Hutan Mentawai di Saibi Kepulauan Mentawai/Jaka HB/Roehana Project 

 

Oleh Jaka HB

 

Tirje keluar dari aula rapat Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Barat dan menyalakan rokoknya di ruang tengah kantor pemerintahan itu. Sebagai kepala Desa Saureinuk, Kecamatan Sipora Selatan Kabupaten Kepulauan Mentawai, dia menolak keberadaan perusahaan yang baru saja dibahas dalam aula itu: PT Sumber Permata Sipora.

Ada 20.706 hektar yang mereka ajukan sesuai dokumen Andal (analisis dampak lingkungan). Ribuan hektar masuk ke wilayah hutan adat mereka di Saureinuk. “Yang jelas kami menolak. Yang ada sekarang aja itu membuat banjir apalagi ditambah ini, kekeringan juga,” katanya, Kamis 22 Mei 2025 lalu.

Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan atau PBPH seluas itu diberikan Badan Koordinasi Penanaman Modal.

Ketua Aman (Aliansi Masyarakat Adat Nasional) Daerah Mentawai Afridianda Tasilipet mengatakan pihaknya melalui komunitas mengirimkan surat penolakan ke kementerian kehutanan. “Masyarakat di komunitas yang masuk wilayah konsesi menolak keberadaan atau izin yang ada,” katanya.

Masyarakat Hukum Adat di Sipora rapat dua tahun lalu  tentang penolakan izin perusahaan yang masuk wilayah hutan mereka/Jaka HB
Masyarakat Hukum Adat di Sipora rapat dua tahun lalu tentang penolakan izin perusahaan yang masuk wilayah hutan mereka/Jaka HB

Dia mengatakan dalam pertemuan tersebut AMAN tidak hadir. Meskipun begitu Dia mencatat ada tujuh wilayah adat uma dengan total luas 23.562,9 hektar telah mendapat pengakuan dan perlindungan hukum sebagai kesatuan masyarakat hukum adat. Empat diantaranya mendapat SK dari menteri kehutanan dan lingkungan hidup tahun 2019.

Penolakan ini sudah muncul sebelum uji kelayakan lingkungan hidup di DLH Provinsi Sumatera Barat 22 Mei lalu. Melalui surat itu masyarakat adat menuntut agar menteri LHK segera menghentikan seluruh proses perizinan dan mencabut izin yang telah dikeluarkan kepada PT SPS.

Pada hari yang sama Koalisi Masyarakat Sipil Sumbar menggelar aksi dan masuk ke ruangan rapat penilaian Andal perusahaan yang dihadiri perwakilan desa di Kecamatan Sipora Utara dan Sipora Selatan. Setelah berbincang dengan kepala dinasnya, koalisi masuk ke ruangan dan menyampaikan sikap mereka.

Koalisi Masyarakat Sipil Sumbar–yang tergabung dari beberapa organisasi masyarakat sipil,  menggelar aksi menolak izin perusahaan kayu ini karena mengancam ruang hidup mereka.

“Kami dengan tegas menolak izin PT Sumber Permata Sipora seluas 20.706 hektar di Sipora Utara dan Sipora Selatan,” ujar Markolinus Sagulu, Ketua Forum Mahasiswa Mentawai (Formma).

Menurut koalisi, pemberian izin ini akan memperparah krisis ruang dan kerusakan lingkungan yang sudah lama membayangi bumi sikerei ini.

 

Koalisi Masyarakat Sipil: Perizinan Ini Mengancam Ruang Hidup Masyarakat

Aksi Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera Barat Menolak Izin Perusahaan Kayu di Dinas Lingkungan Hidup Sumatera Barat tanggal 22 Mei 2025/Dokumen LBH Padang/
Aksi Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera Barat Menolak Izin Perusahaan Kayu di Dinas Lingkungan Hidup Sumatera Barat tanggal 22 Mei 2025/Dokumen LBH Padang/

 

Markolinus mengatakan krisis sumber pangan dan krisis ekologi akan memburuk ketika izin diberikan. Ia mengatakan, krisis air bersih dan menignkatnya frekuensi banjir adalah dampak yang kini makin nyata akibat pembukaan hutan yang massif.

 

“Secara langsung maupun tidak langsung rencana PBPH ini juga akan menghilangkan sumber-sumber makanan pokok maupun tanaman penunjang kehidupan masyarakat,” katanya. Dia mengatakan sumber-sumber ini ada di hutan.

 

“Hutan bagi Masyarakat Mentawai bukan sekadar kayu-kayu. Hutan dan masyarakat Mentawai memiliki keterikatan adat, ada identitas dan hubungan dalam keyakinan leluhur yang bernilai sakral,” katanya.

 

Keluhuran tersebut menurut Markolinus diterjemahkan dalam aktivitas masyarakat adat Mentawai yang menjaga hutankarena pangan dan obat-obatan mereka ada di sana. Sehingga hutan Sipora selalu bertumbuh, namun ancaman eksploitasi terus mengintai hutan yang dijaga turun temurun ini. 

 

“Aktivitas penebangan kayu di sana akan memutus keyakinan luhur ini,” katanya.

 

Koalisi menyatakan sudah lebih dari 70 persen dikuasai oleh perusahaan melalui PKKNK (Pemanfaatan Kayu Kegiatan Non Kehutanan) yang merupakan persetuuan penebangan di luar kawasan hutan. “Oleh beberapa perusahaan dan PBPH oleh PT SPS dan oleh negara melalui kawasan hutan,” kata Marko.

 

Padahal, merujuk UU No 27 tahun 2007, Pulau Sipora dikategorikan sebagai pulau kecil dengan luas hanya sekitar 61.518 hektar dan hanya dua kecamatan. Sebab dalam peraturan tersebut pulau kecil memiliki luas sama atau lebih kecil dari 2000 km2 atau 200.000 hektar.

 

Dalam rilisnya, koalisi menyebut izin PBPH dalam dua kecamatan ini melintasi delapan desa. Mulai dari Desa Tua Pejat, Betumonga, Bosua, Nem-Nem Leleu, Beriulou, Mara, Sioban dan Saureinu. 

 

Dalam desa-desa itu terdapat 18 aliran sungai. Mulai dari Beriulow, Bosua, Bulak,  Gegetaet, Masokut, Saurenu, Sibagau. Selanjutnya Siberimanua, Sibetumonga, Sigitci, Simabolat, Simanggai, Simapupu, Simatobaerak, Sioban, Sipasosoat, Taigemgem dan Teraet. 

 

Secara geografis hutan Pulau Sipora terbagi dalam 3 fungsi kawasan. Mulai dari Hutan Produksi sekitar 28.905 Ha, Hutan Produksi Konversi sekitar 5.883 Ha dan Areal Penggunaan Lain seluas 26.066 Ha. Pada areal penggunaan lain (APL) saat ini sudah terdapat sekitar 10.000 Hektar telah mendapatkan izin PKKNK. Perusahaan, sepserti dalam dokumen Andal-nya mengalokasikan juga kurang lebih 14.720 hektar untuk Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu. 

 

Koalisi juga menyoroti ancaman terhadap satwa endemic seperti simakobu, bokkoi, joja serta spesies lain seperti kijangdan trenggiling. Selain itu berbagai jenis burung seperti murai batu, rangkong, bubut, kutilang dan lain-lain. 

 

“PBPH akan mengubah ekosistem alami dan memperpanjang daftar satwa yang terancam punah, serta menyebabkan konflik satwa dengan manusia,” kata Markolinus Sagulu.

 

Koalisi menyerahkan dokumen penolakan itu pada Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sumbar Tasliatul Fuadi dalam rapat tersebut.

 

DLH Sumatera Barat: Keputusan Ada Pada Menteri

 

Sementara itu Tasliatul Fuadi menanggapi aksi dengan mengatakan pihaknya hanya menerima penugasan dari menteri lingkungan hidup terkait penilaian dan pembahasan dokumen amdal. 

 

“Kita tidak dalam konteks menerima atau menolak. Fungsi dokumen amdal ini untuk identifikasi segala dampak baik penting, sedang maupun dampak kecil. Mulai dari yang positif atau pun negatif karena yang namanya usaha pasti ada dampak baik, positif atau negatif. Jadi dokumen amdal tidak dalam konteks menerima atau menolak. Silahkan nanti menteri lingkungan hidup yang memberi keputusan,” katanya.

 

Dia mengatakan hari itu sudah masuk tahap pembahasan dokumen amdal, selain itu juga rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup (RKP-RPL).

 

“Kita sudah berada di tengah jalan. Dokumen pertimbangan teknis limbah, teknis emisi dan segala macam sudah selesai di kementerian dan sudah diterbitkan persetujuannya. Kemudian kerangka amdal juga sudah disetujui oleh kementerian jadi kami ditugaskan sudah masuk ke tahap pembahasan dokumen amdal RKL-RPL-nya,” katanya.

 

“Kita paham bahwa Sipora masuk dalam kategori pulau-pulau kecil. Namun, karena status kawasannya hutan produksi sesuai dengan tata ruang, tidak ada satu pun yang dilanggar dan salah, karena itu ruangnya. Kecuali ruangnya semua hutan lindung, tidak bisa kita manfaatkan,” katanya.

 

DLH Provinsi mengundang camat sipora utara dan selatan, seluruh kepala desa dan ketua Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) dan Qbar sebagai perwakilan dari civil society organization (CSO). Mereka memang tidak mengundang DPRD karena yang merasakan langsung adalah masyarakat jadi pihaknya langsung mengundang yang paling dekat dengan masyarakat tingkat tapak.

 

“Kami dari DLH sudah turun ke lapangan melihat ada atau tidaknya kegiatan kemudian dilanjutkan dengan rapat tim teknis amdal terkai masalah teknis. Hari ini dalam rangka mendengar masukan saran pendapat dari publik,” kata mantan kepala dinas kehutanan Kabupaten Mentawai ini.

 

DLH Mentawai Bilang Ada Perhutanan Sosial di Dalamnya, Jangan Sampai Terjadi Konflik Sosial dengan Masyarakat Hukum Adat

 

Bupati Mentawai Rinto Wardana Samaloisa mengatakan persoalan tersebut sangat kompleks. “Karena kewenangan penerbitan izin-izin pengolahan kayu diterbitkan pemerintah pusat dan provinsi. Bahkan pemerintah daerah tidak menerbitkan dokumen yang bersifat materiil sehingga tidak punya posisi tawar untuk menolak dalam kapasitas organisasi pemerintahan,” katanya.

 

Dia mengakui adanya izin perusahaan kayu (IPK) banyak menimbulkan persoalan sosial dan manfaatnya untuk pemda juga tidak ada. 

 

“Bahkan beberapa kejadian IPK sebelum-sebelumnya, penebangan kayu yang seharusnya di wilayah hutan pribadi atau kelompok, tapi kayu-kayu di wilayah hutan produksi yang diolah, karena pemda tidak punya kewenangan maka pemda tidak bisa melakukan pengawasan dan penindakan,” kata bupati yang didukung Partai Demokrat, Nasdem, Perindo, PSI dan Golkar ini.

 

Dia mengatakan Ketika masyarakat yang mau menyerahkan pengolahan lahannya ke perusahaan, sedangkan ada masyarakat yang menolak yang juga aktivis, maka di sana konflik terjadi. 

 

“Konflik sosial pasti tetap aka nada sepanjang pengolahan hutan tidak melibatkan pihak berwenang di daerah dalam pengambilan kebijakan. Pemda hanya jadi pembersih piring kotor saja,” katanya.

 

Menurut Rinto pengelolaan hutan harus dikembalikan ke daerah dan melibatkan NGO (Non Government Organization (NGO) bidang lingkungan untuk melakukan pengawasan. “Bahkan diberi wewenang kebijakan pengolahan hutan,” katanya.

 

Namun, melalui Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Mentawai, pemerintah kabupaten menyampaikan keluhan yang ada di tingkat masyarakat.

 

Sihol Simanihuruk selaku Kepala Bidang Lingkungan Hidup di Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Mentawai mengatakan pihaknya mencari solusi terbaik. “Jangan sampai masyarakat yang dikorbankan,” katanya saat ditemui seusai rapat di DLH Provinsi Sumbar.

Sihol Simanihuruk selaku Kepala Bidang Lingkungan Hidup di Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Mentawai mengatakan pihaknya mencari solusi terbaik dan jangan sampai masuk ke wilayah Masyarakat Hukum Adat Mentawai/Jaka HB
Sihol Simanihuruk selaku Kepala Bidang Lingkungan Hidup di Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Mentawai mengatakan pihaknya mencari solusi terbaik dan jangan sampai masuk ke wilayah Masyarakat Hukum Adat Mentawai/Jaka HB

 

Dia mengatakan rekomendasi dari DLH Provinsi tapi keputusan di kementerian. “Kalau kita hanya memberi masukan jangan sampai proyek ini beririsan dengan masyarakat hukum adat atau MHA. Kalau bisa itu dikeluarkan dari lokasi baik di Sipora Selatan dan Utara,” katanya. 

 

“Karena itu sudah SK menteri dan disamping itu tahun 2025 ini kita ada kegiatan di dalamnya, penanaman manau atau rotan,” katanya.

 

“Totalnya ada sekitar 14000 hektar tapi yang sudah SK menteri kurang lebih 6000 hektar untuk Sipora Selatan dan Utara. Jadi yang sekarang sudah SK bupati tapi sudah proses kementerian kurang lebih 6000 hektar lagi. Jadi kurang lebih ada 14000-an totalnya minta dikeluarkan (dari kawasan izin yang diajukan),” katanya.

 

Dia berharap dengan menyampaikan keluhan-keluhan tersebut dan jamaknya banjir karena pembabatan hutan di hulu, jangan sampai terjadi konflik sosial di masyarakat. “Sudah kita sampaikan turunlah ke lapangan, sosialisasi ke masyarakat, dengarkan apa keluhan masyarakat dan sampai setelah beroperasi terjadi konflik,” katanya

 

Perusahaan: Kami Belum Sosialisasi Ke Masyarakat, Tunggu Selesai Amdal

 

Pihak perusahaan menyatakan kegiatan operasional belum dimulau dan masih menunggu izin resmi dari kementerian.“Kami masih menerima masukan dari masyarakat, ada camat juga,” katanya Daud Sababalat selaku kuasa perusahaan PT SPS seusai rapat.

Daud Sababalat selaku kuasa perusahaan PT Sumber Permata Sipora mengatakan pihaknya akan mempertimbangkan segala pemasukan baik penolakan atau penerimaan untuk kemudian dikerjakan konsultan mereka/Jaka HB
Daud Sababalat selaku kuasa perusahaan PT Sumber Permata Sipora mengatakan pihaknya akan mempertimbangkan segala pemasukan baik penolakan atau penerimaan untuk kemudian dikerjakan konsultan mereka/Jaka HB

Terkait ada perusahaan yang izinnya masuk ke dalam kawasan hutan adat masyarakat, Daud mengatakan pihaknya akan memeriksa kembali. “Itu kita terima dan tim konsultan akan membuat rekomendasi dengan dinas, nanti di-overlay. Kita juga akan keluar dari situ jika memang ada,” katanya.

 

Dia mengatakan perusahaan awalnya memiliki luasan sekitar 27.000 hektar. Namun sudah dikurangi sampai 7000 hektar. “Mana yang mendekat ke pemukiman misalnya,” katanya.

 

Terkait aksi penolakan dari koalisi masyarakat sipil, dirinya menerima dengan respon positif. “Itu akan tetap menjadi input, seperti pada beberapa kritikan tentang amdal dan gerakan tadi, jadi masukan untuk kita berikan ke konsultan,” katanya.

 

Mengenai pembagian hasil, atau fee kayu, untuk masyarakat, Daud menyebut belum ada ketentuan karena sosialisasi pun belum dilakukan. Sosialisasi akan dilakukan, menurut Daud setelah izin mereka terima dari kementerian.

 

Sementara perusahaan menunggu izin dari pusat, masyarakat Sipora tetap resah. Bagi mereka bukan hanya hutan yang terancam, tapi juga warisan hidup.

 

 BACA JUGA: KERUHNYA PENGELOLAAN AIR DI MENTAWAI