Parade Cap Go Meh berjalan bagai siput. Terhambat tumpah-ruah manusia. Saya mencoba mendahului arak-arakan. Berjalan kaki ke arah Kelenteng See Hiong Kiong. Aroma dupa menyengat di udara lembab. Menimbulkan ingatan-ingatan mistik di tengah hujan yang juga menyertai parade itu hingga malam. Hingga selesai. Penampil seperti barongsai- alasan utama saya menonton parade, hanya terlihat seperti angin lalu saja rasanya.
Oleh David Utomo
25 Februari 2023
Perayaan imlek kali ini merupakan tahun kelinci air tahun 2574. Seperti ada hubungannya langit mendung ikut bersiap-siap. Meskipun begitu kiri dan kanan jalan jalur parade berlangsung sudah sesak oleh masyarakat Kota Padang sejak siang. Bahkan jembatan terkenal Siti Nurbaya yang merupakan tokoh roman karangan Marah Rusli itu pun penuh penonton.
Keramaian ini merupakan puncak dari perayaan imlek di Padang pada 5 Februari lalu di Padang.
Hujan kemudian turun sampai malam. Sebagian warga mencari tempat berteduh untuk tetap menyaksikan arak-arakan itu, sebagian bertahan di tempatnya semula sembari berpayung dan sebagian lagi pasrah basah oleh hujan. Menantikan arak-arakan barongsai, naga, sipasan, dan kio, juga arak-arakan peserta dengan berkostum dewa-dewi kepercayaan Tionghoa.
Apalagi yang khas dari arak-arakan perayaan itu selain tarian singa yang terkenal jamak sebagai dengan sebutan barongsai. Meskipun kita tidak menemukan singa di dataran Cina, namun seni tari tradisional bermula dari masyarakat sana.
Bermula dari Perang
Mereka percaya barongsai dapat mendatangkan keberuntungan atau mengusir hal-hal buruk. Sepanjang sejarahnya kesenian ini punya kisah berbeda pada setiap dinasti. Singa warna-warni ini populer pada dinasti selatan-utara pada 420-589 masehi. Kala itu pasukan Raja Song Wen Di menderita putus asa karena tak sanggup lagi menghadapi pasukan gajah Raja FanYang dari negeri Lin Yi.
Panglima perang Song Wendi yang bernama Zhong Que membuat tiruan boneka singa untuk mengusir pasukan gajah Fan Yang. Dia berhasil.
Selain itu ada pula Dinasti Qin yang merupakan satu dari tiga dinasti berpengaruh di Tiongkok sepanjang sejarah. Meskipun begitu dinasti ini punya umur pendek, tapi membuat catatan pertama tentang sejarah barongsai. Sampai hari ini hampir seluruh warga dunia tahu tentang kesenian ini.
Gerakan-gerakan dalam tari barongsai menuntut kecepatan kaki dan keselarasan tubuh, seperti Jet Lee yang piawai berjalan di atas tali kapal sambil memainkan barongsai dalam film Once Upon A Time In China. Sekalipun saat ini, untuk menjadi pemain barongsai tak membutuhkan keahlian seni bela diri seperti kungfu yang lengkap. Cukup dengan berlatih dasar-dasar gerakannya. Ada teknik tertentu dalam memainkan barongsai, tetapi teknik tersebut masih berpatok pada pola dasar seperti tidur, membuka, bermain, pencarian, berkelahi, makan, dan penutup. Lay see adalah gerakan utamanya, di mana barongsai akan menampilkan gerakan memakan amplop merah berisi uang. Di atas amplop merah tersebut biasanya ditempeli dengan sayuran selada air yang disebut dengan istilah chai chin.
Hingga kini boneka-boneka singa yang dimainkan beberapa orang yang punya fisik kuat itu melebur ke dalam kehidupan masyarakat di Sumatera Barat. Terlebih di Kota Padang. Warga Tionghoa peranakan telah membaur dengan pelbagai etnis di Padang seperti india, Batak, Nias, Mentawai dan Minangkabau. Saya dengar sudah delapan generasi mereka menetap di Padang. Sekalipun hal ini patut juga kita buktikan dalam pergolakan identitas mereka.
Diaspora dari utara itu dapat tinggal dan berdagang hingga jauh ke pedalaman Sumatera Barat. Sampai pada 1835 Pemerintah Kolonial Belanda melokalisasi mereka melalui kebijakan wijkenstelsel. Kini lokasi pemusatan itu dikenal dengan nama Kampung Pondok. Menjad pusat dari aktivitas perdagangan dan pemukiman kawan-kawan Tionghoa. Kondisi ini tersirat melalui keberadaan Kelenteng See Hien Kiong, Pasar Tanah Kongsi dan pelbagai organisasi perkumpulan di sana. Dalam perkebangannya hanya ada dua perkumpulan besar yang masih bertahan. Mereka adalah Himpunan Tjinta Teman atau Hok Tek Tong (HTT) dan Himpunan Bersatu Teguh atau Heng Beng Tong (HBT).
Rintangan Identitas Keindonesiaan Etnis Tionghoa Sejak Masa Kolonial
Sebutan orang Tionghoa Indonesia atau sebaliknya menurut Leo Suryadinata dalam bukunya Chinese-Indonesian: State Policy, Monoculture and Multiculture cenderung menekankan “Keindonesiaan” mereka. Oleh karena itu pergeseran dari Tionghoa-Indonesia ke Indonesia-Tionghoa perlu untuk meruntuhkan gambaran stereotip bahwa mereka adalah kelompok yang terpisah. Istilah Indonesia-Tionghoa juga menaikkan rasa nasionalis di antara suku Tionghoa di Indonesia.
Setelah peristiwa pembantaian orang-orang yang dituduh kaum Komunis tahun 1965-1966 ketika gagalnya kudeta Gerakan 30 September(G30S/PKI), pemerintah Orde Baru mengeluarkan larangan berbahasa, tradisi, dan kesenian pada etnis Tionghoa.
Pada masa rezim ini, tari barongsai hanya tampil dalam lingkungan Tionghoa saja, terkesan eksklusif tentunya. Mereka tidak boleh tampil mencolok di depan publik, lingkungan tertentu itu seperti kelenteng.
Setelah masa Reformasi Presiden Abdurrahman Wahid mencabut seluruh pelarangan terkait acara etnik mereka pada Orde Baru. Gus Dur merangkulnya. Menetapkan imlek sebagai hari libur nasional menghakhiri diskriminasi ras terhadap etnis Tionghoa di Indonesia.
Maka ada perubahan yang memikat ketika itu, kala pertunjukkan barongsai tumbuh bak cendawan di musim hujan. Setelah lengsernya Soeharto, barongsai dan liong (ular naga) adalah kesenian negeri tirai bambu yang paling mencolok terlihat di ruang publik. Setelah merayakan kebebasan itu, barongsai tidak hanya tampil dalam perayaan tahun baru Imlek saja, ia sudah komersil seperti sirkus, bisa ditampilkan kapan saja sesuai permintaan.
Tumbuh Dari Ritual Menjadi Hiburan
Kebudayaan adalah sesuatu yang dinamis. Fungsi barongsai juga telah berkembang pesat terlepas sebagai perannya untuk ritual keagamaan. Dalam tarian barongsai tersebut terdapat hubungan musikal antara penari dan ritme musik yang bergerak dalam tempo cepat atau lambat meliputi bunyi tambur, simbal, dan gong sebagai penentu pola dan ritme tarian.
Barongsai sendiri ada dua jenis. Singa utara yang memiliki surai ikal dan berkaki empat, penampilan natural mirip singa; sedangkan pada singa selatan, memiliki kaki dengan jumlah bervariasi dua sampai empat kaki. Kepala singa selatan dilengkapi dengan tanduk mirip hewan mitologi Tiongkok ‘kilin’. Barongsai kilin memiliki derajat tertinggi dalam tatanan barongsai pada tradisi Tionghoa, karena kilin adalah tunggangan dewa.
Pada masa kini masyarakat luas sudah menerima kesenian ini sebagai satu kepingan kebudayaan Tionghoa yang telah lama bersembunyi dalam sarangnya dan tercatat sebagai warisan tak benda. Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) menetapkan barongsai sebagai cabang olahraga yang berada dalam naungan Federasi Olahraga Barongsai Indonesia (FOBI). Barongsai Himpunan Bersatu Teguh (HBT) Padang pernah meraih juara 5 pada kejuaraan barongsai dunia di Genting-Malaysia pada tahun 2000. Sangat mengharumkan nama bangsa Indonesia dan membanggakan kita semua. Para pemain atau atlet barongsai kini tak hanya orang Tionghoa saja, orang non-Tionghoa pun boleh ikut dalam permainan barongsai tersebut.
Dengan demikian akulturasi kebudayaan Tionghoa di Sumatera Barat dan daerah-daerah lainnya di Indonesia telah mendapat tempat, terbukti melalui antusiasme masyarakat kota Padang yang ingin menyaksikan arak-arakan Cap Go Meh pada perayaan Imlek yang telah lama hampa semasa pandemi. Seperti penantian saya akan selesainya marching band yang berada di barisan depan parade ini.
Barisan-barisan parade serba merah ini memulai iring-iringan dari Kelenteng See Hiong Kiong dan berakhir di situ pula. Mulainya saat mendung dan berakhir dalam hujan hingga dini hari. Kabarnya setiap imlek hujan dan bermakna berkah rejeki dari yang maha kuasa.
Traktir Kopi
Jika tertarik membaca karya penulis ini dan ingin memberikannya dukungan. Silahkan klik tautan dibawah ini agar penulis lebih bersemangat dan produktif.
Click Here