Bencana, Kerusakan Ekologis, dan Momentum Hari Jadi Sumatera Barat: Refleksi Krisis dalam Paradoks Pembangunan

Oleh: Dharma Harisa

 

 

Sumatera Barat tidak butuh perayaan yang hampa, melainkan tindakan konkret untuk keberlanjutan ekologi di jantung pembangunan. Hanya dengan itu kita bisa benar-benar merayakan hari jadi provinsi pada 1 Oktober lalu. Memastikan generasi mendatang tidak hanya mewarisi petatah-petitih Minangkabau saja, tetapi juga tanah subur dan aman dari bencana yang manusia ciptakan.

 

Antara upacara resmi, sambutan-sambutan penuh semangat, kerasnya suara derap langkah tari-tarian tradisional ada yang luput dari perhatian: jeritan alam yang hancur, tanah yang retak, dan hutan yang ditinggalkan. Ironisnya, provinsi yang begitu bangga dengan keindahan alam dan keragaman budaya justru menjadi saksi bisu dari kehancuran ekologi yang mematikan, sebuah realitas yang tidak bisa diabaikan lagi.

 

Ada yang perlu kita renungkan secara serius: apa yang telah kita lakukan pada tanah yang telah memberi kita kehidupan? Mengapa bencana terus berulang? Sebab serangkaian bencana alam seperti banjir bandang, longsor, dan lahar dingin yang belakangan melanda Sumatera Barat tidak dapat lagi hanya diklasifikasikan sebagai peristiwa alam saja. Semua itu tak ubahnya hasil eksploitasi kerakusan manusia dan kebijakan pembangunan yang tidak berkelanjutan. Kondisi itu mempercepat intensitas dan frekuensi bencana-bencana ini. Tanah subur Sumatera Barat kini menjadi lahan pertempuran antara ambisi manusia dan batas kemampuan alam untuk bertahan.

 

Menyadari bahwa setiap pohon yang kita tebang, setiap sungai yang kita kotori, dan setiap lahan yang kita alih fungsikan sebagai rantai penyebab bencana yang kita derita, kita bisa mulai merencanakan masa depan yang lebih baik.

 

Bencana Muncul Karena Manusia yang Merusak Lingkungan

 

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mengungkapkan bahwa 50% hutan di Sumatera Barat telah mengalami degradasi, sebagian besar penyebabnya aktivitas industri perkebunan dan pertambangan. Dampaknya tanah yang dulu kaya akan vegetasi kehilangan daya serap air secara efektif yang pada gilirannya memperparah risiko banjir bandang dan longsor.

 

Menurut laporan Data Informasi Bencana Indonesia (DIBI) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sejak tahun 2020, Sumatera Barat mengalami 388 kali bencana banjir dan longsor, rata-rata 78 kejadian bencana per tahun. Mayoritas kejadian itu berakar pada kerusakan ekologis berbentuk deforestasi, curah hujan tinggi dan alih fungsi lahan. 

 

Tentu saja, alam tidak rusak begitu saja tanpa sebab. Degradasi menurut Walhi tersebut mencakup penebangan hutan secara liar, alih fungsi lahan, dan eksploitasi sumber daya alam. Tiga kondisi itu menjadi tiga pilar utama dari kerusakan ini.

 

Satu contoh tragis penebangan liar adalah banjir besar yang terjadi di Kabupaten Pesisir Selatan pada bulan Maret lalu. Menurut laporan Mongabay.co.id, banjir dan longsor yang melanda Pesisir Selatan diduga disebabkan oleh aktivitas illegal logging yang terjadi di hulu sungai. Hal ini berdasarkan banyaknya kayu-kayu bekas tebangan di lokasi banjir. Dugaan tersebut turut diamini Menteri PUPR dan Kepala BPBD Sumbar.

 

Tercatat 74 ribu jiwa sempat mengungsi, dengan kerugian ekonomi yang mencapai kerugian mencapai angka Rp1 triliun. Di wilayah tersebut, pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit telah menghancurkan lapisan tanah atas yang biasanya berfungsi sebagai penahan air. Ketika musim hujan tiba, air yang biasanya diserap oleh tanah tersebut kini hanya mengalir bebas, menghanyutkan apa saja yang ada di hadapannya.

 

 

Kerusakan Hulu Daerah Aliran Sungai Jadi Penyebab

 

Kerusakan hulu sungai DAS adalah suatu fakta. Survei dari penelitian tentang Kuranji menggambarkan keadaan DAS Batang Kuranji yang tandus dan rusak. Berbagai bencana hidrologi seperti banjir, longsor, dan kekeringan yang sering terjadi di Indonesia merupakan indikasi rusaknya keseimbangan tata air akibat berkurangnya kemampuan beberapa proses daur hidrologi. 

 

Penelitian Teguh Haria Aditia Putra dari Universitas Andalas tentangKajian Optimasi Penggunaan Lahan Dalam Mendukung Konservasi Tanah dan Air Pada DAS Kuranji” pada 2021 mengonfirmasi kerusakan ini. Penelitian ini mengemukakan permasalahan DAS Kuranji yang mengalami kemerosotan daya dukung lingkungan karena aktivitas masyarakat dalam pengelolaan sumber daya hutan. Seperti penebangan kayu secara ilegal pada hulu yang statusnya hutan lindung dan konservasi. 

 

Berdasarkan analisis citra satelit 11 tahun terakhir (2007-2018), teridentifikasi bekas illegal logging seluas ± 198,01 ha dengan persebaran 162 titik. 118,17 ha dalam hutan lindung, 16,74 Ha dalam Kawasan konservasi dan 63,1 Ha dalam kawasan areal penggunaan lain. 

 

Dalam penelitian itu, penyebab maraknya illegal logging adalah lemahnya penegakan hukum. Sehingga masyarakat tidak punya kontrol dalam mengeksplorasi sumber daya hutan. Padahal, penebangan serampangan ini mengakibatkan hilangnya vegetasi pelindung permukaan tanah. Sehingga terjadi erosi dan banjir.

 

Untuk kota Padang dari tahun 2012 – 2020, terjadi intensitas peningkatan banjir. Tercatat pada tanggal 24 Juli 2012 dan 12 September 2012 banjir telah melanda Batang Kuranji yaitu berupa air yang bercampur lumpur telah memporak porandakan rumah. Pemerintah Kota Padang mengklaim kerugian Rp 263,9 Milyar (Padang Ekspres, 28 Juli 2012).  Sungai Batang Kuranji merupakan sumber utama air irigasi. Apabila di hilir sungai terjadi banjir akan menggenangi sekitar 3.500 ha areal pertanian.

 

Padahal kita memiliki Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat No. 08 tahun 2014 tentang Daerah Aliran Sungai yang menjelaskan aspek lingkungan. Mulai dari persoalan perubahan penggunaan lahan kawasan lindung menjadi tutupan non-kehutanan sehingga menimbulkan permasalahan berantai seperti erosi hingga pendangkalan sungai.

 

Kondisi ini menurunkan fungsi DAS sebagai daerah tangkapan air dan penahan laju limpasan permukaan (run off). Kondisi ini berimbas pada fluktuasi debit sungai yang makin besar, mengakibatkan krisis air. Sehingga menyebabkan kekeringan, banjir dan tanah longsor yang tidak dapat masyarakat hindari. 

 

Belum lagi dengan penebangan-penebangan liar yang juga terjadi di Dharmasraya, Sijunjung, Solok dan Solok Selatan, Pesisir Selatan, Agam dan Tanah Datar. Sebab dari dua bencana banjir bandang (galodo) di Pesisir Selatan, Agam, dan Tanah Datar saja ada 87 orang meninggal dunia. Peristiwa-peristiwa itu memaksa ribuan orang mengungsi. Dampaknya tidak hanya berhenti pada korban jiwa, tetapi juga merusak infrastruktur, menghancurkan lahan pertanian, dan menyebabkan kerugian ekonomi yang mencapai ratusan miliar rupiah.

 

 

Posisi Manusia Secara Filosofi dan Penegakkan Hukum Lemah

 

Dalam konteks ini, filosofi pembangunan Martin Heidegger tentang “Being” dan “Being-with-the-world” relevan untuk dipertimbangkan. Heidegger mengajarkan bahwa manusia seharusnya tidak memposisikan dirinya sebagai penguasa atas alam, tetapi sebagai bagian dari alam itu sendiri—hidup selaras dengannya. Namun, sebagian besar pengambil kebijakan melihat alam hanya sebagai objek yang dapat dieksploitasi tanpa henti. Inilah paradoks eksistensial yang harus kita hadapi di Sumatera Barat: provinsi ini sedang dalam proses pembangunan, tetapi pada saat yang sama juga dihancurkan.

 

Apa yang kita lakukan terhadap alam akan kembali kepada kita dengan konsekuensi yang lebih besar. Prinsip karma dalam banyak ajaran filosofi Timur juga relevan di sini: apa yang kita tanam, itulah yang kita tuai. Dalam konteks Sumatera Barat, apa yang kita tuai adalah banjir, longsor, dan kehancuran, karena kita telah menanam kerusakan dan ketamakan.

 

Tidak bisa dipungkiri, lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan menjadi akar dari banyak permasalahan ini. Terakhir kejadian tambang emas ilegal di Kabupaten Solok. Kapolres Solok mengaku sudah beberapa kali merazia tambang yang akhirnya berujung longsor di nagari Sungai Abu. Naas, ketidaktegasan itu berujung meninggalnya 13 nyawa.

 

Walhi Sumbar mengatakan, jikapun ada penindakan oleh pihak kepolisian, hanya menyentuh pekerja tambang dan operator alat berat. Kita jarang mendengar pemodal atau oknum yang membekingi menjadi tersangka dalam kasus-kasus tambang ilegal.

 

Pentingnya Kesadaran Lingkungan Masuk ke Kurikulum

 

Melalui kondisi ini seharusnya masyarakat kita memiliki kesadaran tentang pentingnya menjaga lingkungan sejak dini. Ada baiknya negara menyelenggarakan pendidikan lingkungan  dari tingkat sekolah dasar. Namun, hal ini sering kali diabaikan atau tidak dianggap sebagai prioritas. Sebagai hasilnya, generasi muda tumbuh dalam ketidaktahuan tentang bagaimana menjaga alam dan berkontribusi terhadap keberlanjutan ekosistem.

 

Pendidikan tentang pentingnya menjaga alam harus masuk dalam kurikulum pendidikan di semua tingkatan. Masyarakat harus diberikan pemahaman tentang bagaimana mereka bisa berkontribusi terhadap keberlanjutan lingkungan. Mendorong dialog antara pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta untuk merumuskan solusi yang saling menguntungkan dan ramah lingkungan.

 

Melalui langkah-langkah tersebut, mungkin saja kita bisa mengubah cara pandang kita terhadap alam dan mengakhiri siklus kerusakan yang tak berujung. Sebab,kita harus memperbaiki alam, bukan memperbaiki keadaan yang ada. Dan ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga tanggung jawab kita semua—masyarakat Sumatera Barat.

 

Harus ada komitmen dari setiap lapisan masyarakat untuk menjaga dan merawat alam yang telah memberikan begitu banyak kepada kita. Sebab, tanpa alam yang sehat, keberlanjutan budaya dan ekonomi Sumatera Barat akan menjadi impian yang semakin jauh dari kenyataan. Provinsi ini harus melakukan reformasi total. Mulai dari memperbaharui dan menegakkan kebijakan tata ruang yang berorientasi pada keberlanjutan. Selanjutnya meninjau kembali semua izin yang mengeksploitasi alam sampai mengalokasikan angggaran mitigasi bencana yang lebih tinggi dan signifikan agar provinsi ini siap menghadapi bencana di masa depan. Selain itu juga penegakkan hukum yang tegas tanpa kompromi.

 

Jika tidak, mau tidak mau kami harus bertanya: di mana posisi pemerintah dalam menjaga alam?

 

 

Dukung kami untuk menghadirkan cerita, dan liputan yang mendalam terkait yang terpinggirkan.

 

Silahkan klik tautan dibawah ini.