JADI SAMBAL ADAT, IKAN SASAU DAN BILIH BERKURANG, NINIK MAMAK MALALO TIGO JURAI TOLAK MASUKNYA PLTS SINGKARAK
Oleh: Jaka HB
Hari masih sangat pagi dan Darmianus (61) memindahkan ikan bilih yang ditangkapnya dari kantong plastik ke ember kecil bekas cat. Dia menumpahkan ikan-ikan bilih yang tak dapat memenuhi seluruh volume kaleng itu.
“Sekarang ikannya banyak kerdil gitu. Nggak tau kenapa. Masih kecil-kecil tapi sudah berlendir,” katanya.
Dia bukan nelayan yang membawa sampan ke tengah danau atau yang memasang jaring. Namun dia hanya menangguk saja di pinggir danau. Sungai mengalir ke danau dari dataran tinggi. “Dari situlah dapat, ada ikan ditangguk,” katanya.
Ikan bilih yang ditangkapnya itu sejak tadi malam ada di tangannya. “Dulu semalam bisa lebih dari satu kilo dapat. Kini semalaman kadang cuma dapat setengah kilo. Sekilonya bisa 50 ribu rupiah,” katanya.
Saya kemudian bertemu dengan Muhamad Nasir (71) yang sudah menjadi nelayan sejak usia 15 tahun mengatakan dahulu di tepian danau singkarak ikan gam,pang dilihat dan didapat. Kini dia sudah menjadi pengumpul ikan dan mengelola 25 bagan atau kapal besar penangkap ikan di danau. Satu bagan modalnya bisa 15 sampai 20 juta. “Kadang semalaman menjala dapatnya cuma satu sampai dua kilo,” katanya.
“Ini sudah enam bulan ikan itu hilang,” katanya.
Selain karena pengaruh lahar dingin marapi beberapa waktu lalu, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Singkarak juga menurutnya berpengaruh ke ekosistem ikan di Danau Singkarak. Dia mengatakan jika dulu ada pintu air yang diangkat ketika air berlebih, lantas lumpur bagian bawah yang akan terseret ke hilir dan danau tetap bersih. Namun kini pintu air PLTA atau pun Ombilin tidak pernah diangkat sehingga air bersih yang terus menerus keluar dan lumpur serta sampah tertinggal di dasar danau. Kondisi itu menurutnya membuat ikan tak bisa lagi bertelur di danau dan jarang.
Nasir mengatakan sekitar 10 tahun yang lalu jenis ikan masih banyak. Seperti Turiak, Puyu, Catuak, Sasau, Baung, Tilam, Jabuih dan banyak lagi. “Jabuih (ikan gembung) duo tahun ini susah,” katanya.
Kesulitan itu ditambah lagi kondisi fenomena alam seperti erupsi marapi beberapa waktu lalu masuk ke Danau Singkarak. “Entah karena belerangnya ndak tau,” katanya.
Menurut keterangan beberapa warga danau singkarak dulunya masih jernih. Nampak pasir dan lamun di bawah air, tempat ikan bilih dan ikan lainnya bertelur dan makan. Selain ikan bilih, ada pula ikan sasau yang sering jadi sambal adat atau selalu jadi simbol adat dalam acara-acara adat setempat.
Menurut Abu Bakar gelar Katik Marajo, tokoh adat Malalo, ikan sasau wajib ada dalam acara-acara adat. Dia tidak untuk dimakan, namun lebih ke sambal adat. “Lalu ikan bilih jadi sambal mangkusan istilahnya atau sambal salah yang juga dihadirkan dalam acara adat,” katanya.
Ikan bilih dan ikan sasau menjadi sambal adat karena jarang ada di negeri lain. Kalau pun ada rasanya berbeda.
“Seperti ikan sasau ada namanya di negeri lain itu barau, yang sasau di Indonesia ini yang adanya di SIngkarak. Itu diambil jadi kepala adat, ikannya tidak dipotong, satu ekor, ada yang satu kilo setengah ada yang satu kilo. Karena hanya ada di Singkarak makanya dijadikan sambal adat,” katanya.
Mulai jarangnya ikan bilih dan ukurannya jadi lebih kecil disadari oleh Weirda selaku Bundo Kanduang Malalo Tigo Jurai. Sudah 66 tahun Weirda tinggal di Nagari Padang Laweh, Tanah Datar, baru sepuluh tahun belakangan ikan bilih jadi barang mewah di meja makan. “Dulu waktu kecil-kecil ikan bilih biasa aja ada di meja makan itu. Selalu ada,” kata Bundo Kanduang di Malalo.
Dewi Imelda selaku akademisi Biologi unand yang fokus ke bidang genetika mengatakan semua yang masuk kedalam suatu sistem tentu ada pengaruhnya. “Entah negatif atau posistif. Tentu perlu data-data ilmiah yang akan memberi penjelasanya,” kata guru besar unand yang sering meneliti Danau Singkarak ini.
Malalo Tigo Jurai membawahi dua nagari yaitu Guguak Malalo dan Padang Laweh. Padang Laweh sebanyak 75 persen warga nelayan dan sisanya bertani karena secara geografis mereka memiliki dataran yang cocok untuk berkebun dan bertani. Sedangkan ke arah Guguk Malalo termasuk wilayah Bayiang, hampir seluruhnya masyarakat menggantungkan hidup di danau. Sebab secara geografis wilayah mereka kebanyakan lereng yang tak begitu cocok untuk bertani. Maka mulai dari lelaki dan perempuan mereka mencari ikan, membersihkan ikan dan mengemasnya.
Meskipun begitu nelayan-nelayan di Malalo Tigo Jurai tak bisa sembarang mengambil ikan. Sama halnya dengan tanah ulayat, danau pun sudah dibagi wilayah adatnya sejak sebelum kemerdekaan republik.
Eduardo ketua tim penolakan plts yang mewakili para pucuk adat di Malalo Tigo Jurai mengatakan masyarakat banyak mengeluhkan, terutama terkait sumber penghidupan mereka di danau. “Mereka takut kehilangan penghasilan, Beberapa tahun ini sudah berkurang, jangan nanti pas ada PLTS itu justru menghilangkan sumber pengharaian mereka di danau. Sikap kami sebagia masyarakat berharap imbauan pada pemerintahan perhatikanlah adat istiadat kami ini,” katanya.
Malin selaku salah satu tokoh pemuda adat Malalo Tigo Jurai mengatakan proses masuknya PLTS tidak melalui budaya setempat. “Ada ninik mamak, masyarakat setempat. Sejak 2019 sampai sekarang tidak ada,” katanya.
Selain itu Malin mengatakan masyarakat tidak dapat Amdalnya. “Bagaimana dampaknya ke ikan di danau dan semuanya, masyarakt tidak tahu,” katanya.
Pasal 18b ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia 1945 sudah menyatakan negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat adat. “Belum merdeka Indonesia, sudah dilaksanakan hukum adat, sejak zaman Belanda,” kata ABu Bakar gelar katik marajo, salh satu tokoh adat sepuh di Malalo Tigo Jurai.
Dia mengatakan perairan Danau Singkarak juga memiliki batas adat, seperti halnya tanah. Tak hanya perbatasan perairan antara nagari, tapi juga setiap tepian di danau ada pemiliknya masingpmasing kaum. Seperti tepian untuk suku Bodi Caniago dan kaum-kaum lain. “Itu sudah diatur sejak dahulu kala oleh Datuk Prapati Nan Sabatang dan Datuk Ketumanggungan,” katanya.
Orang-orang jaman dahulu kata Abu Bakar menyebut Singkarak ini sebagai sebuah lubuk. “Munculnya karena ledakan Gunung Daun,” kata Abu Bakar kemudian melebarkan senyumannya.
Lantas dia melanjutkan masyarakat Malalo Tigo Jurai menolak karena tempat mencari ikan masyarakat nanti akan hilang. Padahal semua ulayat itu menurutnya dibagi-bagi agar masyarakat dapat menghidupi dirinya atau penerusnya sendiri. Jika ada yang tidak bekerja anak kemenakan mereka bisa mencari ikan ke danau atau bercocok tanam di ladang. Jika PLTS jadi dibangun, maka kemana mereka mencari ikan.
Nur layla sebagai anggota dari Bundo Kanduang di Malalo Tigo Jurai mengatakan banyak kecemasan yang muncul terkait rencana pLTS itu.
“Kalau kami sebagai bundo kanduang pertama kalau PLTS itu ada nanti, itu ada efek radiasi dan itu membuat generasi penerus kami bodoh-bodoh, padahal dalam agama kita dilarang membuat generasi penerus yang bodoh, kalau kita membuat anak-anak jadi bodoh, kami sudah mau wafat lagi, tu mereka yang masih meneruskan kehidupan mau jadi apa nanti?” katanya dengan tempo bicara yang cepat.
Selanjutnya menurut Layla kalau lah kehidupan sulit, berarti anak dan cucu merantau. “Terjuallah kampung, ndak tahu lagi mereka nenek moyangnya di sini, karena tidak ada pencarian lagi di kampung,” katanya.
Dia mengatakan ketakutan-ketakutan itu datang karena mereka juga tidak tahu bagaimana pastinya. Mereka juga takut semua itu berdampak pada tanaman pangan mereka, berdaun tapi tak berbuah. Dia tak tahu apa lagi yang bisa jadi penghidupan generasi penerus selanjutnya jika itu semua terjadi.
“Harapan kami ya dikaji betullah manfaat dan mudharatnya dulu PLTS ini. Kalau dapat yang banyak manfaatnya daripada mudaratnya untuk kami. Mungkin ada yang dapat ganti rugi tanah sebagian, nah orang yang tidak dapat ganti rugi kan terbawa merugi dan menderita juga,” katanya.
“Ka lauik babungo karang. Ka rimbo babungo kayu,” kata Abu Bakar gelar Katik Marajo.
Katik menjelaskan artinya misalnya ada kayu turun dari hutan dan digunakan pemerintah ada pembayarannya. “Uangnya untuk pembangunan balai-balai adat, perbaikan rumah-rumah yang rusak dan pembangunan kampung,” katanya.
Kedua ka lauik babungo karang.
“Apabila orang luar datang mencari ikan harus bayar juga ke ninik mamak,” katanya. Dulu pernah satu orang 15 sampai 20 ribu. Namun ini berlaku untuk kampung selain tetangga wilayah adat Malalo Tigo Jurai.
“Sebab air nan setitik, rumpuik nan sahalai dan tanah nan sebingkah itu hak ulayat ninik mamak di ranah minang. Ibarat pemerintah sekarang itu adalah aset provinsi Sumatera Barat,” katanya.
Selain itu danau juga akan digunakan untuk anak cucu keturunan setempat. Tepatnya sarana ekonomi untuk generasi penerus. Jika ada anak muda yang belum mendapat kerja dan tidak memiliki uang untuk membeli makanan bisa mencari ikan di danau dan menjualnya atau mengonsumsinya sendiri.
Aturan-aturan ini kata Katik sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda. Bahkan untuk tepian-tepian danau tempat mandi untuk kaum-kaum adat juga diatur, tujuannya agar tidak bertengkar soal wilayahnya.
Katik menyebut adat mereka masih berjalan. Dia mengatakan pasal 18b ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia 1945 sudah menyatakan negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat adat. “Belum merdeka Indonesia, sudah dilaksanakan hukum adat, sejak zaman Belanda,” katanya kemudian melebarkan senyum.
Roni Saputra Direktur Penegakkan Hukum SDA-LH Auriga Nusantara mengatakan saat pemasangan panel surya di danau, ada komponen lain yang mengikuti. Mulai dari yang di bawah air untuk kemudian disambungkan ke transmisinya atau sutet yang akan dibangun. Selain itu dia mengatakan menurut beberapa riset pemancaran matahari ke panel surya bagus.
“Tapi saat musim kemarau akan mempercepat penyusutan air danau,” katanya.
Selanjutnya kata Roni panel surya rata-rata dibangun di waduk atau danau buatan. Selain itu lokasinya juga jauh dari pemukiman. Sedangkan Danau Singkarak ada di tengah-tengah pemukiman. “Itu akan merusak sistem di situ. Alasan pemerintah akan membuka lapangan kerja baru sampai kapan? Sampai proyek selesai? Yang dibutuhkan hanya pekerja kasar,” katanya.
Dia mengatakan pemerintah atau PLN wajib memberikan informasi ke masyarakat. Jika tidak itu pelanggaran dalam proses pelayanan. Sebab masyarakat berhak mendapatkan informasi.
Roni mengatakan jangan sampai terjadi rempang kedua. “Jangan hanya gara-gara alasan menggantikan energi fosil ke energi terbarukan, prinsip-prinsip perlindungan terhadap hak asasi manusia terutama prinsip fpic (Free Prior Informed Consent) ditinggalkan,” katanya.