Debat Calon Gubernur Sumbar/ Afdal

Gen-Z: Penentu Masa Depan Bangsa di Pilkada 2024, Sudah Siapkah Mereka?

Oleh: Windy Aruna Borneo*

 

 

Masyarakat Indonesia akan segera menghadapi pesta demokrasi serentak yang akan menentukan masa depan bangsa 27 November ini. Anak muda usia 17 hingga 19 tahun yang masuk kategori Gen Z pun turut menentukan hasilnya. Sebab dalam survei katadata.co.id, Gen Z menyumbang sekitar 46,8 juta atau 22,85% dari total jumlah pemilih dalam Pemilu 2024.

Kondisi ini tentu menimbulkan kekhawatiran sendiri. Apakah mereka benar-benar sadar atau hanya ikut-ikutan? Sebab rendahnya kesadaran politik mereka dapat mendatangkan banyak risiko seperti memilih calon secara asal-asalan atau impulsif tanpa mempertimbangkan rekam jejaknya.

Guru Besar Komunikasi Universitas Islam Indonesia Profesor Masduki mengatakan di Media Indonesia bahwa dirinya menoyoroti fenomena Fear of Missing Out atau FOMO di kalangan Gen Z. Menurutnya FOMO itu menandakan kurang memadainya inforasi yang didapat. Minimnya literasi politik, edukasi formal dan dominasi informasi bias dari media sosial. Hal ini membuat anak muda cenderung ikut-ikutan tren tanpa paham apa substansi isunya. Jumlah mereka yang banyak tentu saja mempengaruhi kualitas masa depan daerah dalam proses pemilihan umum ini.

 

Minimnya Pemahaman Politik di Kalangan Remaja

 

Selain FOMO, ada kondisi menarik lainnya yang disebut oleh psikolog politik dan pemilihan umum dari Universitas Indonesia Profesor Hamdi Muluk yaitu fokus mereka. Kepada Media indonesia yang terbit 18 Juni 2022 ini dia mengatakan fase kehidupan remaja yang masih fokus ke pendidikan formal, belum mampu memikirkan isu-isu penting seperti kebangsaan, inflasi dan lapangan kerja secara mendalam.

 

“Kelompok usia remaja belum memiliki nalar politik yang matang dan sering membuat keputusan hanya berdasarkan popularitas calon,” ujar Hamdi. Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran, terutama jika remaja memilih calon pemimpin hanya karena alasan popularitas atau mengikuti pilihan teman.

 

Banyaknya informasi di media sosial yang berfokus pada ketenaran para kandidat sering kali memperkuat kecenderungan Gen Z memilih calon yang lebih dikenal. Hamdi menekankan pentingnya sosialisasi yang lebih mendalam kepada remaja agar mereka tidak hanya menjadikan popularitas sebagai dasar dalam menentukan pilihan.

 

Politisi berlomba-lomba menarik perhatian Gen Z di platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube. Media social saat ini memang menjadi alat yang efektif untuk berkampanye terutama jika menyasar Gen Z. Akan tetapi, Hamdi mengingatkan bahwa strategi ini harus diimbangi dengan pendekatan konvensional, mengingat sekitar 40% penduduk Indonesia tinggal di daerah pedesaan yang akses teknologi digitalnya masih terbatas.

 

Sosialisasi menjadi penting karena Politisi berlomba-lomba menarik perhatian Gen Z di platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube. Media sosial saat ini menjadi alat yang efektif untuk berkampanye terutama jika menyasar Gen Z. Akan tetapi, Hamdi mengingatkan bahwa strategi ini harus diimbangi dengan pendekatan konvensional, mengingat sekitar 40% penduduk Indonesia tinggal di daerah pedesaaan yang akses teknologi digitalnya terbatas. Sebab itu media konvensional seperti baliho, spanduk serta acara sosial seperti khitanan massal atau pembagian sembako menjadi relevan dan efektif.

 

Usia 20-an Dianggap Sebagai Fase Gen-Z Mulai Meningkat Nalar Politiknya

 

Menurut Hamdi, mereka yang sudah memasuki usia awal 20-an, mulai memiliki pandangan politik yang lebih matang. Mahasiswa yang terlibat dalam aktivitas kampus, misalnya, mulai terpapar diskusi-diskusi publik dan isu-isu nasional seperti korupsi. Pada usia ini, mereka mulai bersikap kritis dan cenderung memiliki kepedulian yang lebih besar terhadap kondisi kenegaraan.

 

Sementara itu, kelompok usia 25 tahun ke atas, atau generasi milenial, sudah dianggap cukup matang dalam memahami isu-isu politik dan ekonomi. “Kelompok ini diharapkan mampu membawa situasi ekonomi dan sosial ke arah yang lebih baik,” tambah Hamdi.

 

Dr. Dicky Pelupessy, Ph.D., Ketua Laboratorium Intervensi Sosial dan Krisis Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, dalam wawancara dengan Media Indonesia (18/06/2022), memiliki pandangan yang berbeda dengan Hamdi. Ia meyakini bahwa meskipun remaja usia 17 hingga 19 tahun mungkin kurang tertarik pada politik, mereka memiliki akses yang lebih besar terhadap informasi melalui media digital. Banyak informasi terkait pemilu dan kondisi politik yang mudah diakses melalui gawai. “Dengan banyaknya informasi yang tersedia, generasi muda seharusnya bisa memperoleh informasi secara mandiri,” jelas Dicky.

 

Namun, ia menyayangkan jika para pemangku kepentingan hanya mengandalkan website resmi seperti situs KPU, karena kemungkinan besar Gen Z enggan mengaksesnya. “Jika hanya mengandalkan situs resmi, yang mengunjungi pasti sangat sedikit,” tambahnya.

 

Untuk mengatasi tantangan ini, Dicky mendorong pemerintah dan pihak terkait untuk hadir di ruang-ruang yang digemari anak muda, seperti di M Bloc Space di Jakarta Selatan, yang merupakan tempat nongkrong populer bagi kalangan muda. Acara-acara kreatif seperti stand-up comedy atau live music bisa menjadi media untuk menyisipkan edukasi politik dengan cara yang menarik.

 

Data Golput dan Pentingnya Pendidikan Politik Sejak Dini

 

Salah satu permasalahan dalam pemilu 2019 lalu adalah tingginya angka golput yang mencapai lebih dari 34 juta penduduk. Angka tersebut menunjukkan besarnya jumlah warga negara yang belum menyadari pentingnya peran suara mereka dalam menentukan masa depan bangsa. Dalam negara demokrasi, suara rakyat sangat menentukan pemimpin, namun bagaimana masyarakat dapat memilih dengan bijak jika tidak pernah mendapatkan sosialisasi yang memadai?

 

Di sinilah pentingnya pendidikan politik yang bertujuan membentuk kesadaran warga negara akan hak dan kewajibannya. Pendidikan politik bukan hanya sekadar materi dalam pelajaran PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan), melainkan proses yang mendalam untuk membantu individu memahami, menilai, dan membuat keputusan politik secara rasional. Dengan pendidikan politik yang baik, masyarakat akan dilatih untuk mengumpulkan informasi dari berbagai sumber, mengenal struktur politik dan pemerintahan, serta memiliki kesadaran kritis.

 

Pendidikan politik yang baik akan mendorong Gen Z untuk mempertimbangkan dampak dari setiap pilihan yang mereka buat dalam pemilu. Pemilu yang berlandaskan pendidikan politik akan menghasilkan pemilih yang cerdas, dengan pilihan yang mempertimbangkan konsekuensi bagi masa depan bangsa.

 

Instruksi Presiden (Inpres) No. 12 Tahun 1982 menekankan pentingnya pendidikan politik bagi remaja sebagai bekal dalam memahami dinamika politik bangsa. Melalui pendidikan ini, anak muda diharapkan lebih kritis dalam mengidentifikasi calon pemimpin yang memiliki rekam jejak baik dan layak dipercaya.

 

Politik dan Isu Populer di Kalangan Gen Z

 

Saat ini, isu-isu populer di media sosial seperti perselingkuhan dan gosip seringkali lebih menarik perhatian Gen Z daripada isu politik. Padahal, memahami politik adalah bekal dasar untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Gen Z perlu disadarkan bahwa memilih pemimpin bukan sekadar menyelupkan jari ke tinta, tetapi proses penting yang berdampak pada kesejahteraan bangsa.

 

Jika Gen Z mendapat pendidikan politik yang baik, mereka akan mampu berpartisipasi secara kritis, menilai calon pemimpin dengan tepat, dan bahkan berkontribusi dalam perbaikan sistem politik. Pendidikan politik memungkinkan mereka untuk mempertanyakan dan mengkritisi kebijakan yang tidak adil, serta berperan aktif dalam mewujudkan bangsa yang lebih maju.

 

Masa Depan Indonesia di Tangan Generasi Kritis

 

Kualitas pemilu akan sangat dipengaruhi oleh pemahaman dan kesadaran politik masyarakat, terutama Gen Z. Komisi Pemilihan Umum (KPU) memiliki tugas penting dalam meningkatkan kualitas pemilu dengan memberikan edukasi mengenai pentingnya memilih calon pemimpin yang kompeten. “Setiap warga negara bertanggung jawab atas suara yang mereka berikan, dan KPU memiliki tanggung jawab besar dalam mensosialisasikan pentingnya memilih calon berdasarkan kualitas dan rekam jejak,” ujar Hamdi.

 

Hamdi menekankan bahwa Gen Z tidak boleh memilih calon pemimpin hanya karena alasan ketenaran atau karena mereka terlihat keren. KPU harus aktif memberikan informasi yang mudah dipahami dan relevan bagi remaja, agar mereka memahami pentingnya pemilu dan dampak dari suara yang mereka berikan

 

Pemikiran anak muda mencerminkan masa depan bangsa. Dengan pendidikan politik yang baik, Gen Z akan tumbuh sebagai warga negara yang mampu menilai dan mengambil keputusan secara rasional, demi kemajuan bangsa. Pendidikan politik bagi remaja bukan hanya sekadar wacana, melainkan kebutuhan yang mendesak untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik dan demokratis.



 

*Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas

Dukung kami untuk menghadirkan cerita, dan liputan yang mendalam terkait yang terpinggirkan.

 

Silahkan klik tautan dibawah ini.