Keberpihakan Sejarah Howard Zinn, Sejarawan Progresif Amerika

Kelak, kepahitan pengalamannya akan perang itulah yang menyebabkannya menulis sebuah karya sejarah yang fenomenal, yang bertutur dari sudut pandang mereka yang kalah, A People’s History of the United States.

Aufannuha Ihsani

28 Februari 2023

Saya selalu beranggapan bahwa jurnalisme dan historiografi adalah dua hal yang memiliki kemiripan. Keduanya sama-sama fokus pada sebuah peristiwa, pada apa-apa yang terjadi dan penting untuk dicatat dan diketahui khalayak. Namun, kendati demikian, sejarah lebih mengambil jarak pada masa lalu. Ia mencatat peristiwa-peritiwa yang penting untuk diketahui, menjelaskan mengapa sesuatu itu terjadi dengan data baik dari dokumen-dokumen tertulis macam arsip atau surat kabar sezaman maupun wawancara dengan saksi sejarah yang masih hidup.

Sejak awal, sejarah saya pandang sama dengan jurnalisme karena ada unsur subyektivitas yang tidak terelakkan di sana. Ketika memilih sebuah tema untuk berita, atau ketika seorang sejarawan memilih tema, keduanya sudah dalam posisi subyektif. Mengapa memilih tema ini dan tidak tema yang lain, padahal penting atau tak penting kemudian hanya berdasar pada soal “menurut siapa”.

Yang membuatnya menjadi obyektif adalah bahwa baik sejarah maupun jurnalisme memiliki metode penulisannya masing masing. Ketika kita menulis berita, akan ada proses reportase yang mencakup wawancara dan kajian pustaka, setelah itu akan ada transkrip wawancara, lalu selepas menganalisis, baru berita itu ditulis.

Begitu pula sejarah. Empat metode yang dikenal sejarawan kontemporer akan selalu berkutat pada (1) heuristik, (2) kritik sumber, (3) interpretasi, dan (4) historiografi. Metode-metode macam itulah yang membuat baik sejarah maupun jurnalisme menjadi obyektif. Banyak orang bisa menerima jika metodenya terpenuhi dengan runut.

Namun sejarah menjadi sedikit lebih kompleks, karena ia berkaitan banyak dengan politik. Di dalamnya ada memori kolektif yang dapat menggugah elan. Di sisi yang lain, sejarah dapat melegitimasi sebuah pemerintahan, ia menjadi alasan bagi sekelompok orang untuk bergerak, bahkan merumuskan identitas.

Dari sana, maka sejarah merupakan sebuah ilmu yang berdiri di tengah-tengah. Ia dapat digunakan untuk mengonstruksi sekaligus mendekonstruksi apapun. Ia pisau bermata dua. Ketika berbicara dalam konteks negara, wa bil khusus Indonesia, para sejarawan akan berbincang soal bagaimana bangsa asing datang dan mendirikan sebuah kongsi dagang (VOC), lalu membikin pemerintahan kolonial di sini. Kemudian akan ada penjelasan pula soal usaha perlawanan yang sporadis dan menyebar itu, dan beralih pada masa pergerakan nasional, di mana sudah ada kesadaran intelektual untuk bersatu dan keinginan untuk merdeka dengan jalur politik.

Sederet nama-nama kemudian muncul: Wahidin Soedirohusodo, Tjokroaminoto, Semaoen, Ki Hadjar Dewantara, Hadji Misbach, Ahmad Dahlan, Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan lain-lain. Tokoh-tokoh besar itu yang kita kenal selama ini dalam buku-buku sejarah. Berbincang soal mereka memang menambah wacana kita soal apa yang pernah terjadi di masa silam. Namun, sejarah kemudian hanya akan berkutat pada orang-orang besar dan apa yang mereka lakukan, tanpa melihat bagaimana mereka yang berada di kalangan akar rumput juga peranan untuk mengukir sebuah peristiwa.

Jika yang kecil saja tidak diberi ruang untuk berpendapat, lalu bagaimana dengan mereka yang dicoba untuk dihapuskan nama-namanya dalam sejarah? Apakah mereka akan dikenal, diwacanakan, dan ditulis dalam lembar-lembar yang mengisahkan perjalanan sebuah negara?

* * *

Bulan September 2009, ada aksi besar-besaran di depan kantor pusat Jawa Pos di Surabaya. Front Anti-Komunis memotori aksi ini karena terpicu oleh sebuah artikel yang ditulis Dahlan Iskan di Jawa Pos pada 9 dan 15 Agustus sebelumnya. Dalam artikel itu, Dahlan Iskan berbincang soal Soemarsono, Ketua Pemuda Republik Indonesia (PRI). PRI sendiri adalah sebuah organisasi yang menghimpun kekuatan pemuda di Surabaya. Ia orang PKI. Dalam tulisannya, ia mengungkapkan bahwa Soemarsono juga berperan layaknya Bung Tomo dalam Pertempuran 10 November di Surabaya. Alasan mengapa ia tidak pernah diungkap oleh sejarah adalah karena rezim Orde Baru berusaha menutup segala data dan sejarah terkait PKI.

Dalam aksi itu, turut pula Prof. Dr. Aminuddin Kasdi, seorang guru besar sejarah Universitas Negeri Surabaya (UNESA). Ia ikut berdemo bersama massa, yang sekaligus diwarnai aksi pembakaran buku Revolusi Agustus karya Soemarsono. Ketika diwawancarai oleh i:boekoe pada 7 September 2009, ia berkata, “Wong kalah kok njaluk sejarah.”

Ketika mendengar seorang Profesor, apalagi guru besar sejarah, berkata demikian, saya jadi skeptis bahwa sejarah hanya akan mengulas tokoh-tokoh besar saja, yang punya kuasa hingga sekarang. Sejarah, dengan demikian, akan tunduk pada apa yang dimaui penguasa. Sebab jika terkuak, stabilitas politik dengan serta merta akan terganggu pula. Dengan demikian, apa yang dikatakan Gayatri Spivak soal mereka yang subaltern itu, memang benar-benar tak punya ruang-ruang untuk bersuara.

Anggapan saya hanya bertahan ketika saya menelisik soal Howard Zinn, seorang sejarawan Amerika yang ingin memberikan ruang buat mereka yang dikalahkan oleh rezim. Jika Howard Zinn ada pada September 2009 itu di depan kantor pusat Jawa Pos, saya bayangkan, ia pasti akan mendebat Aminuddin Kasdi. Namun saya megetahui Zinn sangat terlambat, bahkan setelah kematiannya di bulan Januari 2010.

Zinn lahir di New York, 22 Agustus 1922. Kedua orang tuanya adalah Yahudi imigran. Ayahnya membuka kios permen kecil, yang tak pernah terlalu mendapat banyak penghasilan. Pada 1943, ia masuk Angkatan Udara, menjadi sepesialis bomber. Namun, ketika perang usai dan ia kembali ke rumah tinggalnya, ia merasa berdosa. Setelah ia menerima medali penghargaan atas jasa-jasanya dalam perang, ia memasukkan medali itu ke dalam sebuah amplop dan menuliskan, “Jangan pernah lagi.”

Kelak, kepahitan pengalamannya akan perang itulah yang menyebabkannya menulis sebuah karya sejarah yang fenomenal, yang bertutur dari sudut pandang mereka yang kalah, A People’s History of the United States.

Saya belum sempat membaca buku itu. Beberapa referensi soal Howard Zinn saya dapatkan dari beberapa artikel di internet. Salah satu di antaranya ditulis oleh Zinn sendiri, berjudul “Untold Truths About the American Revolution”. Dalam artikel itu ia menyoal perang kemerdekaan Amerika Serikat melawan tentara Inggris, yang, sebenarnya, lupa dicatat oleh banyak sejarawan.

Perang kemerdekaan Amerika bukanlah perjuangan sama rata sama rasa, di mana setiap orang yang bukan tentara Ingris membela mati-matian negara baru tersebut. Ketika bicara soal perang kemerdekaan Amerika, pertanyaan pertama yang harus dicatat adalah, “apa yang kita dapatkan?”. Selepas itu, pertanyaan yang lain muncul, “benarkah tiap orang berjuang untuk perang kemerdekaan itu?”. Menjawab dua pertanyaan ini, Zinn berargumen bahwasanya ada beberapa pihak yang tidak sepakat dengan perjuangan itu: orang Indian, orang kulit hitam, dan petani rendah.

Tiga golongan tadi dimunculkan Zinn dalam artikelnya. Orang Indian, menurut Zinn, tidak merayakan gegap gempita semangat revolusi Amerika Serikat karena mereka lebih senang dengan orang Inggris. Apa pasal? Pada tahun 1763, pemerintah Inggris yang bercokol di Amerika membikin semacam perjanjian dengan orang Indian bahwa mereka tidak akan diusik. Perjanjian tersebut berisi bahwasanya tentara Inggris tidak diperbolehkan memasuki teritori orang Indian. Setelah Inggris kalah dalam perang kemerdekaan dan Amerika Serikat berdaulat, perjanjian itu ikut pula dihapuskan. Lalu orang-orang Amerika yang baru merdeka itu mulai membantai satu demi satu pemukiman orang Indian yang mereka temui.

Orang kulit hitam turut dimasukkan Zinn ke dalam golongan yang tidak turut bergembira. Sebelum dan sesudah perang kemerdekaan, mereka tetap dalam perbudakan. Dan perbudakan itu, bangsatnya, diatur di dalam Undang-undang. Sementara itu, petani rendah tidak mendapatkan apapun yang telah dijanjikan terhadap mereka sebelum perang dimulai. Mereka diiming-imingi tanah untuk digarap jika perang telah usai. Namun, ketika telah merdeka, petani-petani rendah itu dibiarkan saja.

Mungkin kawan-kawan pernah menonton film The Patriot. Dalam film itu, Mell Gibson seolah terlihat garang dan mau berperang setelah salah satu anaknya ditembak seorang kolonel Inggris. Tokoh utamanya digambarkan sebagai seseorang yang mau berjuang demi bangsa dan negaranya, tanpa pamrih, tanpa kenal lelah. Namun itu hanya terjadi dalam film. Pada kenyataannya, menurut Zinn, perang mesti ditilik dari perspektif “siapa mendapatkan apa”. Sebab perang, dalam definisi yang ia rumuskan, adalah “indiscriminate killing of huge numbers of people for ends that are uncertain (pembunuhan massal sembarang orang untuk akhir yang tak pasti)”.

Dengan sejarah yang berpihak pada mereka yang kalah, konsep nasionalisme seolah dibikin banal oleh Zinn. Ia tidak pernah bisa sepakat dengan Benedict Anderson yang bilang bahwa nasionalisme sejatinya adalah “komunitas politik yang dibayangkan”. Dalam buku Imagined Communities, Anderson menulis:

“Akhirnya, bangsa dibayangkan sebagai sebuah komunitas, sebab tak peduli akan ketidakadilan yang ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa, bangsa itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan melebar-mendatar.”

Zinn menolak konsep ini. Anderson tidak menjelaskan bagaimana hubungan tiap orang dalam sebuah bangsa bisa disebut sebagai “kesetiakawanan” ketika segala ketidakadilan dan penghisapan itu terjadi. Zinn menjawab definisi nasionalisme Andersonian, seperti yang dikutip pula oleh Gde Dwitya dalam artikelnya yang berjudul “Howard Zinn dan Sejarah Orang-orang Kalah” di www.jakartabeat.net, bahwa:

“Sejarah setiap negeri yang selalu ditulis sebagai sebuah sejarah keluarga menyembunyikan konflik kepentingan yang kronis antara penakluk dan pecundang, tuan dan budak, kapitalis dan buruh, serta dominator dan yang terdominasi. Dan dalam dunia yang penuh konflik tersebut, dunia para korban dan eksekutor, adalah tugas mereka yang berpikir, sebagaimana Albert Camus sarankan, untuk tidak berpihak di sisi kaum eksekutor!”

Keberpihakan Zinn adalah soal ideologinya dalam menulis sejarah. Ia seseorang yang anti kekerasan dan menolak alasan apapun yang digunakan untuk mendukung sebuah perang. Membaca sedikit soal Zinn, saya jadi teringat James Joyce. Sastrawan asal Irlandia itu sekali waktu pernah berujar bahwa sejarah adalah “mimpi buruk yang aku ingin terbangun darinya”. Sepertinya, karena kebencian Zinn itulah ia mencoba mengungkap masa lalu yang kelam bak mimpi buruk, dari sudut si pecundang, agar suatu saat kita terbangun dari apa yang dinamakan “ketidakadilan” dan “penindasan” itu.

Dukung kami untuk menghadirkan cerita, dan liputan yang mendalam terkait yang terpinggirkan.

 

Silahkan klik tautan dibawah ini.