Oleh: Bambang Sagurung*
Sebuah mobil bak hitam dengan dua tedmon oranye di atasnya berhenti di depan penginapan Mai di Sikabaluan. Penginapan milik Rumailas ini berada di depan Kantor Camat Siberut Utara. Suara mobil tangki yang sedang menyalurkan air itu menderu-deru.
Petugas dari mobil tangki itu menyalurkan 2000 liter air ke tangki air belakang penginapan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari penginapan. Pemindahan menghabiskan waktu 30 menit.
“Dua ton air itu hanya bertahan dua sampai tiga hari. Apalagi kalau yang menginap ramai,” kata Rumailas pada Senin (13/10) lalu.
Air itu dibawa dari Pokai dan penjualnya memberi tarif air dari sumur galian itu seharga 100 ribu rupiah. Maka Rumailas menghabiskan 200 ribu rupiah untuk tiga hari. Sumber lain hanya berasal dari air hujan yang ditampung di drum dan tangki air.
Bila dalam satu minggu tidak hujan maka air akan dipesan pada jasa penjual air yang didatangkan dari Pokai. “Untuk minum dan masak itu dari air hujan. Tapi kalau untuk mandi, mencuci itu dari air yang didatangkan dari Pokai”, jelasnya.
Untuk air yang didatangkan dari Pokai tidak bagus untuk minum dan masak karena kadar kapurnya tinggi sehingga hanya dimanfaatkan untuk mencuci dan mandi di penginapan.
Kesulitan air akibat kekeringan yang terjadi selama dua bulan tak hanya dirasakan oleh masyarakat yang ada di Desa Muara Sikabaluan sebagai pusat kecamatan. Namun desa-desa yang awalnya tidak mengalami kekeringan dan kesulitan air bersih mendapat dampak.
Cornelius Mairang salah seorang tokoh masyarakat Desa Monganpoula mengatakan saat kekeringan saat ini warganya kesulitan mengakses air bersih. Masyarakat harus menggunakan sampan untuk mencari titik air di pinggir aliran sungai untuk memenuhi kebutuhan air bersih.
“Waktu kemarau dua tahun lalu yang lamanya enam bulan kami tidak sulit air karena ada sumber air bersih di belakang kampung dari mata air,” katanya.
Namun Cornelius mengatakan kali ini berbeda. Mata air yang berada dibelakang kampung tidak lagi mengalirkan air.
Selain dipengaruhi oleh pembukaan dan pembangunan jalan trans Mentawai dari Desa Monganpoula menuju Desa Sotboyak yang jaraknya dari mata air hanya sekira 50 meter, pembukaan lahan untuk perladangan ikut memicu hilangnya sumber air.
“Karena sekarang orang buka ladang itu musim kemarau karena bisa dibakar setelah dirambah,” katanya.
Untuk keperluan mandi, mencuci masyarakat tidak begitu sulit karena dapat mengandalkan air sungai yang berada di dekat pemukiman. Sementara untuk memasak dan air minum mesti mencari sumber air bersih yang kondisinya makin lama makin hilang.
“Dua tahun lalu orang Sikabaluan itu masih datang ke sini ambil air bersih karena airnya jernih. Waktu itu kemarau sampai enam bulan. Tapi sekarang kami di Monganpoula ikut mencari air bersih,” katanya.
Begitu juga halnya warga dusun yang ada di pusat Desa Malancan. Dusun Sinaki, Bakla, Langgurek, Kelak Bunda. Sumber air warga dari PAM yang baru selesai peningkatan jaringan perpipaan tahun 2022 tak lagi berfungsi setelah dilanda kemarau selama dua bulan.
“Air makin sulit,” kata Halomoan, salah seorang warga.
Lebih Lanjut dikatakan Halomoan, sumber air tidak habis meski terjadi kemarau enam sampai delapan bulan. Misalnya pada kejadian dua tahun lalu yang terjadi kemarau hingga enam bulan air bersih tidak putus. Salah satu titik pengambilan air yang terletak di depan rumahnya mengalir lancar dan dimanfaat oleh beberapa rumah yang dekat dengan titik penyaluran air.
“Sekarang kami ikut kesulitan”, katanya.
Untuk mendapatkan air beberapa rumah warga membut sumur galian yang kondisi airnya keruh. Warga umumnya memanfaatkan air sungai untuk air mandi, mencuci. Air sungai yang diambil warga disaring menggunakan alat sederhana agar kotoran atau limbah rumah tangga dan pedagang yang dibuang ke dalam sungai tidak terbawa dan sedikit bersih.
“Dalam satu hari itu kita ambil air sungainya tiga kali. Untuk keperluan pagi, siang dan kebutuhan mandi malam” kaya Oyon salah seorang pelajar.
Untuk sumur galian warga yang masih ada air dikerumuni warga untuk antrean mengambil air. Kebutuhan air malam hari antrian bisa mencapai tengah malam, sementara untuk mendapatkan air pagi hari antrian sudah dimulai subuh.
“Kalau kita terlambat makin lama menunggu untuk dapat air,” kata Oyon.