Nyanyian Burung-Burung Kayu

Teks dan Foto: Uyung Hamdani

Editor: Redaksi Roehana

Namanya Robert Coi Sudarno. panggilannya Coi. Seorang pemuda Mentawai yang pernah menempuh pendidikan strata dua di pulau Jawa, ratusan kilometer jauhnya dari Matobe, kampung halaman Coi di Pulau Sipora Mentawai. Nama belakangnya itu pula yang membuat saya sering menggoda dia; jangan-jangan kamu itu anak pungut, sebab namamu Jawa sekali, Sudarno!

 

Tapi sudahlah, apalah arti sebuah nama kata pujangga purba Shakespeare.

 

Pemuda itu mengundang saya ke pernikahannya. Saya berangkat dari Padang sehari sebelum pesta perkawinan Coi dan Anna. Saya sengaja memilih waktu yang agak lapang agar bisa berjalan-jalan dikampung Coi, sebelum ia menjadi sangat sibuk mengikuti ritual-ritual adat perkawinan Mentawai. Saya belum pernah melihat langsung adat perkawinan disana, sebab itu pula yang membuat saya bersemangat menyeberangi laut yang gelombangnya selalu membuat perut mual dan badan menjadi lemas.

 

Kapal cepat yang saya tumpangi berangkat sekitar pukul 06.30 wib. Hari itu gelombang laut tidak terlalu besar. Kapal melaju cepat dan kepalanya terangguk-angguk seperti melewati banyak polisi tidur. Penumpang cukup banyak saat itu, dan beberapa memilih menikmati pemandangan laut di dek atas yang setengahnya diberi atap dan setengahnya lagi terbuka. Angin cukup kuat menerpa siapa saja di dek atas yang terbuka.

Halaman-halaman rumah di pesisir desa Matobe kebanyakan hilang setelah air laut menggerus pantai dan membawa batang-batang kayu dari laut

Pukul 10.00 Wib kapal merapat di dermaga Tuapejat, Sipora. Di pelabuhan, orang-orang yang menunggu keluarga mereka keluar dari kapal sudah ramai. Bahasa sapaan bercampur baur terdengar dimana-mana. Ada yang menyapa dengan bahasa Mentawai, Minang. Batak dan bahasa Inggris, yang terakhir ini ternyata pemandu wisata bule-bule yang akan berselancar di laut Mentawai yang terkenal.

 

Saya dijemput Riko Saogo, pemuda jangkung bergigi rumpang yang murah senyum. Jangan salah, dia adalah sarjana kedokteran gigi. Kita belum bisa menyebutnya dokter sebab Riko belum menjalani masa Koas, sebuah syarat untuk bisa disebut sebagai dokter. “Kenapa kau tidak koas Ko?” tanya saya ketika kami menyeruput kopi hitam yang kelewat manis di sebuah warung pinggir jalan. 

Sarjana kedokteran gigi ini tertawa, gigi rumpangnya seperti mengolok-ngolok saya. 

 

“Mahal bang!” Kata Riko memandang perempuan muda yang lewat di depan kami. Ah iya, menjadi mahasiswa kedokteran di Indonesia ternyata tidak harus pintar saja, tetapi juga harus punya simpanan lebih agar bisa membayar tetek bengek perkuliahan yang kadang diluar nalar manusia biasa seperti saya.

 

Matahari begitu terik ketika saya dibonceng Riko menuju Matobe, kampung kecil di pinggir laut yang kerap dihajar badai sehingga pantainya porak poranda. Namun, jalanan ibukota kabupaten ini cukup dilewati empat mobil, kira-kira delapan meter lebarnya dan belum semuanya di aspal. Riko memacu motornya dengan kencang dan meninggalkan debu tebal dibelakang. Jalan ini termasuk baru. Jalurnya menjadi penghubung antar kampung di Pulau Sipora yang sudah lama dinanti-nanti warga.

kaum perempuan berkumpul didapur untuk memasak sebagai persiapan pesta pernikahan.
kaum perempuan berkumpul didapur untuk memasak sebagai persiapan pesta pernikahan
Menyiapkan panggung untuk acara hiburan, salah satunya untuk tarian Turuk Laggai

Satu jam perjalanan akhirnya kami sampai di Matobe. Orang-orang sedang ramai di rumah Coi. Para lelaki sibuk menyiapkan tenda dan panggung pesta, sementara perempuan-perempuan, tua dan muda berkumpul di dapur. Besok adalah hari besar bagi Coi dan keluarganya, begitu juga bagi orang-orang Matobe. Pesta pernikahan sama halnya dengan hari raya tempat semua orang berkumpul bergembira bersama, perayaan pada kehidupan baru.

 

Saya berjalan-jalan sekitar rumah dan berusaha bercakap-cakap dengan semua orang.  Rumbai-rumbai dari daun batang rumbia bertebaran dimana-mana. Bilah-bilah papan untuk tempat duduk undangan dipakukan di bawah tenda-tenda yang dibuat sendiri. Begitu juga panggung pelaminan, panggung organ tunggal bahkan hiasan-hiasan dari gerbang kampung ke tempat pesta, semuanya dibuat bersama-sama. Di depan pelaminan, dipancang dua batang bambu yang panjang dan di ujung masing-masing bambu digantung burung-burung dari kayu yang dicat putih dengan garis-garis hitam.

 

“Burung-burung kayu itu pemikat jiwa,” kata Coi yang tiba-tiba datang dari belakang saya. 

“Jiwa atau roh sebaiknya selalu dekat dengan tubuh agar kita tidak sakit, dan burung-burung kayu itu yang membuat jiwa atau roh selalu terbang datang bermain-main di dekat tubuh kita,” sambung Coi. Saya mengangguk lalu memandangi burung-burung kayu  yang bergoyang-goyang kian kemari dihembus angin.

 

Burung-burung kayu ini biasanya tergantung dalam uma-uma dan batang katuka sebagai penjaga kehormatan. Hari ini, rumah beton mana yang masih menggantungkan burung-burung kayu didalamnya? Saya tidak tahu, dan belum pernah melihatnya.

seekor babi yang dipersiapkan untuk dipotong. Badan babi ini diikat dengan batang dan daun rumbia
Membersihkan babi yang selesai dibakar ditepi sungai. Babi yang selesai dibakar akan dikerik untuk menghilangkan bulu-bulu kasar dibadannya

Riko mengajak saya melihat warga bergotong royong menyiapkan babi-babi yang akan dipotong dan dibakar. Babi-babi itu diikat dengan daun dan bilah rumbia yang disiapkan sedemikian rupa. Aman Bailegen, salah satu Kerei yang akan mentas tarian di pesta nanti, mengeluarkan pisau dari tas yang disandangnya. Babi yang akan dipotong itu dipegang oleh tiga orang lelaki dewasa. Aman Bailegen dengan cepat menusuk leher babi dan menggoroknya. Darah yang keluar kemudian ditampung dalam ember kecil. 

 

Babi-babi yang selesai dipotong itu diletakkan berdekatan ditanah. Setelah mereka tidak lagi bergerak, mereka dibakar agar nanti lebih mudah menguliti kulit mereka. Babi yang selesai dibakar dibawa ke sungai kecil yang tak jauh dari sana. Kulit mereka dikerik dan isi perutnya dikeluarkan lalu dibasuh disungai.

Para Kerei beristirahat sejenak sebelum memulai kembali latihan menari

Pukul delapan malam orang-orang ramai di depan panggung. Tampak Aman Bailegen dan Teu Tolai bersiap-siap melakukan tarian dengan pakaian khas Kerei. Saya bergegas mendekat dan bergabung bersama barisan anak-anak yang sudah siap merekam dengan selular mereka. Tidak hanya anak-anak yang tertarik datang melihat, orang-orang dewasa banyak berkumpul meski mereka lebih memilih duduk tidak di dekat panggung. Selain Kerei, dua orang penabuh gajeumak – gendang khas pengiring turuk laggai dan seorang yang membawa pelek mobil juga ada disana. Pelek mobil itu akan dipukul dengan besi kecil sepanjang dua jengkal dan menghasilkan denting-denting sebagai penambah nada pengiring. Masing-masing mereka duduk berjejer dan bersila di tepi panggung. 

Aman Bailegen memerankan seekor Bilao yang sedang diburu pemburu dalam sesi latihan malam hari sebelum pementasan esok hari
Teu Tolai (hadap depan) dan Aman Bailegen berlatih menyamakan gerakan dengan irama gendang yang disebut Gajeumak. Pemain Gajeumak biasanya orang yang bisa membaca karakter para Kerei dalam menari Turuk Laggai

Kerei mulai mengentak-ngentak kakinya di lantai papan panggung, dan beberapa kali berhenti mengoreksi ketukan gajeumak dan kembali mulai mengentakan kakinya. Ada beberapa ulian (cerita) yang dimainkan dalam tarian malam itu. Salah satunya tentang kepahlawanan seorang ayah memburu seekor buaya yang telah memangsa anaknya dan cerita berburu Bilou dihutan. Bilou adalah primata endemik di pulau siberut, Mentawai.

 

Aman Bailegen dan Teu Tolai adalah kerei dari desa Simatalu pulau Siberut, pulau paling besar dalam gugusan kepulauan Mentawai. Mereka datang ke Matobe di pulau Sipora atas permintaan Siripok mereka, Coi. Siripok berarti teman yang melebihi saudara sendiri. Dari cerita mereka berdua saya baru tahu kalau Turuk Laggai – tarian khas Mentawai itu tidak hanya untuk pengobatan saja. Turuk Laggai juga sebagai hiburan dalam bentuk teatrikal yang menceritakan kisah-kisah yang hidup dalam masyarakat Mentawai.

 

Saya mengamati orang-orang yang hadir malam itu. Mereka terlihat bergembira sekaligus takjub melihat Aman Bailegen dan Teu Tolai menari. “Tarian ini sudah lama absen di Sipora, kecuali jika pemerintah kedatangan tamu atau jika pemerintah punya agenda festival budaya, barulah Kerei diundang untuk menari,” kata Coi. Kami menepi dari keriuhan dan memilih duduk agak menjauh.

 

Banyak pertanyaan di kepala saya, kenapa orang-orang Mentawai seperti berjarak dari budaya mereka yang katanya terjaga setidaknya dibandingkan budaya orang-orang tanah tepi? Kami berbincang banyak hal dan pada akhirnya saya menyadari bahwa kebudayaan memang akan selalu bergerak dinamis mengikuti zaman yang ada. Apa yang dialami Coi dan orang-orang di Mentawai juga terjadi kepada saya dan budaya saya dari tanah tepi, Minangkabau.

Pengantin perempuan mengenakan asesoris khas dikepala yang disebut Ogok

Jam delapan pagi saya dan rombongan lain ke gereja untuk melihat pemberkatan Coi dan Anna yang akan menikah. Usai pemberkatan yang penuh haru itu selesai, semua orang kembali ke lokasi pesta. Coi dan Anna dipandu oleh Aman Bailegen dan Teu Tolai berpakaian adat mentawai khas Simatalu. Kepala Anna dihiasi dengan ogok yang sepintas lalu seperti hiasan kepala suku Indian. Sementara Coi memakai ikat kepala yang disebut luat. Selesai berpakaian adat, pengantin duduk di pelaminan menunggu para tamu datang mengucapkan selamat dan para Kerei beranjak menuju panggung.

Bilah-bilah papan digunakan untuk hentakan kaki saat menarikan Turuk Laggai
Teu Tolai dan Aman Bailegen menarikan Turuk Laggai dalam pesta perkawinan. Teu Tolai dan Aman Bailegen adalah Kerei dari desa Simatalu, pulau Siberut

Di panggung, Aman Bailegen dan Teu Tolai mulai menari. Lantai panggung dari bilah-bilah papan itu bergetar kuat karena hentakan kaki. Gajeumak, gendang untuk Turuk Laggai ditabuh mengikuti gerakan kaki Kerei yang menari-nari lincah. Denting-denting dari pelek mobil yang dipukul dengan ketukan yang sama membuat tarian terasa lebih sakral.

Warga menyaksikan tarian Turuk Laggai diatas panggung. Sekarang sudah jarang Turuk Laggai ditarikan di pesta-pesta perkawinan masyarakat Mentawai

Semua orang ingin berdiri di depan panggung melihat Kerei dan Turuk Laggai. Sisi depan dan samping panggung penuh dengan penonton dan saya terpaksa menyelip dan sering meminta maaf karena menginjak kaki penonton lain. Setelah tiga tarian yang penuh cucuran keringat, Aman Bailegen dan Teu Tolai berhenti. Semua orang bertepuk tangan dan bubar teratur, kecuali anak-anak muda yang setengah memaksa para Kerei untuk berswafoto.

 

Panggung kemudian diambil alih oleh pemandu acara. Ia memandu undangan untuk duduk di dua tenda makan terpisah yang sudah disiapkan, satu untuk undangan yang beragama Nasrani dan yang satu lagi untuk undangan yang beragama Islam. 

 

“Selamat datang undangan kami, saya kasih tahu untuk saudara-saudara kita yang kristen silahkan ke tenda sebelah kanan saya dan saudara-saudara muslim silahkan tenda sebelah kiri saya. Saudara-saudara yang Muslim jangan sampai tertukar duduk jika tidak ingin makan babi! Hahaha,” kata pemandu acara dan langsung disambung gelak tawa undangan lain.

Burung-burung kayu digantung diujung batang bambu. Burung-burung kayu ini diyakini sebagai mainan bagi roh manusia agar jiwa tetap tenang dan bergembira

Saya memandangi burung-burung kayu yang terbang di angkasa dan berputar-putar dihembus angin. Hari itu roh-roh nenek moyang datang ikut bergembira bersama Coi, Anna dan orang desa matobe dan melindungi semua jiwa-jiwa baik agar semua orang tetap aman dalam kehidupan yang dijalani masing-masing.

 

Esoknya saya berpamitan dengan Coi, Anna dan keluarga besar mereka. Di halaman rumah Coi menepuk pundak saya dan menunjuk burung-burung kayu. “Mereka bernyanyi untuk abang,” kata Coi tersenyum. Saya tak paham maksudnya dan tidak pula bertanya.

 

Surak Sabeu (terimakasih banyak) Coi,” kata saya saat bersalaman pamit pada Coi. saya diantar Riko ke dermaga Tuapejat menanti kapal ke Padang.

Selama perjalanan ke dermaga saya mengingat cerita-cerita masa lalu bagaimana orang-orang tanah tepi memberi stigma yang sangat aneh dan perlakuan yang tidak adil untuk orang-orang baik hati ini. Lalu saya mendengar nyanyian aneh dalam kepala saya untuk datang kembali menikmati suara lembut orang-orang Matobe. 

Ulau Manua Masibujai, semesta menyertai kita semua Coi!