual 6, eksploitasi seksual 3,kehamilan tidak diinginkan 5 kasus, pernikahan anak 2 kasus dan sodomi 9 kasus. Tahun 2020 ada 34 kasus yang terdiri dari kategori perkosaan 24 kasus, pelecehan seksual 7 kasus dan eksploitasi seksual 3 kasus.
Tahun 2021 naikmenjadi 55 kasus. Terdiri dari perkosaan 26 kasus,pelecehan seksual 15, eksploitasi seksual 1 kasus, sodomi 4 kasus dan kekerasan berbasis gender online (KBGO) 9 kasus.
“Dari tahun 2020 yang jumlahnya 34 kasus naik jadi 55 kasus. TErnyata kasus-kasus itu terjadi di tahun 2020 dan semua korbannya anak, usia 5 sampai 16 tahun. Dilakukan orang terdekat seperti ayah kandung, ayah tiri, paman, pacar, kakek,’ kata Merry selaku ketua dari Nurani Perempuan.
Baca Juga:
Ruang Aman
Terancamnya ruang aman ini bukan kemudian hanya terjadi di jalanan. Pada ruang-ruang sekolah, pesantren sampai tempat siswa-siswa disebut maha di Sumatera Barat juga terjadi. Relasi kuasa menjadi pertimbangan pelaku-pelaku tidak segera ditangkap. Seperti kasus di Madrasah ITB Canduang Bukittinggi yang korbannya sampai 40 juga terjadi sejak lama.
Lantas di mana ruang aman perempuan dan anak?
Jika para politisi dan pemimpin masih berkeras untuk menegaskan pendidikan agama dan bentuk pakaian perempuan, apakah harus ada ratusan korban berpakaian tertutup lagi agar anda semua berpikir bahwa bukan pakaian yang jadi penyebab semua ini?
Santri-santri di Canduang apakah mereka menggunakan pakaian seksi? Nia anak sekolah yang menjual gorengan agar bisa kuliah, apakah dia menjual gorengan dengan pakaian seronok? Tentu saja tidak.
Lantas sistem yang membuat mereka susah payah mendapat pendidikan, lingkungan yang memandang rendah perempuan secara implisit dan kemiskinan yang sistemnya tak pernah dibicarakan, kapan bisa anda-anda selesaikan? Atau mungkin memang hukum kita masih belum kemana-mana.
Pada sebuah kuliah Rocky Gerung di kelas Ecofeminisme beberapa tahun lalu mengatakan hukum awalnya lahir untuk laki-laki. Bagi yang tidak memiliki penis, tidak diakui sebagai subjek hukum. Namun semakin ke sini, hukum berevolusi, membuka diri melindungi banyak pihak. Bahkan sampai lingkungan seperti sungai seperti di Eropa yang diberikan hak untuk tetap bersih atau hak pohon untuk tetap hidup. Melihat itu semua dan berbalik ke Indonesia, Sumatera Barat khususnya, apakah kita tetap berada di era kegelapan? Apakah keluhuran yang ada di ceramah-ceramah dan membawa-bawa adat itu tidak lagi berfungsi menjaga ruang aman?
Redaksi Roehana Project